Pedagang Kecil Keluhkan PP Kesehatan, Dinilai Berpotensi Bikin Warung Kelontong Sepi

Pasca Presiden Jokowi mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), reaksi kekecewaan datang dari berbagai kalangan.

oleh Tim Regional diperbarui 03 Agu 2024, 10:49 WIB
Diterbitkan 03 Agu 2024, 10:48 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi pedagang kaki lima. (dok. unsplash/Emilie Farris)

Liputan6.com, Jakarta Pasca Presiden Jokowi mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), reaksi kekecewaan datang dari berbagai kalangan.

Terutama dari pihak-pihak yang terdampak atas aturan tersebut seperti pedagang warung kelontong. Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (Keris), yang merupakan paguyuban bagi pedagang kecil, mengungkapkan kekhawatirannya atas keberlangsungan mata pencaharian mereka.

Ketua Umum Keris, Ali Mahsun menilai, PP Kesehatan akan menghancurkan upaya mencari nafkah bagi para pedagang asongan dan kaki lima. Dia mengeluhkan ancamannya adalah meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran di tanah air.

"Harus diingat, banyak pedagang kecil bergantung pada penjualan rokok eceran untuk menghidupi keluarga mereka. Selain itu, skala besarnya, ini akan menambah persoalan baru yaitu jumlah pengangguran di negeri ini," ucapnya, dalam keterangan diperoleh Sabtu (3/8/2024).

"Efek panjangnya, ada 40 juta masyarakat kalangan bawah di Indonesia yang akan semakin tertekan dengan larangan ini. Pemerintah harus sadar, kebijakan ini akan memperburuk kondisi ekonomi rakyat yang sudah terdampak oleh pandemi dan kenaikan harga barang-barang pokok," terangnya.

Dia menekankan pemerintah seharusnya membantu mendorong peningkatan derajat ekonomi pedagang kecil dengan berbagai program pendampingan. Bukan sebaliknya, dengan mengekang usaha rakyat kecil dengan peraturan yang tidak adil dan berimbang.

"Rakyat kecil kawulo alit saat ini makin sulit hidupnya. Pendapatan mereka turun, tapi beban ekonomi makin berat. Semestinya pemerintah mendongkrak pendapatan mereka bukan sebaliknya dan seharusnya pemerintah meringankan beban, bukan memperberat beban hidup mereka," tegasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Kesehatan dan Ekonomi 2 Hal Berbeda

Ketua Aprindo, Roy N Mandey, dalam konferensi pers, di Kantor Aprindo, Jakarta, Jumat (28/6/2024). Roy memastikan anggotanya tak ada yang menjual pulsa judi online. (Tira/Liputan6.com)
Ketua Aprindo, Roy N Mandey, dalam konferensi pers, di Kantor Aprindo, Jakarta, Jumat (28/6/2024) (Tira/Liputan6.com)

Pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menuai polemik.

PP Kesehatan yang disusun berlandaskan pendekatan omnibus ini mencampuradukkan sektor kesehatan dan ekonomi, seperti terkait pengaturan penjualan produk tembakau.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey menyayangkan PP Kesehatan yang seharusnya mereformasi dan membangun sistem dan layanan kesehatan sampai ke pelosok negeri, justru mematikan kegiatan ekonomi masyarakat.

Seperti yang tercantum dalam pasal 434 ayat (1) huruf c yang mencantumkan larangan menjual produk tembakau secara eceran satuan per batang.

Selain itu, pasal 434 ayat (1) huruf e menambahkan pengaturan bahwa setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.

"Kesehatan dan ekonomi dua hal berbeda. Ekonomi berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat, upaya masyarakat mencari nafkah bagi keluarga dan anak-anaknya, termasuk pedagang dan pelaku usaha. Jadi tidak bisa, seolah-olah dalam kebijakan, kesehatan harus menang, ekonomi kalah, atau sebaiknya," tegas Roy, Rabu, 31 Juli 2024.

"Harus balance. Artinya, sebagai bagian turunan dari UU Kesehatan, ya seharusnya PP ini fokus lah mengatur kesehatan. Bukan mengatur sampai bagaimana harus berjualan, berdagang," sambungnya.


Bagaimana Pelaksanaannya?

Ilustrasi pekerja di Industri tembakau. (Istimewa)
Ilustrasi pekerja di Industri tembakau. (Istimewa)

Roy juga memproyeksikan bahwa implementasi PP Kesehatan, terutama terkait zonasi pelarangan penjualan sejauh 200 meter.

"Bagaimana pelaksanaannya? Bagaimana mengukurnya, mau pakai meteran? Apakah Satpol PP-nya turun ke lapangan, ngukur pakai meteran? Begitu juga dengan defenisi tempat pendidikan yang sangat luas, apakah termasuk tempat kursus balet, kursus/bimbingan belajar, narasinya tidak spesifik," paparnya.

"Maka, pasal-pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam PP Kesehatan ini akan multitafsir dan dapat menjadi pasal karet, karena tidak mudah dilaksanakan," lanjutnya.

Menurut Roy, sejak 12 tahun lalu, sektor pertembakauan sudah sepakat dan disiplin menjalani implementasi aturan mengenai pengamanan zat adiktif yang tercantum dalam PP No 109 Tahun 2012, Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.


Penertiban Rokok Ilegal

Ilustrasi rokok ilegal di Banyuwangi (Istimewa)
Ilustrasi rokok ilegal di Banyuwangi (Istimewa)

Bagi Roy, yang menjadi urgensi saat ini adalah penertiban rokok ilegal.

"Kenapa pemerintah tidak fokus membasmi rokok ilegal yang sedang marak saat ini? Kenapa yang membayar cukai, yang berkontribusi bagi penerimaan negara, bagi pembangunan, bagi investasi tidak dilindungi? Dampak regulasi ini sampai ke hulu, ke petani tembakau. Pemerintah tidak memikirkan mitigasinya," sebutnya.

Aprindo berharap pemerintah tidak mematikan ekonomi masyarakat dengan disahkannya PP Kesehatan ini.

"Kami sudah menaati, mulai dari pembatasan iklan, kami juga patuh menjual rokok untuk usia dewasa. Lah, kenapa sekarang ditambah pasal karet ini, yang ujungnya juga tidak dapat menjamin hilangnya rokok ilegal? Sejak awal kami tidak pernah dilibatkan, tidak diajak bicara dan tidak tahu menahu soal sosialisasi peraturan ini," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya