Pembalakan Liar Marak di Aceh Barat Daya, Walhi Desak Aparat Bertindak

Isu pembalakan liar menguat belakangan ini di Aceh Barat Daya. Aktivis lingkungan menilai penegakan hukum masih rendah sehingga aktivitas ilegal itu kian marak.

oleh Rino Abonita diperbarui 11 Jun 2024, 10:58 WIB
Diterbitkan 10 Jun 2024, 16:51 WIB
Pembalakan liar di Aceh Barat Daya disebut menguat dalam satu tahun terakhir (Foto: Walhi Aceh)
Pembalakan liar di Aceh Barat Daya disebut menguat dalam satu tahun terakhir (Foto: Walhi Aceh)

Liputan6.com, Aceh - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menilai penegakan hukum terhadap pembalakan liar di Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya masih 'jauh panggang dari api'. Hal ini ditakutkan akan menyebabkan dampak yang fatal bagi alam setempat.

Deputi Walhi Aceh M Nasir dalam rilis yang diterima Liputan6.com, Senin (10/6/2024), mengatakan praktik ilegal yang merusak lingkungan itu diduga telah merambah hingga ke dalam hutan desa dan diperkirakan berlangsung sejak satu tahun lalu. Ini dikhawatirkan akan berdampak karena hutan desa merupakan bagian dari upaya untuk penyelamatan ekosistem hutan.

"Aparat penegak hukum, baik kepolisian, gakkum maupun pihak terkait lainnya jangan tutup mata perambahan yang sudah berlangsung lama itu. Pembabatan hutan secara ilegal ini harus ditindak dan diberi sanksi tegas dan berat," kata M Nasir.

Kekhawatiran lainnya yakni pelaku pembalakan liar di Aceh Barat Daya sudah mulai secara terang-terangan melakukan aksinya, bahkan terkesan tidak takut tersentuh hukum sama sekali. Ini dapat dilihat dari adanya pemandangan di mana banyak tumpukan kayu curian yang ditaruh di tepi jalan raya. 

Menurut M Nasir, ini ironis, mengingat penebangan kayu secara liar atau tanpa izin resmi adalah pelanggaran terhadap pasal 50 ayat 3 huruf e UU Kehutanan. Orang yang sengaja melanggar ketentuan tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. Termasuk ancaman pasal pasal 12 UU/18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan terhadap pihak yang membeli kayu hasil pembalakan liar baik perorangan maupun korporasi.

"Kita berharap ada keadilan untuk memberantas penebangan liar yang marak terjadi di Kecamatan Babahrot, bila lemah dalam penegakan hukum dan terus kita biarkan semakin hancur hutan di sana," jelasnya.

Data yang dihimpun oleh pihaknya menunjukkan angka kehilangan tutupan hutan di Aceh Barat Daya paling tinggi terjadi di Kecamatan Babahrot, yaitu sebanyak 78,5 persen. Per 2015-2022 total kehilangan tutupan hutan di daerah itu mencapai 2.085 hektare dari total 2.655 hektare luas keseluruhan hutan di Abdya.

 

Hutan Semakin Gundul

Pohon yang dipotong oleh pelaku pembalakan liar di Abdya (Foto: Walhi Aceh)
Pohon yang dipotong oleh pelaku pembalakan liar di Abdya (Foto: Walhi Aceh)

Kehilangan tutupan hutan di kecamatan lainnya ada yang berada di bawah 100-an hektare atau rata-rata hanya sekitar 113 hektare selama 2015-2022. Angka-angka ini dinilai menunjukan adanya ancaman nyata yang dapat menyebabkan bencana seperti hidrologi dan krisis iklim.

Selain itu, imbuh M. Nasir, maraknya pembalakan liar ini dapat merugikan negara. Hal ini karena para pelaku sudah dapat dipastikan tidak akan membayar pajak yang berakibat bagi pebisnis kayu yang resmi.

 "Tentu ini aparat penegak hukum harus segera turun tangan, jangan tutup mata atas praktik haram tersebut, kalau masih dibiarkan, patut diduga mereka juga terlibat memuluskan praktik haram tersebut," tutup M Nasir.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya