Liputan6.com, Semarang - Mari kembali menyatu dengan alam, merasakan benih labu, merasakan proses alam, merasakan spirit petani dalam menjaga alam untuk keberlangsungan dan keberlanjutan hidup.
Mari bersama sama menari dan menggetarkan angklung untuk tanaman kita, untuk ibu bumi, untuk semesta dan Sang Pencipta.
Mari bersukacita dan bergembira menggetarkan angklung atas hasil panen labu kita.
Advertisement
Mari sejenak lupakan nada, karena angklung bukan sekedar tentang nada, namun suara getaran jiwa, getaran doa, getaran sukacita..
Ajakan yang tertulis di atas, adalah ajakan untuk kembali menyadari pentingnya keberlanjutan hidup, mensyukuri apa yang harus disyukuri dan melupakan hal-hal yang merusak kebahagiaan.
Adalah Supriyati, seorang seniman serba bisa Indonesia yang menggagas performance art di kebun labu di Wargolshausen, Bayern, Jerman. Bukan tanpa alasan, kedatangan Supriyati ke Jerman ini merupakan program interaksi budaya Internasional 2023. Supriyati memperkenalkan alat musik angklung.
"Kemudian kami berlatih bersama dan menggelar prformance art kolaborasi antara angklung dan benih labu. Ini sekaligus sebagai presentasi seni dalam Spirit keberlanjutan Hidup-Erntedankfeier di Wargolshausen (Bayern)," kata Supriyati melalui sambungan telepon.
Kolaborasi itu melibatkan seniman dan petani setempat, bahkan pengunjung acara pertunjukan. Seperti dikatakan Supriyati, performance itu bertajuk Angklung dalam Spirit keberlanjutan Hidup-Erntedankfeier. Saat memperkenalkan angklung Supriyati sendirian saja.
"Tujuan kegiatan ini adalah mereka memahami budaya, ritual dan spiritual petani Indonesia dalam angklung. Kemudian secara teknis tahu teknik memegang angklung dan memainkan angklung sehingga bisa merasakan sensasi getaran suara angklung. Tentu saja tujuan akhir adalah memainkan dan mengekpresikan angklung dalam selebrasi thanksgiving, dalam pertunjukan kolaborasi performance art.
Tentang Angklung yang Jarang Dimengerti Publik
Angklung adalah alat musik tradisi dari Indonesia. Angklung terbuat dari bambu yang dibentuk dan dimainkan dengan digoyangkan atau digetarkan.
"Angklung ini awalnya diciptakan oleh petani untuk memikat Nyai Sri Pohaci/Dewi Sri (Dewi Kesuburan) untuk turun ke bumi dan menurunkan hujan agar tanaman padi tumbuh subur dan diberkati panen yang melimpah," kata Supriyati.
Para petani memainkan angklung bersama-sama sebagai musik pengiring di lahan pertanian dalam ritual menanam padi. Karena hasil pertanian bagus, angklung juga dimainkan pada pesta panen sebagai ungkapan persembahan kepada Nyai Sri Pohaci (dewi kesuburan). Ini adalah ekspresi sukacita atas hasil panen mereka.
Eksplorasi angklung dan benih labu menjadi sebuah pertunjukan kolaborasi seniman Indonesia, seniman Jerman dan petani Jerman. Mereka bersama-sama saling terhubung dengan alam, semesta, ibu bumi dan Sang Pencipta.
"Disini ada penyatuan spirit tentang keberlanjutan hidup," kata Supri.
Penciptaan angklung yang awalnya sebagai media doa kepada Dewi Kesuburan dan Ibu Bumi sebagai doa pengiring saat tanam padi, akhirnya menjadi media ekspresi rasa terimakasih atas panen buah labu. Ini juga ungkapan sukacita atas spirit kerja keras mereka dalam menjaga alam, memelihara tanaman pertanian untuk keberlanjutan hidup secara ekologi dan ekonomi.
Begitulah. Angklung bukan sekadar alat musik yang dimainkan dalam konser megah. Angklung mendapat pengakuan dari UNESCO dan publik Internasional. Namun sedikit publik Internasional memahami angklung dalam konteks budaya dan spiritual Indonesia yang agraris yang lekat dengan alam.
"Sekali lagi, angklung adalah getaran ekspresi jiwa dan doa petani untuk keberlanjutan hidup secara ekologi dan ekonomi," kata Supriyati.
Dalam kolaborasi di Jerman ini, performance art melibatkan Supriyati (Indonesia), Eva Luna Warmuth, Viola Livera, Annette Roggatz, Regina Warmuth, Elisabet Wehler, Bernhard Schwark.
Advertisement