Liputan6.com, Bintan - Ros sibuk berjalan di antara bedeng-bedeng benih mangrove. Sengatan matahari tak menyurutkan langkahnya sembari memperhatikan satu per satu bibit di setiap bedeng yang ia tanam beberapa bulan lalu.
Jika ada bibit yang mati, maka ia angkat dan ganti dengan bibit baru. Puluhan ribu bibit bakau itu ia tanam bersama ibu-ibu lainnya di Desa Berakit, Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau beberapa bulan lalu.
Baca Juga
Ros tahu betul bagaimana pentingnya mangrove bagi warga Desa Berakit. Masyarakat di Kawasan pesisir itu menggantungkan hidup dari hasil laut, dan mangrove adalah surga bagi ekosistem yang bisa memberi kehidupan.
Advertisement
“Di mangrove inilah kepiting, gonggong, karang bahkan ikan-ikan hidup,” kata Ros yang nama lengkapnya Romana Rebo (46), Rabu (12/5/2025).
Oleh sebab itu, katanya, menjaga mangrove sama dengan menjaga mata pencaharian warga yang rata-rata nelayan.
Ros tak sendiri, ia menanam mangrove bersama dengan puluhan perempuan lainnya di Desa Berakit. Beberapa bulan lalu, mereka menanam setidaknya 46.000 bibit mangrove yang akan ditanam di Kawasan pesisir Pantai Berakit dua hingga tiga bulan ke depan.
Di Desa Berakit, perempuan ikut terlibat secara aktif terutama dalam pelestarian mangrove. Terdapat beberapa kelompok perempuan dalam upaya konservasi wilayah pesisir ini. Penanaman mangrove ini diinisiasi oleh Yayasan Care Peduli yang menargetkan penanaman sebanyak 50.000 bibit mangrove di Berakit.
Program ini sejalan dengan kebutuhan masyarakat Berakit yang menggantungkan perekonomian dari hasil laut. Sehingga menjaga mangrove sangat penting untuk keberlanjutan di daerah itu.
Apalagi, kata Ros yang suaminya juga seorang nelayan merasakan bagaimana semakin sulitnya hasil tangkapan nelayan dari tahun ke tahun.
“Jika dibanding 10 tahun lalu, pendapatan nelayan saat ini jauh berkurang, ini dampak dari berkurangnya luasan mangrove di sini,” ujarnya.
Seorang warga Desa Berakit lainnya, Sudarni (29) yang juga terlibat dalam penanam mangrove ini mengatakan secara pribadi ia tergerak untuk menanam mangrove agar dapat bermanfaat untuk alam.
Perempuan dua anak yang suaminya juga nelayan ini, turut merasakan dampak kerusakan ekosistem mangrove di desanya.
Selain menjual kue-kue kecil, ia juga kerap membantu perekonomian keluarganya dengan mencari kedimul atau kerang kecil.
Dulu waktu ia kecil, kedimul masih gampang dan banyak dicari. Hanya butuh beberapa jam untuk mengumpulkan banyak kedimul, namun kini sudah semakin sedikit, ia meyakini hal tersebut terjadi karena ekosistem mangrove tidak terjaga.
“Saya mau ikut menanam mangrove, supaya menjaga laut, air laut tidak naik. Dan ikan juga banyak kalau bakau itu dijaga. Dulu bakaunya banyak,” kata Sudarni.
Semangat para perempuan di Desa Berakit ikut terlibat dalam melestarikan mangrove dan menopang perekonomian keluarga bersambut dengan program dari Yayasan Care yang memfasilitasi dan menginisiasi pembentukan Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP).
Dalam kelompok-kelompok ini, puluhan perempuan di Berakit tak hanya fokus dalam keterlibatannya melestarikan mangrove, namun juga peningkatan kapasitas dalam keberlanjutan ekonomi.
Kenapa Perlu Rehabilitasi Mangrove?
Mangrove memiliki peran penting sebagai pelindung abrasi pantai, kawasan pemijahan, serta habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut. Selain itu, mangrove dimanfaatkan sebagai penghasil kayu, kawasan wisata, dan wilayah konservasi.
Namun, pemanfaatan ini menyebabkan perubahan luasan mangrove yang berdampak pada keseimbangan ekosistem perairan.
Dari penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2018 dijelaskan terdapat perubahan dan pengurangan ekosistem mangrove di sejumlah wilayah di Pulau Bintan salah satunya Desa Berakit.
Analisis perubahan lahan periode 2005-2017 menunjukkan bahwa perkebunan memiliki luasan terbesar di Desa Berakit, Bintan Buyu, dan Teluk Sesah.
Luasan mangrove berkurang pada 2009, kemudian bertambah hingga 2017 di Desa Berakit dan Bintan Buyu, sementara di Teluk Sesah, luasan mangrove bertambah pada 2009 tetapi kembali berkurang pada 2013. Pemukiman di semua desa mengalami peningkatan.
Lahan terbuka bertambah luas pada 2009-2013, kemudian berkurang pada 2017 di Desa Berakit dan Teluk Sesah. Di Bintan Buyu, luasan lahan terbuka berkurang pada 2009, meningkat pada 2013, dan kembali berkurang pada 2017.
Aktivitas manusia dalam suatu kawasan dapat menyebabkan perubahan garis pantai. Desa Berakit mengalami abrasi akibat penambangan pasir berkelanjutan yang meningkatkan kecepatan air laut menghantam pantai.
Sementara dari penelitian dari IPB lainnya pada 2023, menyebutkan Pulau Bintan merupakan salah satu wilayah persebaran mangrove di Indonesia yang mengalami penurunan.
Penelitian ini menggunakan metode klasifikasi terbimbing maximum likehood untuk menentukan kelas tutupan lahan dan transformasi normalized difference vegetation index untuk menentukan kerapatan tutupan lahan hutan mangrove.
Klasifikasi tutupan lahan menghasilkan 11 kelas tutupan lahan dengan nilai kappa accuracy sebesar 98,89 persen. Pada rentang waktu 2014 sampai 2021, hutan mangrove di landsystem mangrove Pulau Bintan mengalami penurunan (sebesar 453,16 hektare).
Selain itu, terjadi peningkatan perubahan kelas tutupan lahan yang paling tinggi pada lahan terbangun sebesar 3.836,87 hektare dan terjadi penurunan paling tinggi pada kelas pertanian lahan kering sebesar 2.514,95 hektare.
Luas hutan mangrove pada landsystem mangrove Pulau Bintan mengalami penurunan sebesar 1.137,48 hektare (hutan mangrove kerapatan lebat) dan 172,82 hektare (hutan mangrove kerapatan sedang) sehingga menyebabkan hutan mangrove kerapatan jarang mengalami penambahan luas sebesar 857,14 ha.
Advertisement
Butuh Perhatian Semua Pihak
Sekretaris Desa Berakit, Masrullah mengatakan ekosistem mangrove di desanya memang perlu perhatian, sebab mata pencarian warga bergantung pada hasil laut.
Masrullah tak menampik bahwa aktivitas dapur arang di Berakit yang beroperasi selama puluhan tahun menjadi salah satu penyebab berkurangnya mangrove. Dapur arang itu baru berhenti beroperasi sekitar 2013 sejak adanya pelarangan operasinya.
Dapur arang biasa digunakan untuk membakar kayu bakau (mangrove) agar menjadi arang. Arang kemudian dijual di dalam negeri atau diekspor ke luar negeri.
“Iya salah satunya yang menyebabkan berkurangnya mangrove di sini karena mangrove dijadikan untuk bahan baku dapur arang atau tungku arang,” jelasnya, Sabtu (15/5/2025).
Kemudian dari tahun ke tahun, nelayan merasakan dampaknya, Masrullah menyebut nelayan menangkap ikan harus lebih jauh bisa 12 mil, bahkan terlewat ke perbatasan saking susahnya menangkap ikan.
“Dulu hasil tangkapan nelayan sehari bisa 100 kilogram, sekarang bisa cuma 20 kilogram,” katanya.
Masrullah menyebut kondisi ini menempatkan masyarakat pada posisi sulit, karena semakin tahun keluhan terkait hasil tangkapan terus berkurang.
Namun demikian, ia masih optimis bahwa Kawasan pesisir Desa Berakit akan terus bisa memberi penghidupan jika masyarakat dan pemangku kepentingan peduli dengan kondisi ini.
“Banyak juga masyarakat yang peduli dengan menanam mangrove secara mandiri, kemudian kita juga upayakan kepada pemerintah dan pihak swasta,” ujarnya.
Sementara Kepala Bidang Kelautan Konservasi dan Pengawasan, Raja Taufik Zulfikar menyampaikan apresiasinya kepada Yayasan Care yang sudah menginisiasi program penanaman mangrove di Desa Berakit.
“Ini program yang positif, karena timbul naluri masyarakat kemudian mendapat dukungan,” katanya.
Menurutnya ketersediaan ikan yang menjadi sumber mata oencarian masyarakat juga bergantung pada keberadaan mangrove.
Meski dahulunya mangrove di Berakit banyak dijadikan untuk bahan baku dapur arang, namun saat ini sudah dilarang.
Tetapi ia optimis rehabilitasi mangrove di Berakhir khususnya dan Pulau Bintan secara umum bisa dilakukan dengan dukungan semua pihak.
Apalagi, lanjutnya sudah adanya penetapaan luas total kawasan konservasi perairan di Wilayah Timur Pulau Bintan ini mencapai 138.661,420.
Penetapan kawasan konservasi perairan ini bertujuan untuk melindungi ekosistem laut dan memastikan keberlanjutan sumber daya perikanan, sehingga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.
Upaya ini juga sejalan dengan visi provinsi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis maritim yang ramah lingkungan serta mengoptimalkan potensi wilayah demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Salam upaya konservasi ini kami bekerjasama dengan sejumlah pihak termasuk dengan Non-Governmental Organization (NGO),” katanya.
Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Desa Berakit Abdul Malik menyampaikan sebelum adanya program dari Yayasan Care yang bekerjasama dengan Yayasan Ecology ini, sebagain masyarakat sudah mulai menanam mangrove secara mandiri.
“Namun kami tentu memiliki keterbatasan, sehingga dengan program ini penanaman mangrove bisa lebih massif lagi,” katanya.
Ia menyampaikan Pokmaswas di Desa Berakit beranggotakan 15 orang, 13 di antaranya laki-laki dan dua lainnya perempuan.
Malik yakin dengan dukungan banyak pihak, rehabilitasi mangrove di Desa Berakit akan maksimal. Meski masa tumbuh mangrove membutuhkan waktu yang lama, namun ini adalah angin segar bagi nelayan di masa mendatang.
“Kalau mangrove terjaga tentu masyarakat juga yang untung,” ujarnya.
