Liputan6.com, Jakarta - Para tokoh agama diharap mampu membawa agama bukan hanya untuk urusan di tempat Ibadah tapi juga untuk menangani persoalan di lapangan, persoalan ekonomi, persoalan masyarakat.
Dengan begitu, tokoh agama mampu menggunakan pengaruhnya untuk mendorong perubahan termasuk mendorong agar kebijakan pemerintah itu lebih berpihak pada rakyat.
Hal itu dikatakan oleh Alissa Wahid saat menghadiri acara Tri Hita Karana Universal Reflection Journey yang merupakan acara yang merefleksikan perjalanan universal guna menghidupkan harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Gerakan yang terinspirasi dari filosofi Bali, Tri Hita Karana ini berlangsung selama dua hari (14–15 Desember 2024), dan menitikberatkan pada nilai Uniting in Diversity for People, Planet, in Partnership for Peace and Prosperity.
"Kita ingin para pembuka agama itu kembali ke zaman Gusdur, Romo Mangun, Ibu Ida Gedong Bagus Oka itu membawa agama bukan hanya urusan di tempat ibadah tapi juga untuk menangani persoalan di lapangan, persoalan ekonomi, persoalan masyarakat. Jadi tokoh agama menggunakan pengaruhnya untuk mendorong perubahan. Juga untuk mendorong agar kebijakan pemerintah itu lebih berpihak pada rakyat tidak seperti sekarang ada korupsi tidak tidak ditindak karena banyak yang mengambil keuntungan dari situ," ujar Alissa.
Sementara itu di kesempatan sama Lestari Murdia, Wakil Ketua MPR, mengatakan acara lintas agama tersebut menjadi penting untuk melakukan refleksi perjalanan dua dekade belakangan perubahan di bumi luar biasa bukan hanya dari bumi itu sendiri tapi juga perilaku manusia.
"Tri Hita Karana adalah sebuah filosofi yang mengingatkan kita semua untuk harus hidup secara balance bagaimana kita berhubungan dengan bumi, dengan sesama manusia dan Yang Kuasa di Atas. Forum hari ini adalah sebuah refleksi yang mengingatkan kita untuk lebih mawas diri. Harapan saya forum ini bisa dilakukan secara continue dan bisa melibatkan banyak pihak," ujarnya.
Hal yang sama disampaikan oleh Tantowi Yahya, Presiden Yayasan Upaya Indonesia Damai atau dikenal sebagai United In Diversity Foundation, acara ini adalah acara yang memancarkan sebuah harmoni antara kemanusiaan, alam dan spiritualitas yang diinspirasi oleh filosofi hidup orang Bali yaitu Tri Hita Karana.
"Acara ini juga dalam rangka meresonasikan isi dan semangat dari deklarasi Istiqlal yang ditandatangani beberapa bulan lalu oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Istiqlal dan ini mensimbolisasikan kedamaian dari agama-agama di dunia ke persatuan untuk mencapai masa depan yang lebih baik," ujar Tantowi di tempat yang sama.
Semangat Persahabatan
Para pemimpin global terkemuka, tokoh spiritual, dan seniman terkenal berkumpul di pantai suci Kura-Kura Bali untuk berefleksi dan mencari solusi modern untuk mengatasi tantangan global yang mendesak dalam Perjalanan Refleksi Universal Tri Hita Karana: Bersatu dalam Keberagaman untuk Perdamaian, Kemakmuran, Rakyat, Planet, dan Kemitraan (5P).
Paus Fransiskus, Imam Besar Nasaruddin, peraih Penghargaan Hollywood Michelle Yeoh, Presiden Bank Dunia Ajay Banga, pendiri Bridgewater Ray Dalio, pemimpin spiritual Deepak Chopra, filantropis Susan Rockefeller, dan pemerintah Indonesia berkumpul untuk berpartisipasi dalam acara unik yang merayakan persatuan, keragaman, dan pembangunan berkelanjutan, Ray Dalio, investor makro global selama lebih dari 50 tahun bergabung dengan gerakan THK.
"Dari Abu Dhabi ke Bali, kita bersatu dalam tujuan bersama: untuk menciptakan dunia di mana keragaman dirayakan, dan harmoni menang. Mari kita menghormati semangat Istiqlal dan bekerja bersama untuk membangun masa depan yang lebih baik untuk semua," ungkap Dalio.
Saat ribuan lilin dinyalakan, upacara Tari Perdamaian Bali yang memukau telah digelar, menampilkan kain berukuran 17x35 meter yang dihiasi dengan lukisan SDG 16-Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh.
Gerakan global ini, terinspirasi oleh Deklarasi Istiqlal dan semangat persahabatan yang dipelihara oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Nasaruddin, bertujuan untuk memperkuat komitmen terhadap perdamaian dan harmoni.
Acara ini menampilkan pertunjukan memikat dari lagu "Lilin Lilin Kecil" (Lilin Kecil), diiringi lagu kebangsaan global yang disusun dari instrumen musik dari seluruh dunia. Seniman kontemporer dari G20 dan H20 memamerkan karya mereka melalui kubah seni konstelasi. herputar yang menyinari di area Kura Kura Bali, Pulau Serangan, Bali.
Pertemuan ini berfungsi sebagai platform yang kuat untuk membahas dan menangani masalah kritis seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan sosial, dan perdamaian global. Dalam acara ini, para peserta diundang untuk bertransformasi dari pemikiran egosentris menjadi solusi ekosentris, membangun jaringan dengan para pemimpin dari berbagai sektor, dan memicu. potensi spiritual, kolaboratif, dan intelektual.
Seperti yang dikatakan Tantowi dalam konferensi persnya, dua belas seniman baru dipilih untuk menciptakan karya seni baru yang akan menjadi platform global untuk mengeksplorasi solusi inklusif dan inovatif untuk isu-isu kritis terkait air, terutama dalam mempercepat pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan 2030. Tema-tema berkisar dari akses air, kualitas air, kenaikan permukaan laut, dan banyak situasi mendesak lainnya.
Kelompok seniman yang beragam dan bersemangat untuk edisi kedua ini termasuk Mariam Alnoaimi (Bahrain), Ragnar Axelsson (Islandia), Carlos Esteves (Kuba), David Gumbs (Martinique), Katie Holton (Irlandia), Sid Natividad (Filipina), Donna Ong (Singapura), Gayan Prageeth (Sri Lanka), Alexis Rockman (AS), Abigail Romanchak (Hawaii), Citra Sasmita (Bali), dan Michael Tuffery (Selandia Baru).
Hati Indonesia Polyhedra: Menyatukan Dunia Melalui Seni dan Aksi
Instalasi "Hati Indonesia Polyhedra" adalah manifestasi nyata dari semangat persatuan dan keberagaman yang menjadi jantung THK U. Dalam kolaborasi dengan Yayasan Scholas Occurrentes, instalasi geometris yang saling terhubung ini mengajak kita untuk melihat diri kita sebagai bagian dari keseluruhan yang lebih besar.
Proses penciptaannya melibatkan partisipasi aktif masyarakat, dengan orang-orang yang berkontribusi ide, waktu, dan materi. Dengan demikian, "Hati Indonesia Polyhedra" tidak hanya menjadi karya seni tetapi juga simbol semangat kerja sama dan kepedulian lingkungan.
Advertisement