Mengenal Anemia Defisiensi Besi, Salah Satu Biang Kerok Penyebab Stunting

Anemia Defisiensi Besi bisa menyebabkan anak mogok makan atau GTM yang berujung pada penurunan bobot badan dan stunting dalam jangka panjang.

oleh Kartika diperbarui 16 Des 2023, 12:00 WIB
Diterbitkan 16 Des 2023, 12:00 WIB
Mengenal Anemia Defisiensi Besi, Salah Satu Biang Kerok Penyebab Stunting
Ilustrasi Unsplash.com.

Liputan6.com, Jakarta Anemia Defisiensi Besi atau ADB pada bayi menjadi salah satu penyebab anemia terbanyak pada anak-anak. Bahkan, ADB menjadi salah satu penyebab stunting atau tengkes yang ditandai dengan anak yang tidak tumbuh besar. Bisa terus berlanjut, bukan tidak mungkin stunting akan mengancam bonus demografi pada tahun 2045 mendatang.

ADB atau kekurangan zat besi menjadi salah satu penyebab stunting. Pasalnya, zat besi merupakah salah satu elemen kunci pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), termasuk untuk pencegahan stunting.

Lalu apa yang disebut dengan ADB? Anemia defisiensi besi merupakan rendahnya kadar hemoglobin akibat kekurangan zat besi di dalam tubuh. Anemia defisiensi besi pada bayi tidak terjadi secara tiba-tiba, namun didahului oleh dua tahapan sebelumnya yaitu deplesi besi atau berkurangnya cadangan zat besi, namun kadar hemoglobin masih normal. Kemudian, defisiensi besi di mana kadar hemoglobin sudah menurun.

Dokter Spesialis Anak dan Ahli Nutrisi DR Dr Lanny Christine Gultom, SpA(K) mengatakan bayi yang mengalami deplesi besi dan tidak ditangani dengan baik akan mengalami defisiensi besi. "Jika kondisi defisiensi besi tidak juga di tangani segera, maka bayi akan mengalami ADB," katanya, beberapa waktu lalu.

Dia menambahkan anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, pertama, suplai zat besi yang rendah. Hal ini bisa karena bayi lahir prematur, pemberian MPASI yang terlambat, diet vegetarian, hingga gangguan menelan.

Kedua, peningkatan kebutuhan besi yang bergantung pada usia bayi, berat badan lahir rendah, pertumbuhan cepat pada masa pubertas (pubertal growth spurt).

Ketiga, penurunan penyerapan besi di saluran cerna seperti pada penyakit inflammatory bowel diseases, infeksi helicobacter pylori, dan sebagainya. Terakhir, pendarahan seperti menstruasi yang sering dan berlebih, alergi susu sapi, dan lain-lain.

Penelitian Ringoringo pada bayi berusia 0-12 bulan di Kalimantan Selatan menemukan insiden ADB sebesar 47,4%. Insiden ADB pada penelitian ini cenderung lebih tinggi pada bayi yang lahir dari ibu dengan anemia dibandingkan ibu tanpa anemia.

Padahal, zat besi juga merupakan salah satu zat gizi penting untuk perkembangan janin, bayi, dan anak, terutama pada perkembangan otak. "Defisiensi zat besi mengakibatkan gangguan perkembangan psikomotor dan fungsi kognitif, khususnya fokus dan daya ingat," kata Lanny.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Bayi Rentan Kena ADB

Pada saat di dalam kandungan, bayi mendapatkan asupan zat besi dari ibunya yang dapat memenuhi kebutuhan zat besi bayi sampai 4-6 bulan pertama setelah kelahirannya. Dia menekankan bayi yang lahir cukup bulan dan mendapat ASI eksklusif tidak memerlukan suplementasi zat besi.

Namun, ketika bayi mencapai usia 4-6 bulan, cadangan zat besi mulai habis sedangkan kebutuhan zat besi makin meningkat sehingga menyebabkan bayi lebih rentan untuk mengalami defisiensi besi.

"Kebutuhan zat besi pada bayi berusia 6-11 bulan yaitu 11 mg/hari di mana 97% dari kebutuhan ini harus dipenuhi dari MPASI," ujarnya.

ADB pada bayi dan anak juga tidak bisa dipandang sepele. Tanpa penanganan dan pengobatan yang benar, ADB bisa mengganggu tumbuh kembang si kecil. Biasanya, salah satu dampak yang timbul ketika anak mengalami ADB adalah penurunan nafsu makan. Padahal, untuk dapat memenuhi asupan nutrisi dan menanggulangi ADB, anak harus makan makanan kaya zat besi.

Bila ini terjadi pada buah hati, orang tua harus mengambil tindakan sebelum Gerakan Tutup Mulut (GTM) dan membuat berat badan anak stagnan. Sebagai langkah awal, segera konsultasikan kondisi bayi atau anak kepada dokter spesialis anak. Dengan begitu, dokter akan melakukan tindakan skrining ADB jika hasil pemeriksaan cenderung ke arah anemia.

Bila terbukti anak mengalami ADB, dokter akan meresepkan suplemen zat besi, bisa berbentuk tablet atau sirup yang dapat membantu mengembalikan kadar zat besi anak menjadi normal. Namun, jangan kaget bila ada perubahan warna feses anak maupun konstipasi karena itu menjadi salah satu dampak konsumsi suplemen zat besi.

Jika tidak tertangani dengan baik, ADB dapat menjadi faktor terjadinya stunting atau tengkes yang membuat tumbuh kembang anak tidak maksimal. Stunting menjadi salah satu bentuk kelainan gizi yang terlihat dari tinggi badan yang kurang dari standar WHO (World Health Organization).

 


Menyambut Bonus Demografi

Mengenal Anemia Defisiensi Besi, Salah Satu Biang Kerok Penyebab Stunting
Ilustrasi anak-anak (Pixabay.com)

Rentannya bayi atau anak terkena ADB harus menjadi perhatian orangtua dan bahkan pemerintah. Sebab, pemerintah dan tenaga kesehatan di Indonesia sendiri sedang berupaya untuk memaksimalkan kesehatan masyarakat demi menyambut bonus demografi yang akan dialami Indonesia pada tahun 2045.

Sayangnya, hingga saat ini Indonesia masih menghadapi berbagai masalah kesehatan, mulai dari penyakit menular, tidak menular, dan yang menjadi perhatian khusus adalah masalah gizi pada anak.

Dokter Spesialis Anak yang ahli dalam bidang Tumbuh Kembang Sosial Rini Sekartini mengatakan berbagai masalah ini dapat mengancam Indonesia dalam memaksimalkan bonus demografi atau lebih dikenal sebagai Generasi Emas 2045 yang sudah dicanangkan oleh pemerintah.

"Indonesia yang sedang berupaya untuk semakin maju dan keluar dari label negara berkembang, masih belum bisa melepaskan diri dari masalah malnutrisi, seperti stunting, wasting, dan underweight," katanya, beberapa waktu lalu.

Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia tahun 2022, sebanyak 21,6% balita, atau 1 dari 5 anak mengalami stunting, sementara 7,7% balita, atau 1 dari 12 anak mengalami wasting.

Dia menjelaskan stunting, lebih dari sekedar perawakan pendek, yaitu kondisi malnutrisi akibat dari kekurangan asupan nutrisi, atau penyakit yang kronik mengakibatkan kegagalan seorang anak untuk mencapai tinggi badan sesuai potensi genetiknya.

"Penelitian menunjukkan bahwa akibat dari stunting tidak hanya sebatas perawakan pendek, seorang anak yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan yang lebih rendah, performa di sekolah yang menurun, kemampuan fisik yang lebih rendah, dan lebih mudah untuk jatuh sakit. Pada jangka panjang dan level Nasional, hal ini akan berakibat pada menurunnya kemampuan ekonomi negara," dia menandaskan.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya