Jika Santri Bajingan Menyoal Miskinnya Kajian Sejarah Kerajaan Demak

Sejarah kerajaan Demak menjadi misterius karena minimnya kajian ilmiah yang bisa menjadi rujukan.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 27 Nov 2023, 22:25 WIB
Diterbitkan 27 Nov 2023, 22:25 WIB
Al itqon
Diskusi menyoal sejarah kerajaan Demak yang sangat jarang diangkat di pondok pesantren Al Itqon Bugen Semarang. Foto: liputan6.com

Liputan6.com, Semarang - Keberadaan kerajaan Demak seperti hidup dalam mitos. Narasi yang berkembang di masyarakat lebih banyak bercerita tentang kesaktian para tokohnya dibanding peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang menjadi latar belakangnya.

Diskusi Sejarah Kerajaan Demak, kembali didiskusikan dalam forum Suluk Senen Pahingan, di pendopo Joglo, Pondok Pesantren Al-Itqon Bugen Kota Semarang. Hadir sebagai pembicara, Ahmad Kastono, penulis buku Sejarah Kerajaan Demak Bintoro dan Rendra Agusta, filolog dan Peneliti Damalung Blueprint.

Ahmad Kastono Abdullah Hasan AKA Hasan)  mengatakan selama perjalanan penelitian ini, ia sudah menganalisa 35 naskah babad dan serat.

“Saya memfokuskan 35 naskah ini tentang nama wali songo yang dalam naskah babad disebut wali kramat,” katanya.

Sejauh ini 35 naskah yang dianalisa dan tambahan 2 literatur yang sudah berusia minimal 60 tahun. Ada tujuh metodologi yang dipakai AKA Hasan untuk memperkuat penelitiannya tentang sejarah kerajaan Demak Bintoro dan Walisongo. Selain studi literatur dari babad dan serat, ia juga membaca dan menganalisa ratusan buku yang berbicara tentang Wali songo.

“Dari literatur 192 buku ternyata dewan wali songo berjumlah 3 yakni periode periode Wali songo berjumlah 1 sampai 5, periode Wali songo berjumlah 8 dan tidak berperiode,” katanya.

Selain menggunakan metodologi literatur yang pada umumnya dipakai untuk penelitian, AKA Hasan juga memakai metode Realisme Metafisika. Sebuah metode yang tidak lazim di dunia akademisi. Melalui penelitiannya mencoba membongkar kembali data seperti Wali songo dan keberadaan Masjid Agung Demak yang harusnya berada di tengah alun-alun. Letak yang sekarang sebenarnya di atas tanah kuburan para wali dan santri Glagah Wangi. Masjid ini digeser karena kepentingan pemerintah kolonial membangun jalan raya Daendels waktu itu.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Kajian Filologi

Al itqon
Suasana diskusi rutin Suluk Pahingan para santri bajingan (bar ngaji mangan / usai mengaji makan-makan) selalu padat. Foto : liputan6.com

Dosen dan Filolog Universitas Negeri Surakarta (UNS) Solo, Rendra Agusta menjelaskan pentingnya memahami jenis sejarah dalam konteks akademisi. Rendra mengatakan dalam studi sejarah paling tidak ada empat tahapan.

“Pertama, sejarah lisan. Sejarah lisan dapat diterima atau sahih ketika hidup sezaman. Kedua, namun kalau tidak sezaman disebut sebagai sejarah kronik seperti babad. Sedangkan jenis ketiga yakni sejarah kritis, sejarah yang ini dibenturkan banyak data,” kata Rendra.

Ia mempertanyakan kenapa babad itu tidak sahih karena studi tentang walisongo itu ditulis pada abad 17 dan 18 atau 19 itu sedikit sekali.

“Kalau kita memakai hitung-hitungan tahun, walisongo abad ke 16 awal, dengan naskah babad ada selisih 300 tahun. Bagaimana jarak 300 tahun untuk membuktikan sejarah tersebut, maka di kampus itu berhenti ketika data itu tidak bunyi,” katanya.

Namun  Rendra tidak menutup peluang penelitian-penelitian selanjutnya. Karena menurutnya saat ini ada alat uji.

"Saya tidak memaksa naskah itu harus sahih. Semua yang sifatnya organik bisa diuji, di lapangan misalnya kertas itu bisa diuji," kata Rendra.

Sementara itu Pengasuh Pondok Pesantren Al Itqon, KH Ubaidilah Shadaqoh menyebutkan bahwa harusnya Pemerintah Kabupaten Demak bisa memfasilitasi dan menampung hasil-hasil temuan yang dilakukan para peneliti dan penulis buku Sejarah Demak sebagai penghargaan intelektual.

“Diakui hingga kini belum ada satu pun jejak, yang menjadi titik terang dimana Kerajaan Demak berada,” kata KH Ubaid.

Sementara sejumlah penelitian sering dilakukan, yang menjelaskan keberadaan Kerajaan Demak, namun semua hasil pemikiran tersebut menguap begitu saja.

Suluk Senen Pahingan, adalah Ruang terbuka yang menggelar diskusi rutin setiap 35 hari sekali. Kegiatan tersebut digelar Komunitas SantriBajingan,di Joglo Pendopo Pondok Pesantren Al Itqon, Bugen, Tlogosari-Semarang.

Santri bajingan adalah sebuah komunitas masyarakat yang memanfaatkan pondok pesantren Al Itqon untuk berburu ilmu. Komunitas ini bersifat terbuka dan pesertanya bukan hanya santri pondok pesantren saja. Seniman, anak jalanan, kaum marginal banyak mengikuti pengajian ini.

Nama santri bajingan disematkan sebagai singkatan bahwa Bar Ngaji Mangan, atau usai mengaji dilanjutkan makan-makan.  Forum Suluk Senen Pahingan diasuh langsung Rois Syuriah PW NU Jawa Tengah KH Ubaidillah Shodaqoh dan KH Shalahudin Shodaqoh. Diskusi Suluk Senen Pahingan saat ini sudah digelar sebanyak 25 kali, dengan sejumlah tema yang relevan dan kekinian.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya