Mengulik Sejarah dan Peran Sunan Kudus, Penetapan Hari Jadi Kudus Siap Direvisi agar Tak Picu Perdebatan

Berbekal prasasti tertulis yang dipahat di Menara Masjid Sunan Kudus, maka penting tindak lanjut serius dari Pemkab Kudus untuk merevisi penetapan Hari Jadi Kota Kudus

oleh Tim Regional diperbarui 26 Des 2024, 19:01 WIB
Diterbitkan 26 Des 2024, 18:49 WIB
Suasana diskusi budaya “Menyongsong 500 Tahun Kudus 956-1456 Hijriyah, Jejak Laku Syaikh Jafar Shadiq dalam Membentuk Peradaban Kudus yang Sejahtera, Harmoni, dan Takwa”. (Liputan6.com/Arief Pramono)
Suasana diskusi budaya “Menyongsong 500 Tahun Kudus 956-1456 Hijriyah, Jejak Laku Syaikh Jafar Shadiq dalam Membentuk Peradaban Kudus yang Sejahtera, Harmoni, dan Takwa”. (Liputan6.com/Arief Pramono)

Liputan6.com, Kudus - Kudus yang merupakan salah satu kabupaten terkecil di Jawa Tengah. Kudus erat kaitannya dengan sosok Sunan Kudus yang memiliki nama asli Ja’far Shodiq.

Namun, penetapan Hari Jadi Kudus yang jatuh pada 23 September berdasarkan Perda Nomor 11 Tahun 1990 hingga kini masih menjadi bahan perdebatan. Penetapan Hari Jadi Kota Kudus pada 23 September 1549 M ini, sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah (PERDA) No. 11 Tahun 1990.

Penetapan tanggal dan bulan yang menandai berdirinya Kudus yang dikenal sebagai Kota Kretek ini, berlangsung sejak masa pemerintahan Bupati Kolonel Soedarsono.

Setiap tahunnya, peringatan Hari Jadi Kudus dirayakan berbagai kegiatan. Seperti parade budaya, upacara, tasyakuran, doa bersama, dan tahlil di Masjid Menara Kudus.

Rangkaian tradisi ini mencerminkan penghormatan masyarakat setempat, terhadap sejarah dan nilai-nilai Islam yang telah mengakar kuat di Kudus.

Meski demikian, sejumlah pihak menilai penetapan Hari Jadi Kudus yang telah berlangsung sejak 34 tahun silam, dinilai kurang memiliki dasar keilmuan yang kuat.

Keraguan penetapan Hari Jadi Kudus tersebut mencuat, saat diskusi budaya bertajuk “Menyongsong 500 Tahun Kudus 956-1456 Hijriyah, Jejak Laku Syaikh Jafar Shadiq dalam Membentuk Peradaban Kudus yang Sejahtera, Harmoni, dan Takwa”.

Agenda diskusi kali ini untuk menggali kembali makna dan sejarah Hari Jadi Kudus. Selain itu, mengupas peran penting Sunan Kudus dalam membangun peradaban.

“Eksplorasi mendalam tentang sosok dan sejarah Sunan Kudus masih sangat minim,” ujar Maesah Agni, pendiri Yayasan Al Manar mengawali diskusi budaya bertempat di Rumah Muntira Kudus, Senin (23/12/2024).

Menurut Maesah, jika penanggalan yang tertulis dalam naskah akademis Perda tersebut dikonversi, maka seharusnya Hari Jadi Kudus jatuh pada 2 Oktober.

“Dari pembacaan prasasti, Kudus sebenarnya berdiri pada 19 Rajab 956 Hijriyah, atau 23 Agustus 1549 dalam penanggalan Masehi,” ungkap Maesah sang penggagas diskusi budaya.

Berbekal prasasti tertulis yang dipahat di Menara Masjid Sunan Kudus, maka penting tindak lanjut serius dari Pemkab Kudus untuk merevisi penetapan Hari Jadi Kota Kudus.

Maesah mengakui, revisi Perda Nomor 11 tahun 1990 tentang Hari Jadi Kudus memang sudah lama diwacanakan. Alasannya, penentuan Hari Jadi Kudus dinilai rancu, dan tak memiliki dasar pijakan keilmuan yang jelas.

Karena itu, Maesah berharap, sejarah Hari Jadi Kudus ini perlu diluruskan melalui pijakan sejarah dan keilmuan yang jelas.

Pandangan Sejawaran dan Javanolog

Masjid Menara Kudus
Masjid Menara Kudus (Sumber: Simas Kemenag)

Dalam agenda diskusi itu, juga dihadirkan Moh. Asli Akmal yang dikenal sebagai Pemerharti Sejarah dan Kebudayaan Kudus. Selain itu, ada juga Ketua Paguyuban Ketoprak se-Kabupaten Pati, Lek Mogol dan Javanolog dan Budayawan dari Yogyakarta Irfan Afifi.

Diskusi malam itu, juga dihadiri Bupati dan Wakil Bupati Kudus terpilih, Samani Intakoris dan Bellinda Birton. Kepala Disbudpar Kudus Mutrikah, Ketua Komisi B DPRD Kudus, Sekretaris Komisi A DPRD Kudus Muhtamat, dan tokoh seniman, budayawan, dan akademisi di Kudus.

Sementara itu, Javanolog dan Budayawan dari Yogyakarta, Irfan Afifi menambahkan, Sunan Kudus tidak sekedar ulama penyebar Islam di wilayah Kudus. Paparan Irfan berdasarkan sejumlah manuskrip.

Sunan Kudus dalam Hikayat Hasanudin Banten, kata Irfan, disebutkan sebagai imam kelima Masjid Demak. Sunan Kudus merupakan putra imam keempat Masjid Demak, yakni Sunan Ngudung.

“Tugas Sunan Kudus dalam manuskirp yang saya baca, sejak awal dikenalkan sebagai sosok yang tugasnya mencipta tata hukum masyarakat serta pengadilannya. Karena itulah, ia dikenal sebagai ulama fikih yang ulung,” terang Irfan.

Di mata Irfan, Sunan Kudus memiliki visi disiplin dalam sejumlah pandangan terkait agama. Yakni tegas, spirit juang ekonomi dan spirit untuk tidak menolak-menolak.

Irfan menyebut bahwa Sunan Kudus bersikap tidak menolak, yakni memiliki artian mengambil jati diri masyarakat yang sudah ada, kemudian diolah menjadi kebudayaan baru.

“Misalnya hewan sapi yang tidak boleh disembelih, gapura Majapahit diambil untuk menguatkan kedaulatan masyarakat kudus,” papar Irfan.

Dengan sikap itulah, imbuh Afifi, yang membuat corak masyarakat Kudus berbeda dari kelompok santri atau masyarakat yang lain. Utamanya di wilayah Jawa bagian selatan.

 

Samani Siap Revisi Perda Hari Jadi

Bupati dan Wakil Bupati Kudus terpilih, Samani Intakoris dan Belinda mengaku akan merevisi Hari Jadi Kudus dan rencana pendirian museum Sunan Kudus. (Liputan6.com/Arief Pramono
Bupati dan Wakil Bupati Kudus terpilih, Samani Intakoris dan Belinda mengaku akan merevisi Hari Jadi Kudus dan rencana pendirian museum Sunan Kudus. (Liputan6.com/Arief Pramono

Merespons usulan dalam diskusi budaya itu, Bupati Kudus terpilih, Samani Intakoris mengaku memiliki dua rencana besar pada tahun 2025 nanti. Rencana itu adalah merevisi Hari Jadi Kudus dan pendirian museum Sunan Kudus.

Samani menegaskan pentingnya melacak kembali sejarah dan peran Sunan Kudus dalam perkembangan Kabupaten Kudus. Sebab filosofi Gusjigang (Bagus, Ngaji, Dagang) yang diwariskan Sunan Kudus telah menjadi dasar kehidupan warga Kudus.

“Namun hal ini kami rasa belum selesai. Perlu diskusi dan kajian mendalam untuk menggali lebih jauh peran Sunan Kudus dalam membentuk identitas Kudus yang kita kenal saat ini,” terang Samani.

Samani juga ingin memperdalam pengetahuan terkait sejarah Sunan Kudus. Kemudian mendokumentasikannya dalam bentuk museum. Keberadaan museum ini, untuk memperkenalkan sejarah dan warisan Sunan Kudus kepada generasi muda dan masyarakat luas.

Samani berharap para budayawan dan tokoh masyarakat, bisa berkontribusi dalam proses pengumpulan informasi dan artefak yang nantinya akan dipamerkan.

“Dengan adanya museum Sunan Kudus dan revisi Hari Jadi, kami berharap Kudus akan memiliki fondasi sejarah yang kuat dan menjadi inspirasi bagi masyarakat luas,” tukas mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kudus ini.

Tidak hanya itu, Samani juga berencana membentuk tim kajian Hari Jadi Kudus. Langkah tersebut sebagai bentuk penelusuran kebenaran sejarah berdirinya Kudus.

”Setelah dilantik, kami segera membentuk tim kajian agar tak ada lagi perbedaan (Penetapan Hari Jadi Kudus). Tentu ini membutuhkan kesepakatan dan persetujuan bersama dan kajian akademisnya,” pungkasnya.

(Arief Pramono)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya