Fakultas Hukum Unhas Minta Revisi UU Polri Ditunda

Sejumlah pihak dalam FGD Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar meminta agar revisi UU Polri ditunda.

oleh Eka Hakim diperbarui 20 Agu 2024, 15:11 WIB
Diterbitkan 20 Agu 2024, 15:00 WIB
Fakultas Hukum Unhas Makassar gelar FGD membahas revisi UU Polri
Sejumlah pihak dalam FGD Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar meminta agar revisi UU Polri ditunda.

Liputan6.com, Makassar Revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (UU Polri) dan Dampaknya terhadap Sistem Peradilan Pidana menjadi tema hangat dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar di Aula Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar, Selasa (20/8/2024).

Dalam sambutannya membuka langsung FGD tersebut, Dekan Fakultas Hukum UNHAS Prof. Hamzah Halim, mengatakan revisi UU Polri ini perlu dipikirkan kembali dengan rumusan yang baik sehingga menghasilkan produk hukum yang ideal. 

"Kita menginginkan FGD revisi UU Polri ini ada sumbangsih pemikiran yang benar tidak bertentangan dengan hukum acara sehingga menghasilkan aturan hukum yang ideal sebagai pedoman Kepolisian yang lebih melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum," ucap Prof. Hamzah.

Demikian halnya, Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi, Dr. Fachrizal Afandi. Ia menyebutkan FGD revisi UU Polri perlu dilakukan guna mendapatkan sumbang saran pemikiran.

Dia berpendapat banyak hal yang dibahas dalam Rancangan Undang-Undang Polri (RUU Polri) saat ini yang belum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

Hal ini, kata Fachrizal, dapat dilihat dalam draft RUU Polri seperti tambahan kewenangan penghentian penyidikan dan/atau penyelidikan (Pasal 16 ayat 1 huruf j). Di mana dalam KUHAP tidak dikenal penghentian penyelidikan.

Tak hanya itu, lanjut Fachrizal, juga mengenai masalah penambahan kewenangan melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri tanpa disertai penjelasan yang ketat (Pasal 16 ayat (1) huruf q). Di mana seharusnya upaya-upaya paksa ini dibahas dalam KUHAP bukan dalam RUU Polri dan dengan perintah pengadilan. 

"Demikian halnya dengan tugas Polri dalam pembinaan hukum nasional (Pasal 14 angka 1 huruf e). Hal ini bertentangan dengan kewenangan yang melekat pada Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham)," terang Fachrizal.

Dia menambahkan, dampak RUU Polri terhadap sistem peradilan pidana diantaranya, pengangkatan penyidik PNS dan khusus (Penyidik KPK, Jaksa) harus mendapatkan rekomendasi dari Polri.

Penyidik PNS dan khusus (Penyidik KPK, Jaksa), harus mendapatkan surat pengantar dari penyidik Polri sebelum mengirimkan berkas ke Penuntut Umum. 

"Potensi ketidakpaduan proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan persidangan karena aturan dibuat secara sektoral," jelas Fachrizal.

"Upaya paksa dan penghentian penyelidikan/penyidikan tanpa check and balance serta kontrol pengadilan menjadikan masyarakat terdampak sulit mendapatkan keadilan," Fachrizal menambahkan.

Berdasarkan pada poin-poin permasalahan di atas, dia merekomendasikan untuk menunda revisi UU Polri yang dilakukan terburu-buru ini.

"Perlu dilakukan pembahasan RUU Polri secara cermat pasca pengesahan Rancangan KUHAP (RKUHAP) dan cabut pengaturan terkait Hukum Acara Pidana dalam RUU Polri," ujar Fachrizal.

Peneliti Institute For Criminal Justice Reform, Iftitahsari dalam FGD juga turut merekomendasikan agar Presiden dan DPR RI untuk menunda pembahasan RUU Polri. 

Ia meminta agar substansi soal mekanisme pengawasan (oversight mechanism) diperdalam dan kepada Komisi III DPR RI untuk memulai proses pembahasan guna perubahan KUHAP (program legislasi nasional prioritas DPR RI 2024) khususnya terkait semua materi hukum acara dalam RUU Polri.

"Targetkan KUHAP baru? harus disahkan sebelum 2 Januari 2026 (KUHP baru mulai berlaku)," cetus Iftitahsari. 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya