Peringatan Setahun Tragedi Rempang, Upaya Warga Menjaga Harapan

Warga dari kampung tua Rempang terus menjaga asa menyalakan semangat perlawanan untuk agar harapan pulau Rempang tak dikuasai pemilik modal.

oleh Ajang Nurdin diperbarui 08 Sep 2024, 12:40 WIB
Diterbitkan 08 Sep 2024, 12:40 WIB
Rempang
Warga kampung tua di Pulau Rempang menghidupkan harapan dengan perlawanan kultural. Foto: liputan6.com/ajang nurdin 

Liputan6.com, Rempang - Setahun sudah berlalu sejak tragedi memilukan yang terjadi pada 7 September 2023 di Pulau Rempang. Bentrokan antara warga Melayu Rempang dan pasukan keamanan yang ditugaskan menjaga keamanan pengembangan Rempang Eco City sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) meninggalkan luka mendalam. 

Peristiwa tersebut tak hanya merenggut kenyamanan, tapi juga menimbulkan trauma bagi warga yang mempertahankan kampung leluhur mereka. Ini inti refleksi tragedi Rempang.

Pada hari itu, sekitar 1.000 petugas dari tim terpadu BP Batam dikerahkan untuk mengambil alih lahan warga, yang ditandai dengan pemasangan patok secara paksa. Hal ini memicu bentrokan, dan sejumlah warga, termasuk anak-anak sekolah, mengalami penderitaan. Sebanyak sembilan warga akhirnya ditangkap oleh kepolisian karena dianggap melawan pemerintah. 

Salah satu saksi, Ridwan (62), yang terkena peluru karet dalam insiden tersebut, menggambarkan tragedi itu sebagai peristiwa yang tak terlupakan.

“Kami tak rela Rempang dikelola asing. Kami berjuang mati-matian saat itu,” kata Ridwan saat mengikuti ziarah di makam leluhur Pulau Rempang di Lubuk Lanjut.

Warga Pulau Rempang, seperti Ridwan dan yang lainnya, merasa tak bisa berdiam diri. Mereka bersatu, mempererat ikatan demi mempertahankan tanah warisan leluhur yang memiliki sejarah panjang sejak masa Kerajaan Riau-Lingga.

Muhamad Sani (67), generasi ke-9 dari penduduk asli Pulau Rempang, menegaskan bahwa pulau ini bukanlah tanah kosong. Sejak dahulu kala, pulau ini menjadi benteng pertahanan Kerajaan Riau-Lingga, tempat tinggal leluhur mereka.

“Maka dari itu, kami melakukan ziarah untuk mengenang peristiwa ini dan memohon kepada Tuhan agar kampung kami tidak digusur,” katanya.

Sani, yang akrab disapa Tok Itam, menceritakan sejarah panjang Pulau Rempang yang hidup dari mulut ke mulut. Tentang peran pulau ini dalam mempertahankan wilayah dari penjajah asing. Dalam tradisi mereka, leluhur menjaga perairan Pulau Rempang dengan membuat jongkong perahu tradisional untuk melindungi perbatasan dari ancaman luar.

Bagi warga Rempang, pulau ini bukan sekadar tempat tinggal. Ini adalah tanah adat yang diwariskan dari generasi ke generasi, dengan nilai sejarah dan budaya yang sangat mendalam.

“Kami mohon kepada pemerintah agar proyek PSN ini dipindahkan. Ada banyak pulau besar lain yang bisa dijadikan tempat pembangunan, kenapa harus kampung tua kami yang digusur?” kata Tok Itam.

Pulau Rempang, dengan sejarah yang kaya dan akar budaya yang kuat, kini berada di persimpangan. Di satu sisi, pembangunan modern terus didesakkan pemerintah, namun di sisi lain, warga tetap teguh dalam mempertahankan warisan leluhur yang telah ada jauh sebelum kedatangan penjajah VOC pada tahun 1675. Bagi mereka, Pulau Rempang adalah lebih dari sekadar tanah, ini adalah simbol identitas dan kebanggaan yang tidak bisa digantikan.

Warga Pulau Rempang terus berharap agar suara mereka didengar, agar kampung-kampung tua dan makam leluhur mereka tetap terjaga, serta agar tragedi yang terjadi tidak terulang kembali.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya