Liputan6.com, Jakarta - Sebuah riset yang dirilis Net Zero Waste Management Consortium mengungkap segudang permasalahan soal timbulan sampah di enam kota besar. Hasilnya, inisiatif bank sampah belum efektif pun demikian dengan daur ulang sampah yang belum berjalan baik.
Lead Researcher Net Zero Ahmad Safrudin mengatakan secara keseluruhan situasi penanganan timbulan sampah di enam kota besar masih secara fisik semata. "Situasi di 6 kota menunjukkan bahwa pengelolaan sampah masih sebatas pada pengelolaan fisik semata (alat/tenaga kebersihan, bak sampah, gerobak/truk sampah, TPS, TPA) dan belum berimbang pada pembangunan participatory yang berorientasi pencegahan dan pengurangan," katanya.
Lebih lanjut, dia menilai audit investigasi sampah di enam kota menunjukkan belum ada praktik pengurangan sampah melalui pengumpulan dan pembuangan terpilah dengan berorientasi pemanfaatan sampah seoptimal mungkin. "Semua masih berlaku sebagaimana adanya (business as usual)," jelasnya.
Advertisement
Baca Juga
Tak hanya itu, menurut Ahmad, pemerintah Kabupaten/Kota tidak menyiapkan sistem dan infrastruktur program pengurangan sampah dengan penempatan dan pengumpulan terpilah. "Inisiatif warga baik pribadi maupun komunal di level RT/RW pupus ketika menyaksikan bahwa petugas sampah kembali menyatukannya di gerobak sampah, di TPS, di truk, di TPA atas sampah hasil pilahan mereka," cetusnya.
Padahal, Ahmad bilang, pemulung dengan jaringan lapak dan agen barang-barang bekas telah mandiri dalam penyerapan sampah berpotensi daur ulang dan guna ulang. "Namun karena aktivitas mereka murni bermotif ekonomi, bisa dimaklumi bila jenis sampah yang kurang/tidak bernilai ekonomis cenderung mereka terlantarkan, dibakar ditimbun di tanah kosong, atau dibuang di kali," tambahnya.
Selain itu, dia menyebut peran bank sampah masih belum signifikan lantaran hanya berorientasi pada sampah bernilai tinggi sehingga tidak berbeda dengan pelapak/pemulung yang sebatas melakukannya dengan motif ekonomi. "Sebagian bank sampah hanya hadir di waktu-waktu tertentu, yaitu ketika ada kunjungan seperti pejabat, tamu studi banding, lalu project simulant, dan lain-lain sehingga banyak sampah yang tidak terserap," kritiknya.
Tidak Ada Sense of Crisis
Ahmad bahkan menilai sebagian besar pejabat yang bertanggung jawab tidak memiliki sense of crisis terkait masalah sampah perkotaan. Ini tercermin dari kebijakan yang diambil hanya melakukan rutinitas dan pengulangan yang terbukti tidak efektif dalam mengelola sampah yang senantiasa meningkat volumenya dari tahun ke tahun.
Terbukti, lanjutnya, beban sampah menjadi besar dan bahkan kian mengarah menjadi bencana yang ditandai dengan kebakaran TPA di berbagai kota atau kabupaten pada musim kemarau 2023 lalu. Karena itu, dia menilai secara garis besar rencana strategis pengurangan sampah plastik di level nasional belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan meski pemerintah telah mendorong pelaksanaannya dalam empat tahun terakhir sejak 2019.
Laporan riset Net Zero Waste Management Consortium ini menyebut ketidakseriusan semua pihak dalam implementasi Peta Jalan Pengurangan Sampah terlihat dari sampah serpihan kemasan produk berbagai brand, termasuk sampah botol dan cup minuman dalam kemasan, yang masih mendominasi timbulan sampah di tempat-tempat pembuangan akhir sampah di enam kota besar.
Untuk diketahui, riset mengacu pada hasil audit investigasi sampah plastik yang digelar serentak tim peneliti Net Zero di Medan, Samarinda, Makassar, Denpasar, Surabaya dan DKI Jakarta. Audit investigasi tersebut mencakup pengumpulan, pemilahan dan identifikasi sampah di 17 sampel Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di setiap kota. Laporan juga memasukkan data hasil jajak pendapat Litbang Kompas terkait persepsi masyarakat atas permasalahan sampah plastik.
"Hasilnya teridentifikasi 1.930.495 buah sampah plastik yang terbagi dalam 635 varian sampah produk konsumen dari berbagai merek," katanya.
Advertisement
Dominasi Sampah Kemasan
Ahmad memaparkan serpihan kemasan produk berbagai brand, termasuk sampah botol dan cup minuman dalam kemasan, mendominasi timbulan sampah di berbagai site dan rantai jalur sampah termasuk di TPA di enam kota besar. "Temuan tersebut mengindikasikan willingness (keinginan) produsen atau pemilik brand menjalankan dua program pilar pengurangan sampah, yakni EPR dan up sizing, belum efektif," katanya.
Extended Producer Responsibility atau EPR adalah prinsip perluasan kewajiban yang ditetapkan pemerintah untuk produsen agar bertanggung jawab atas keseluruhan daur hidup setiap produknya, terutama terkait pengambilan kembali (take back), daur ulang dan pembuangan akhir produk. Adapun Up Sizing adalah arah kebijakan packaging yang ditetapkan pemerintah dengan maksud agar produsen meninggalkan kemasan ukuran kecil dan beralih ke kemasan dengan ukuran yang lebih optimum untuk mengurangi potensi timbulan sampah.
Mitra riset Net Zero yakni Litbang Kompas yang diwakili Nila Kirana juga menambahkan temuan lapangan tersebut sejalan dengan survei persepsi publik di enam kota atas persoalan sampah. "Dari survei Litbang Kompas, diketahui sampah dari kemasan produk makanan, produk minuman, produk kecantikan dan kebersihan, dan produk kesehatan merupakan sampah kemasan yang dominan menurut persepsi masyarakat," kata Nila.
Selain itu, jajak pendapat juga mendapati 77,5% responden yang tidak pernah mengumpulkan kemasan dan mengembalikannya ke produsen serta terdapat 75,7% responden yang tidak pernah mengumpulkan produk yang sampahnya dikumpulkan oleh produsen.