Liputan6.com, Yogyakarta - Membedah budaya Jawa lebih sering dilakukan dengan pendekatan teologi. Pegiat budaya Jawa Hangno Hartono memaparkan pemahaman budaya Jawa dengan memakai pendekatan ekologi.
Melalui bukunya yang berjudul Ningrat, Hangno Hartono mengupas secara detail tentang budaya Jawa lewat ekologi.
“Kalau dengan pendekatan teologi yang ditemukan sebatas paham manunggaling kawulo gusti, Siti Jenar, sinkretisme Kejawen dan akan sulit untuk memahami idom idiom budaya Jawa utama,” ujar Hangno dalam diskusi bertajuk Jawa, Seni, dan Kesemestaan di Studio Rumah Budaya Babaran Bantul, Jumat (15/3/2024).
Advertisement
Baca Juga
Menurut Hangno Hartono, seni Jawa awalnya imitasi ekologi kemudian dinaikkan ke makna filosofis. Hal ini menjadi kekhasan narasi Jawa yang multitafsir dan multilayer.
Proses kreatif dunia tradisi meletakan seni berangkat dari ekologi sebagai sarana sistem nilai dan ritual untuk mengingatkan eksistensi sangkan paraning dumadi.
Sangkan paraning dumadi membawa konsep filosofis manusia Jawa. Dari sketsa tersebut mencoba mencari sumber referensi yang terkait dengan konsepsi manusia dari literatur tradisi yang terlihat menonjol dalam warisan aristokrasi Jawa seperti nomenklatur kebangsawanan.
Artinya, cita-cita dan pemikiran orang dulu manusia Jawa berkaitan erat dengan manusia kesemestaan. Hal ini bisa dilihat dari penamaan atau nomenklatur raja Jawa yang memakai istilah-istilah yang berhubungan dengan alam semesta.
“Misal, Buwono yang artinya bumi, Cakraningrat yang berarti semesta,” ucap Hangno.
Kesuburan
Hangno memaparkan orang Jawa melihat kesemestaan tidak dengan peralatan modern barat, seperti teleskop. Metode yang digunakan dengan yoga atau meditasi dengan produknya keheningan.
Lewat metode itu, orang-orang Jawa di zamannya mengetahui gugusan galaksi. Pada zaman itu juga orang Jawa sudah mengetahui gugusan galaksi terjauh seperti yang tertuang dalam Bhuana Kosa dan Surya Siddhntha.
“Pengetahuan soal galaksi dan perbintangan juga digunakan untuk pranata mangsa dan sistem navigasi,” tutur Hangno.
Hangno berpendapat ekologi juga bisa untuk memahami aneka macam fenomena budaya Jawa. Salah satunya artefak lingga yoni.
Lingga yoni dalam hal ini yang diambil adalah pola bersatunya feminin dan maskulinitas yang termanifestasikan dalam kehidupan sosial. Misal, garis imajiner Tugu Jogja sebagai lingga dan kandang menjangan sebagai yoni atau Gunung Merapi sebagai lingga dan laut Selatan sebagai yoni.
Maskulinitas dan feminin menjadi penting karena menjadi lambang kesuburan.
“Kesuburan penting karena di dalam kesuburan ada kehidupan,” kata Hangno.
Melalui buku Ningrat, Hangno Hartono ingin memberikan gambaran tentang budaya Jawa yang masih minim literarur soal ekologi dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti awam.
Advertisement