Liputan6.com, Yogyakarta - Kasus penembakan 5 pekerja migran dari Indonesia yang dilakukan oleh Agensi Penguatkuasa Maritim Malaysia di Perairan Tanjung Rhu, Selangor, Malaysia pada 24 Januari lalu yang menyebabkan satu orang meninggal menjadi pertanyaan besar dalam perlindungan hak asasi manusia (HAM). Pemerhati Hak Asasi Manusia Internasional dari Fisipol UGM, Dafri Agussalim, mengatakan tindakan aparat Malaysia dalam insiden Malaysia tembak migran Indonesia ini tergolong berlebihan dan melanggar hukum internasional terkait HAM.
“Tindakan aparat Malaysia tersebut bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum internasional terutama soal HAM,” kata Dafri, Senin 3 Februari 2025.
Dafri mengatakan pemerintah tidak boleh berhenti melayangkan protes resmi ke Malaysia soal langkah yang harus diambil Indonesia. Dafri menekankan Indonesia juga harus melakukan perbaikan sistemik di dalam negeri.
Advertisement
Baca Juga
“Seharusnya ini tidak hanya berhenti pada pemberian kompensasi dan penjatuhan hukuman nanti. Lebih dari itu, kedua negara harus membahas ulang mekanisme perlindungan pekerja migran agar kejadian serupa tidak terus berulang," ujar Dosen Departemen Hubungan Internasional.
Dafri meminta pemerintah pentingnya revisi dan penegakan perjanjian bilateral terkait perlindungan tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Ia menjelaskan ada protokol yang mengatur perlindungan pekerja migran di tingkat ASEAN walaupun memang implementasinya masih jauh dari harapan.
"Banyak aturan yang sudah ada, tetapi dalam praktiknya tidak berjalan efektif. Masalah ini harus menjadi introspeksi bagi pemerintah Indonesia agar lebih serius dalam menangani arus migrasi ilegal," katanya.
Pihaknya mendorong agar kasus Malaysia tembak migran Indonesia ini tidak diselesaikan secara parsial, melainkan harus dengan pendekatan sistematis yang mencakup aspek hukum, ekonomi, dan sosial. Menurutnya Indonesia dihadapkan pada tugas besar, yakni menuntut keadilan bagi korban, membenahi kebijakan ketenagakerjaan, serta memperkuat perlindungan bagi pekerja migran agar tragedi serupa tidak terus berulang.
"Ini bukan sekadar kasus penembakan, tetapi masalah besar yang mencerminkan kegagalan sistemik dalam pengelolaan tenaga kerja Indonesia. Berantas kejahatan ini hingga ke akar-akarnya dan bentuk hubungan bilateral yang jelas serta mampu melindungi warga negara,” jelasnya.
Ia mengatakan adanya pekerja migran ilegal masuk ke negara Malaysia bukan hanya karena oleh kebijakan Malaysia. Namun, karena kombinasi beberapa faktor, yakni faktor pendorong dari dalam negeri (push factor) dan faktor penarik dari negara tujuan (pull factor).
"Salah satu faktor utamanya adalah kegagalan pemerintah Indonesia dalam menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai. Jika di dalam negeri tersedia pekerjaan dengan upah layak, maka masyarakat tidak akan mengambil risiko besar dengan bekerja secara ilegal di luar negeri," tegasnya.
Sementara para pekerja migran memilih Malaysia sebab menawarkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi dibandingkan di Indonesia. Ditambah peran calo dan sindikat perdagangan tenaga kerja memperburuk keadaan menjadi intermediary factor atau faktor ketiga dalam rantai migrasi ilegal.
"Ini adalah kejahatan yang sebenarnya sudah lama diketahui. Namun, ada indikasi pembiaran atau ignorance dari negara.”
Menurutnya para pekerja migran non prosedural ini seringnya terjebak dalam skema perekrutan ilegal. Mereka dijanjikan pekerjaan yang layak, tetapi harus membayar sejumlah uang kepada calo di Indonesia maupun di Malaysia.
"Rantai bisnis ini sangat panjang, banyak pihak yang mengambil keuntungan dari situasi ini. Sayangnya, hingga saat ini, Indonesia belum menunjukkan ketegasan dalam menindak jaringan percaloan ini," jelasnya.
Ia pun memberi garis merah kepada pemerintah Indonesia agar tidak hanya bereaksi setelah terjadi penembakan. Upaya pencegahan serta penindakan terhadap jaringan yang memperdagangkan warna negara Indonesia menurutnya masih lemah dan hal tersebutlah yang harus segera diberantas.
Ia memberi catatan tentang pentingnya peran pemerintah dalam menegakkan hukum dan melindungi warganya agar Malaysia tembak migran Indonesia tidak terjadi lagi. Ia memberi perbandingan dengan negara lain yang lebih kuat dalam mengelola ketenagakerjaan sehingga warganya tidak perlu mencari nafkah di luar negeri dengan cara-cara yang berisiko.
"Pernahkah kita mendengar warga negara tetangga seperti Australia atau Singapura yang harus bekerja secara ilegal di negara lain? Tidak. Itu karena pemerintah mereka mampu menyediakan pekerjaan yang layak bagi warganya. Sementara di Indonesia, pekerja migran malah sering disebut 'pahlawan devisa', padahal seharusnya negara yang bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka,” tegasnya.