Liputan6.com, Yogyakarta Per Desember 2024 total tunggakan peserta JKN mencapai Rp21,48 triliun, dimana asuransi BPJS Kesehatan bergantung terhadap iuran dari peserta. Soal rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Mulyadi Sumarto, mengatakan berdasarkan pertimbangan inflasi, tingkat pendapatan masyarakat yang meningkat dan yang menjaga keberlanjutan program sudah sewajarnya iuran BPJS terjadi.
“Bukan dinaikkan tapi dipertimbangkan ulang secara berkala,” ungkapnya, Kamis (13/2/2025).
Sementara bagi peserta mandiri maka kenaikan iuran BPJS akan sangat terasa. Situasi ekonomi negara saat ini yang penuh dengan dinamika, maka keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini dianggap sebagai jalan terakhir pemerintah untuk memastikan bahwa program ini tetap sustain.
Advertisement
Baca Juga
“Terlebih lagi masih belum jelas mengenai penggolongan masyarakat yang menjadi peserta mandiri BPJS yang menyebabkan analisis kemampuan masyarakat yang kurang tepat,” ujarnya.
Ada dua golongan utama kepesertaan BPJS, yaitu Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI). Diantara kedua golongan tersebut terdapat sejumlah masyarakat yang terletak di area abu-abu yang mana posisinya terletak diantara garis batas antara kelompok miskin dan menengah.
“Dapat disebutkan kelompok tersebut tidak jauh berbeda dengan kelompok miskin,” jelasnya.
Walau hingga saat ini belum ada kepastian berapa besar kenaikan iuran BPJS Kesehatan ditetapkan, menurutnya ada dua kemungkinan yang akan dilakukan oleh pemerintah, melakukan pemotongan subsidi atau pun pemberian subsidi yang tetap akan tetapi jumlah iuran yang akan dinaikkan. Jika melihat asumsi dalam satu keluarga terdapat tiga hingga empat anggota keluarga dan menggunakan kelas III dengan iuran sebesar Rp 35.000 per orang maka dalam satu bulan besaran iuran yang harus dibayarkan kurang lebih Rp 140.000.
“Bagi masyarakat miskin menebus raskin dengan harga Rp 22.500 saja banyak yang tidak mampu menebus. Hanya 40% masyarakat yang mampu membeli,” ungkapnya.
Mengacu pada data tersebut berarti masyarakat yang terletak pada posisi abu-abu ini yang mana dapat dikatakan kemampuan ekonominya hampir sama dengan golongan miskin akan sangat terbebani dengan adanya kenaikan iuran.
Program Rencana Pembayaran Bertahap
Melihat kondisi ini Mulyadi menyarankan pemerintah melakukan langkah strategis, salah satunya seperti program Rencana Pembayaran Bertahap (REHAB), akan tetapi masalah utama disini adalah ketidakmampuan membayarkan iuran. Walau dapat masyarakat dapat mencicil, jika kondisi peserta tidak mampu membayar maka program ini pun rasanya tidak menyelesaikan permasalahan, bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa pemahaman masyarakat mengenai prioritas ini agaknya juga mempengaruhi ketertiban untuk membayarkan iuran.
“Pemahaman masyarakat bisa jadi tidak cukup, akan tetapi belum tentu kesalahan warga negara,” imbuhnya.
Menurutnya, pemahaman masyarakat mengenai hal ini akan beriringan dengan kondisi ekonomi. Membayar iuran merupakan kewajiban warga negara, akan tetapi kemampuan untuk membayar iuran inilah yang pemerintah perlu mengkaji.
“Saya kira masyarakat tentu saja akan memprioritaskan kebutuhan pokok di luar asuransi,” sebutnya.
Mulyadi mengatakan pemerintah perlu meninjau ulang berbagai sektor mulai dari struktur penganggaran, perilaku politik, dan yang paling penting adalah kehati-hatian menggunakan anggaran. Selain itu juga perlu evaluasi kelompok rentan, dimana pemerintah wajib melindungi kelompok ini.
“Cek lagi menyeluruh dan pemerintah tidak seharusnya memaksa kelompok abu-abu ini untuk membayar, apabila dipaksakan juga tidak akan selesai,” ujarnya soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Advertisement
