Liputan6.com, Bandung - Pusat Riset Kedokteran Preklinis dan Klinis (PRKPP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan hingga saat ini belum ada tes deteksi yang cepat dan akurat untuk monkeypox (mpox), terutama yang dapat membedakannya dari penyakit serupa.
Menurut Peneliti PRKPP BRIN Reza Yuridian Purwoko, penanganan mpox di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan. Itu merupakan hasil risetnya bersama peneliti lain di prosiding ilmiah International Conference on Health Research yang diadakan BRIN.
Baca Juga
"Pengembangan tes semacam ini sangat diperlukan untuk meningkatkan diagnosis dan penanganan kasus. Selain itu, panduan pengobatan yang ada masih terbatas. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang obat antivirus, khususnya untuk menangani kasus-kasus yang parah," ujar Reza dicuplik dari laman BRIN, Jumat (13/9/2024).
Advertisement
Hasil sistematis literature study mereka, menemukan beberapa faktor risiko yang mesti diperhatikan, yaitu kontak dengan hewan pengerat, misalnya konsumsi daging hewan yang terinfeksi virus dengan tidak matang, riwayat perjalanan dari daerah yang tinggi penyakitnya, dan terutama adalah kontak intim erat, salah satunya melalui hubungan seksual.
Reza mengatakan sama halnya dengan penanganan mpox pada anak-anak juga masih menjadi perhatian khusus. Informasi tentang perawatan dan pengobatan untuk pasien anak masih sangat terbatas.
"Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan dosis obat yang tepat dan metode perawatan yang sesuai untuk anak-anak," ungkap Reza.
Selain itu, masih sedikit data tentang efek jangka panjang dari infeksi mpox. Penelitian lanjutan sangat diperlukan untuk memahami dampak jangka panjang dan mengembangkan protokol perawatan pasca-pemulihan yang efektif.
Reza menyebutkan edukasi kepada masyarakat juga menjadi tantangan tersendiri. Diperlukan kampanye informasi yang lebih luas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang mpox dan mengurangi stigma yang mungkin muncul.
"Di Indonesia, sistem pemantauan kasus mpox masih perlu ditingkatkan, terutama di daerah-daerah terpencil. Pemanfaatan teknologi untuk pelaporan kasus secara real-time bisa menjadi solusi untuk masalah ini," kata Reza.
Reza memaparkan belum lagi masalah vaksinasi juga perlu mendapat perhatian. Ketersediaan vaksin masih terbatas, dan strategi yang jelas untuk menentukan prioritas vaksinasi sangat diperlukan.
Pencegahan penularan di fasilitas kesehatan juga perlu ditingkatkan untuk menghindari penyebaran mpox di rumah sakit.
"Selain itu, diperlukan aturan yang lebih jelas untuk mencegah penyebaran mpox melalui perjalanan antar negara," sebut Reza.
Untuk mengatasi berbagai tantangan penanganan mpox ini, Reza mnegasakan beberapa arah penelitian perlu diprioritaskan.
Seperti pengembangan tes deteksi mpox yang lebih cepat dan akurat menjadi salah satu fokus utama. Penelitian tentang obat-obatan baru untuk mpox juga perlu dilakukan, terutama untuk kasus-kasus yang lebih parah.
"Studi tentang dampak jangka panjang dari infeksi mpox akan membantu dalam pengembangan protokol perawatan yang lebih baik," terang Reza.
Tak kalah penting ucap Reza, penelitian tentang strategi komunikasi yang efektif diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
Studi tentang strategi vaksinasi yang optimal juga penting dilakukan, termasuk evaluasi efektivitas vaksin pada berbagai kelompok populasi.
"Peningkatan sistem pemantauan kasus mpox dan pengembangan kerjasama internasional dalam pengendalian penyakit ini juga menjadi prioritas penelitian di masa depan," jelas Reza.
Dengan fokus pada area-area penelitian ini, Reza berharap penanganan mpox di Indonesia dapat ditingkatkan, baik dari segi pencegahan, deteksi dini, pengobatan, maupun pengendalian penyebaran penyakit ini.
Sebelumnya pada Agustus 2022, PRKPP BRIN telah menggelar webinar sejenis mengenai Mpox. Reza menjelaskan, saat itu, belum ada kasus mpox terkonfirmasi sama sekali di Indonesia. Namun, saat ini,sangat berbeda.
"Per September 2024 sudah ada 88 kasus. Mpox perlu segera diteliti dan dilakukan inovasi-inovasi penatalaksanaannya," tegas Reza.
Â
Komitmen BRIN
Sementara itu, Kepala Organisasi Kesehatan (ORK) BRIN Ni Luh Putu Dharmayanti menegaskan, BRIN terus berkomitmen untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan wabah atau kejadian luar biasa (KLB) mpox di Indonesia.
Dharmayanti mengatakan, penelitian lebih lanjut akan terus dilakukan terkait epidemiologi, transmisi dan pengembangan vaksin atau terapi baru dalam upaya pengendalian mpox.
"Salah satunya melalui penyelenggaraan webinar oleh Pusat Riset Kedokteran Preklinis dan Klinis (PRKPP) untuk memperoleh informasi terkini perkembangan mpox sekaligus mendorong peluang kerjasama dengan instansi terkait dalam upaya pencegahan penyebaran mpox di Indonesia," ujar Dharmayanti.
Sedangkan, Kepala PRKPP BRIN Harimat Hendarwan menegaskan pencegahan cacar monyet dapat diupayakan dengan pemberian vaksin cacar, penggunaan pelindung pribadi, dan menghindari kontak dengan hewan yang terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi.
"Prinsipnya kita harus kembali menegakkan disiplin protokol kesehatan untuk mencegah risiko penularan. Pengobatan umumnya bersifat suportif, dengan fokus pada pengelolaan gejala dan pencegahan infeksi sekunder. Beberapa terapi antiviral mungkin digunakan dalam kasus-kasus yang parah atau berisiko tinggi," jelas Harimat.
Advertisement
Masyarakat Diimbau Kurangi Aktivitas di Keramaian
Dilansir Kanal Regional Liputan6, masyarakat diimbau agar mengurangi aktivitas yang tidak terlalu penting di pusat keramaian guna mencegah paparan penyakit mpox.
Menurut Ketua Tim Dokter Penanggulangan Penyakit Infeksi Menular Khusus Rumah Sakit Umum Pemerintah (RSUP) Hasan Sadikin Bandung, Hendra Gunawan, imbauan ini terkait peningkatan jumlah kasus mpox.
"Karena ada satu kasus yang ditemukan varian Ib di Thailand, yang dikatakan lebih virulen (mematikan) dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya, nah kita harus lebih berhati-hati sedapat mungkin kalau memang kegiatannya tidak esensial, urgent, primer sekali lagi untuk menghindari kerumunan-kerumunan," ujar Hendra di RSUP Hasan Sadikin Bandung, ditulis Jumat (6/9/2024).
Pasalnya, kata Hendra, dalam keramaian tidak diketahui terdapat orang yang sudah terpapar mpox. Meski terdapat beberapa medium penularan penyakit yang disebabkan oleh virus monkeypox.
Medium penularan pertamanya adalah dengan kontak langsung kulit dengan kulit dengan penderita mpox. Termasuk hubungan seksual yang kini banyak terjadi.
"Karena memang melalui hubungan seksulal (penularannya) kemudian kontak tidak langsung melalui benda-benda yang terkontaminasi virus mpox dan melalui droplet (cairan yang keluar dari hidung dan mulut)," kata Hendra.
Hendra menegaskan penularan mpox tidak seganas COVID-19 dengan menyebar lewat udara (airborne). Namun, seluruh kelompok masyarakat harus tetap mewaspadainya.
Tak hanya itu, pencegahan yang harus dilakukan oleh masyarakat adalah menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
"Untuk orang yang merawat pasien mpox secara mandiri jangan lupa memakai alat pelindung diri (APD) dan masker serta sarung tangan. Untuk meminimalisir kontak langsung atau terkena droplet," tambah Hendra.
Protokol kesehatan sewaktu pandemi COVID-19 sepert 5M yaitu Memakai masker, Mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, Menjaga jarak, Menjauhi kerumunan, serta Membatasi mobilisasi dan interaksi perlu diterapkan kembali sebagai bentuk kewaspadaan.
Â
Lima Ruang Isolasi Disiagakan
RSUP Hasan Sadikin Bandung sendiri telah menyiagakan lima ruang isolasi di Gedung Kemuning untuk mengantisipasi adanya pasien mpox yang dirawat.
Menurut Manajer Pelayanan Medik RSUP Hasan Sadikin Bandung, Fiva Aprilia Kadi, sistem rute untuk pasien mpox rujukan dari pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) atau rumah sakit umum daerah (RSUD) juga telah disiapkan.
"Jadi bisa kita terima lewat IGD (instalasi gawat darurat) maupun lewat poliklinik. Nanti dari situ akan dilihat oleh dokter yang sedang bertugas bisa di jam kerja maupun jam jaga, setelah itu kami akan melakukan penilaian apakah pasien tersebut harus dirawat atau tidak," ujar Fiva di RSUP Hasan Sadikin Bandung, Kamis (5/9/2024).
Fiva mengatakan penilaian kondisi kesehatan pasien yang gejalanya mirip mpox itu akan dilakukan oleh tim dokter penyakit infeksi menular khusus.
Fiva menuturkan jika hasil penilaian medis tim dokter harus dilakukan perawatan maka pemeriksaan lanjutan akan segera dilakukan.
"Seperti pemeriksaan fisik, rontgen dengan menggunakan APD (alat pelindung diri) dan masker seperti COVID terdahulu. Maka kita akan merawat di dua tempat, bisa Gedung RIKK ataupun Gedung Kemuning lantai 1. Ruangannya sudah disiapkan oleh RSUP Hasan Sadikin," kata Fiva.
Tim dokter penanganan pasien mpox ucap Fiva dibagi menjadi dua bagian, yakni untuk pasien dewasa dan pasien anak.
Tim dokter penanganan pasien mpox dewasa ditangani oleh dokter dari bagian penyakit dalam (internis). Sementara tim dokter untuk pasien usai 18 tahun kebawah oleh dokter anak.
"Nanti penanganan pasien mpox anak itu akan dibarengi pemeriksaannya dengan dokter internis," ungkap Fiva.
Berdasarkan pantauan di ruang isolasi Flamboyan, Gedung Kemuning, RSUP Hasan Sadikin, terdapat tiga pasien yang tengah dirawat. Mereka bukan pasien mpox, tetapi pasien tuberculosis (TB).
Â
Advertisement
Siap Menerima Pasien Rujukan
Sementara itu, Direktur Medik dan Keperawatan RSUP Hasan Sadikin Bandung, Iwan Abdul Rachman mengaku otoritasnya siap menerima setiap pasien mpox yang dirujuk dari fasilitas kesehatan lain.
"Tentunya saat ini kami mempunyai kesiapan penuh karena kami juga sudah mempunyai tim. Timnya dipimpin oleh Prof. Hendra," ungkap Iwan.
Iwan menyebutkan alur penanganan dan jalur dibawanya pasien mpox telah dipersiapkan pula. Iwan mengingatkan meski sistem rute dan fasilitas sudah mumpuni, seluruh kelompok masyarakat tidak panik.
Kondisi paparan mpox hingga kini diklaim Iwan masih terkendali. Terpenting ucap Iwan, kewaspadaan harus tetap dijaga.
"Kewaspadaan harus ditingkatkan dengan adanya kasus ini namun jangan sampai panik," ungkap Iwan.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI telah menerbitkan surat edaran 20 Agustus 2024 tentang kewaspadaan terhadap paparan penyakit mpox di pintu masuk pelabuhan dan bandara domestik dan di wilayah.
Surat edaran Dirjen P3 Kemenkes RI ini menindaklanjuti keputusan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa penyakit mpox statusnya menjadi darurat kesehatan global.
"Dikarenakan ada peningkatan jumlah kasus khususnya di Benua Afrika dan Amerika. Kita bahwa ini bukan pertama kali, sebelumnya penyebaran penyakit mpox juga pernah terjadi," terang Iwan.
Namun, lanjut Iwan, pada 11 Mei 2023 status serupa sempat dicabut oleh WHO dan 17 Agustus 2024 kembali diberlakukan.