Vonis Para Terdakwa Korupsi Bendungan Paselloreng Wajo 'Terjun Bebas'

Pengadilan Tipikor Makassar menjatuhkan vonis rendah kepada para terdakwa korupsi pembebasan lahan Bendungan Paselloreng, Kabupaten Wajo, Sulsel.

oleh Eka Hakim diperbarui 31 Jul 2024, 12:57 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2024, 12:30 WIB
Pengadilan Tipikor Makassar menjatuhkan vonis rendah kepada para terdakwa korupsi pembebasan lahan Bendungan Paselloreng, Kabupaten Wajo, Sulsel.
Pengadilan Tipikor Makassar menjatuhkan vonis rendah kepada para terdakwa korupsi pembebasan lahan Bendungan Paselloreng, Kabupaten Wajo, Sulsel.

 

Liputan6.com, Wajo Pengadilan Tipikor Makassar telah membacakan vonis para terdakwa tindak pidana korupsi pembebasan lahan Bendungan Paselloreng, Kabupaten Wajo, Sulsel

Vonis yang diberikan kepada masing-masing terdakwa tampak sangat ringan alias terjun bebas jika dibandingkan dengan besaran tuntutan yang diberikan oleh Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Terdakwa yang kabarnya memiliki peran utama penyebab terjadinya kerugian negara dalam kegiatan pembebasan lahan proyek strategi nasional yang diresmikan oleh Presiden Jokowi tersebut, Andi Akhyar hanya diganjar hukuman pidana penjara selama 3 tahun dan denda Rp50.000.000 subsider 5 bulan. 

Pengadilan Tipikor Makassar tidak membebankan Andi Akhyar dengan membayar uang pengganti sebagaimana tuntutan Jaksa sebelumnya. 

Terdakwa Andi Akhyar oleh Pengadilan Tipikor, dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan Subsidair.

Vonis yang diberikan oleh Pengadilan Tipikor Makassar tepatnya dibacakan Jumat 26 Juli 2024 terbilang sangat ringan jika dibandingkan dengan tuntutan yang diberikan oleh JPU. 

Di mana JPU dalam tuntutannya mengganjar Eks Sekretaris Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Wajo, Sulsel itu dengan tuntutan pidana penjara 16 tahun dan denda Rp500.000.000 subsider 10 bulan kurungan. 

Tak hanya itu, JPU turut menuntut Ketua Satgas B pada kegiatan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng itu dengan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti senilai Rp9.762.457.651 dengan ketentuan apabila uang pengganti tersebut tidak dibayarkan dalam waktu paling lama 1 bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda terdakwa disita oleh Jaksa untuk dilelang guna menutupi pembayaran uang pengganti tersebut dan jika terdakwa tidak memiliki harta benda yang cukup maka diganti dengan pidana penjara selama 8 tahun.

JPU dalam tuntutannya menilai Andi Akhyar terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana sebagaimana dalam dakwaan Subsidair.

Demikian juga vonis yang diberikan oleh Pengadilan Tipikor Makassar kepada Terdakwa Nundu yang berperan sebagai Anggota Satgas B pada kegiatan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng. 

Pengadilan Tipikor Makassar mengganjar Nundu dengan hukuman pidana 2 tahun penjara dan denda Rp50.000.000 subsider 1 bulan kurungan.

Dia juga dibebankan pidana tambahan membayar uang pengganti sebesar Rp273.754.675 subsider 5 bulan kurungan. 

Nundu dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan subsidair.

Vonis yang diberikan Pengadilan Tipikor Makassar kepada Nundu terbilang amblas jika dibandingkan dengan tuntutan yang diberikan oleh JPU. 

JPU sebelumnya menuntut Nundu dengan pidana penjara selama 6 tahun, denda Rp300.000.000 subsider 6 bulan kurungan serta menuntutnya membayar uang pengganti sebesar Rp3.472.613.125 subsider 3 tahun.

JPU dalam tuntutannya menilai Nundu terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan Subsidair yakni pidana dalam Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. 

Selanjutnya Terdakwa Nursiding HD yang oleh Pengadilan Tipikor Makassar juga hanya diganjar hukuman pidana penjara 2 tahun dan denda Rp50.000.000 subsider 1 bulan kurungan tanpa memberikan hukuman tambahan untuk membayar uang pengganti sebagaimana dalam tuntutan JPU.

Pengadilan Tipikor Makassar menetapkan Terdakwa Nursiding HD terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan subsidair.

Vonis Nursiding HD juga terbilang amblas jika dibandingkan dengan tuntutan JPU yang sebelumnya menuntutnya 6 tahun penjara dan denda Rp300.000.000 subsider 6 bulan kurungan.

JPU bahkan menuntut Nursiding HD untuk membayar uang pengganti sebesar Rp1.464.861.765 subsider 3 tahun penjara.

Terdakwa Ansar juga terbilang bisa bernafas lega. Pengadilan Tipikor Makassar mengganjarnya dengan hukuman pidana penjara hanya 2 tahun dan denda Rp50.000.000 subsider 1 bulan kurungan.

Pengadilan Tipikor Makassar bahkan menghapus pidana tambahan Ansar menyangkut kewajiban membayar uang pengganti sebagaimana tuntutan JPU.

Dalam Tuntutan JPU sebelumnya, Terdakwa Ansar dituntut pidana tambahan membayar uang pengganti sebesar Rp1.830.071.316 subsider 3 tahun penjara.

Perbuatan Ansar juga bahkan dituntut dengan pidana penjara 6 tahun dan denda Rp300.000.000 subsider 6 bulan kurungan karena oleh JPU dinilai terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan Subsidair yakni Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Demikian juga kepada Terdakwa Jumadi Kadere yang berperan selain sebagai Kepala Desa Arajang, Kecamatan Gilireng juga bertugas sebagai Anggota Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) dalam kegiatan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng terbilang bernafas lega. 

Vonis pidana penjara yang diberikan Pengadilan Tipikor Makassar kepadanya hanya 2 tahun penjara dan denda Rp50.000.000 subsider 1 bulan kurungan.

Pengadilan Tipikor Makassar turut meniadakan pidana tambahan kepadanya terkait kewajiban untuk membayar uang pengganti sebagaimana tuntutan JPU.

JPU sebelumnya telah menuntutnya selain kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp2.920.846.584 subsider 5 tahun penjara, Terdakwa Jumadi Kadere juga dituntut hukuman pidana penjara selama 10 tahun denda Rp300.000.000 subsider 6 bulan kurungan.

Nasib sama juga dirasakan oleh Andi Jusman selaku Kepala Desa Paselloreng sekaligus sebagai Anggota P2T kegiatan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng. Ia divonis sama dengan Jumadi Kadere yang terbilang sangat ringan dibandingkan dengan tuntutan JPU.

Di mana JPU sebelumnya telah menuntutnya 10 tahun penjara denda Rp300.000.000 subsider 6 bulan kurungan serta pidana tambahan membayar uang pengganti berkisar Rp2 miliar subsider 5 tahun penjara.

Menanggapi vonis para terdakwa yang terbilang amblas jauh dari tuntutan JPU tersebut, pihak Kejaksaan melalui Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejaksaan Negeri Wajo (Kejari Wajo), Andi Trismanto menegaskan jika pihaknya bakal melakukan upaya banding.

"Sampai sekarang kita belum menerima salinan putusan. Meski demikian kita sudah nyatakan banding atas putusan Pengadilan Tipikor tersebut," ucap Trismanto dikonfirmasi via telepon, Selasa 30 Juli 2024.

 

Hakim Dinilai Abaikan Perma Nomor 1 Tahun 2020

Lembaga Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) menyesalkan vonis yang diberikan Pengadilan Tipikor Makassar kepada para terdakwa korupsi pembebasan lahan Bendungan Paselloreng, Kabupaten Wajo yang terbilang sangat ringan bahkan amblas jika dibandingkan dengan besaran tuntutan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Direktur ACC Sulawesi, Kadir Wokanubun mengatakan, putusan yang diberikan Pengadilan Tipikor Makassar tersebut, dinilai sangat mencederai perjuangan pemberantasan korupsi di Indonesia pada luasnya. 

Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut, kata dia, bahkan sama sekali tidak mempertimbangkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Di mana, sebut Kadir, pada Pasal 6 ayat 1 dalam Perma yang dimaksud, cukup tegas menyebutkan bahwa dalam hal mengadili perkara tindak pidana Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kerugian keuangan negara atau perekonomian negara terbagi ke dalam 4 kategori yakni huruf a kategori paling berat jika kerugian keuangan dan perekonomian negaranya lebih dari Rp100 miliar, huruf b kategori berat lebih kerugian keuangan dan perekonomian negaranya lebih dari Rp25 miliar sampai dengan Rp100 miliar, huruf c kategori sedang jika kerugian keuangan dan perekonomian negaranya lebih dari Rp1 miliar sampai dengan Rp25 miliar serta huruf d kategori ringan jika kerugian keuangan dan perekonomian negaranya lebih dari Rp200 juta sampai dengan Rp1 miliar.

"Nah jika kita merujuk laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara atas kasus korupsi pembayaran ganti rugi lahan masyarakat untuk kegiatan proyek strategi nasional pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo Tahun 2021 ini, besarannya Rp75.638.790.000. sehingga Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini bisa mempertimbangkan Pasal 6 ayat 1 huruf b dalam Perma No. 1 Tahun 2020 yang dimaksud di atas," terang Kadir, Rabu (31/7/2024).

 

Kronologi

Dalam penyidikan kasus ini, Penyidik Pidsus Kejati Sulsel sebelumnya telah menetapkan 6 tersangka masing-masing inisial Andi Akhyar selaku Ketua Satgas B pada Kantor Pertanahan Kabupaten Wajo, Nundu selaku anggota Satgas B dari perwakilan masyarakat, Nursiding HD selaku anggota Satgas B dari perwakilan masyarakat, Ansar selaku anggota Satgas B dari perwakilan masyarakat, Andi Jusman selaku anggota Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) dan juga diketahui menjabat sebagai Kepala Desa Paselloreng, Kecamatan Gilireng Kabupaten Wajo serta Jumadi Kadere selaku anggota Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) dan juga selaku Kepala Desa Arajang, Kecamatan Gilireng Kabupaten Wajo. 

Kasus yang menjerat dan menjadikan Andi Akhyar sebagai tersangka dan sebagai orang yang turut serta atau bersama-sama dengan tersangka Nundu, Nursiding HD, Ansar, Andi Jusman dan Jumadi Kadere bermula pada tahun 2015. 

Di mana saat itu Balai Besar wilayah sungai Pompengan jeneberang (BBWS) tengah melaksanakan pembangunan fisik Bendungan Paselloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo. 

Adapun lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo diantaranya terdapat lahan yang masih masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Laparepa dan Lapantungo yang terletak di Desa Paselloreng dan Kabupaten Wajo yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai Kawasan Hutan HPT. 

Selanjutnya dilakukan proses perubahan Kawasan hutan dalam rangka review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan, salah satunya untuk kepentingan Pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo. 

Kemudian pada 28 Mei 2019, terbit Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesian tepatnya Nomor: SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019 tentang perubahan Kawasan Hutan menjadi bukan Kawasan Hutan seluas +91.337 Ha. Adapun perubahan fungsi kawasan hutan seluas +84.032 Ha dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas +1.838 HA di Provinsi Sulawesi Selatan.

Setelah mengetahui adanya Kawasan Hutan yang dikeluarkan untuk kepentingan lahan genangan Bendungan Paselloreng, maka tersangka Andi Akhyar selaku Ketua Satgas B dari BPN Kabupaten Wajo memerintahkan beberapa honorer di Kantor BPN Kabupaten Wajo untuk membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPORADIK) sebanyak 246 bidang tanah secara bersamaan pada tanggal 15 April 2021, lalu SPORADIK tersebut diserahkan kepada tersangka Andi Jusman selaku Kepala Desa Paselloreng untuk ditandatangani dan tersangka Jumadi Kadere selaku Kepala Desa Arajang turut menandatangani SPORADIK untuk tanah eks kawasan yang termasuk di Desa Arajang. 

Adapun isi SPORADIK diperoleh dari informasi tersangka Nundu, tersangka Nursiding HD dan tersangka Ansar selaku anggota Satgas B dari Perwakilan masyarakat, yang mana isi SPORADIK yang dimasukkan tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan. 

Oleh karena 241 bidang tanah tersebut merupakan ex Kawasan Hutan yang merupakan tanah negara dan tidak dapat dikategorikan sebagai lahan/tanah garapan, maka pembayaran terhadap 241 bidang tanah dinilai telah merugikan keuangan negara berdasarkan hasil perhitungan BPKP Provinsi Sulsel. 

Atas perbuatannya tersebut, para tersangka disangkakan dengan pasal Primair yakni Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP dan pasal Subsidair yakni Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya