Liputan6.com, Palembang - Pemerintah pusat rencana akan melakukan pembatasan pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi per tanggal 1 Oktober 2024 mendatang. Pembatasan pembelian BBM subsidi jenis pertalite dan solar tersebut dilakukan, untuk mengurangi dampak polusi dan efisiensi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2025 mendatang.
Pengamat transportasi Bambang Haryo Soekartono (BHS) menilai, pemerintah harus melakukan evaluasi dan pengawasan lebih terperinci. Karena dengan pembatasan BBM subsidi saja tidak akan cukup, apalagi untuk memastikan subsidi energi tepat sasaran.
Menurutnya, pembatasan pembelian BBM subsidi tersebut harus disertai evaluasi prioritas peruntukan, evaluasi harga dan pengawasan distribusi BBM subsidi.
Advertisement
“Pembatasan yang dilakukan pemerintah tujuannya kan untuk penghematan anggaran subsidi, itu benar. Tapi seharusnya pemerintah juga harus mengevaluasi terkait peruntukkannya dan juga harganya,” ujarnya, Senin (9/9/2024).
Baca Juga
Dia berkata, peruntukan BBM subsidi harusnya diprioritaskan untuk transportasi publik, baik logistik darat (truk) maupun angkutan penumpang massal seperti bis.
Apalagi sebagai negara maritim dengan jumlah pulau yang banyak, prioritas BBM subsidi juga harusnya untuk transportasi laut, baik penumpang maupun logistik serta angkutan kereta api. BHS berharap masyarakat bisa terdorong untuk menggunakan transportasi publik jika tarifnyanya murah, karena harga BBM juga rendah.
“Ini juga akan menurunkan harga produk industri, jika transportasi logistiknya murah karena harga BBM rendah. Akan berdampak juga terhadap harga jual, produk yang murah, yang akan meningkatkan daya beli dan mengurangi beban masyarakat konsumen,” ujarnya.
Prioritas peruntukan lainnya yakni untuk nelayan dan petani yang sesuai dengan kebutuhan operasional mereka. Seperti bahan bakar kapal nelayan, pompa pengairan sawah dan traktor bajak sawah bagi para petani.
Karena hal tersebut akan berdampak besar bagi swasembada pangan dengan harga pangan yang murah, sehingga bisa menimbulkan Multi Player Economy (MPE) yang luas. Apalagi saat ini, jumlah BBM subsidi untuk Pertalite sekitar 31,7 juta KL dan Solar sekitar 18.89 juta KL.
Indikasi Korupsi
Jumlah tersebut, lanjut BHS, sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan transportasi publik dan logistik massal, baik darat, laut dan kereta api. Serta kebutuhan nelayan dan petani yang hanya membutuhkan sekitar 20 persen dari total kuota subsidi solar dan 10 persen dari total kuota subsidi Pertalite.
“Jadi sisa kuota liter BBM subsidi untuk rakyat yang menggunakan kendaraan pribadi yang berjumlah sekitar 19.7 juta mobil dan 120 juta motor yang ada di Indonesia masih sangat cukup. Jika BBM subsidi tidak disalahgunakan untuk dialihkan ke sektor industri. Dan juga terjadi indikasi kebocoran di pipa pipa kilang minyak, yang begitu banyak terjadi di Indonesia,” ujarnya.
Dia berujar, indikasi penyalahgunaan BBM subsidi dan kebocoran harus diawasi dan ditindak langsung oleh aparat kepolisian, kejaksaan dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena BBM subsidi dianggarkan dari dana APBN. Jika disalahgunakan, bisa masuk dalam manipulasi atau korupsi.
Saat ini transportasi publik di Indonesia dinilainya masih belum bisa memberikan konektivitas inter-moda dengan murah, cepat, aman, nyaman dan terjadwal. Kondisi tersebut juga dialami di Malaysia.
Yakni dengan memberikan subsidi bahan bakar Ron 95 dengan harga yang sangat murah yaitu 2.05 Ringgit Malaysia atau setara dengan Rp 6.900, untuk 17.2 juta kendaraan mobil dan 16.7 juta sepeda motor yang ada di Malaysia secara penuh.
“Karena pemerintahnya merasa belum bisa menyediakan transportasi publik dari point to point secara maksimal,” katanya.
Simaklah video pilihan berikut ini:
Advertisement