Liputan6.com, Bintan - Alunan musik slow rock mengiringi perjalanan hampir satu setengah jam dari Tanjung Pinang, membuat suasana terasa lebih seru di tengah laju kendaraan.
Saat memasuki kawasan pesisir, hamparan laut Bintan di sisi kanan membentang indah dengan gradasi biru menawan.
Jalanan lurus dari Tanjung Pinang itu lebih seru ketika mobil dipacu lebih kencang, berpacu dengan waktu untuk bertemu para ibu-ibu di Desa Berakit, Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.
Advertisement
Para ibu-ibu ini sedang mengumpulkan asa, angin segar di depan mata mereka ketika mereka ikut terlibat dalam aktivitas pemberdayaan di desa itu.
Mulai dari terlibat aktif menanam mangrove, hingga mendapatkan pelatihan-pelatihan menambah kemampuan yang nantinya bisa bernilai ekonomis.
Semangat para perempuan di Desa Berakit ikut terlibat dalam melestarikan mangrove dan ikut menopang perekonomian keluarga didukung oleh program dari Yayasan Care berkolaborasi dengan Yayasan Ecologi.
Yayasan Care juga memfasilitasi dan menginisiasi pembentukan Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP).
Saat ini terdapat dua KUEP yang sudah berdiri, yakni KUEP Melati dan KUEP Tenggiri. Kemudian juga di Berakit, sudah terbentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas).
Kelompok-kelompok ini, terlibat aktif dalam upaya pelestarian mangrove di Desa Berakit. Kemudian di samping itu kedua KUEP juga turut mendorong perekonomian dengan mulai membuka sejumlah usaha.
Yayasan Care dan Ecology sudah mulai melakukan aktivitas Bersama kedua KUEP, salah satu yang berpotensi untuk dikembangkan ialah usaha membatik ecoprin.
Rencana usaha batik ecoprin di Desa Berakit memiliki nilai lebih, yakni mereka menggunakan tinta untuk prin dari bahan dasar mangrove yang sudah mati.
Kemudian kulitnya direbus dan dicampur bahan lainnya untuk menghasilkan warna yang diinginkan.
Ketua KUEP Melati, Muji Astutik menyampaikan dirinya Bersama ibu-ibu yang lain sangat optimis dengan rencana ini, apalagi ada pendampingan dan ke depan juga ada modal usaha yang diberikan.
“Kalau untuk sekarang memang kami masih usaha pribadi, masing-masing ada yang jualan kue kering, ada yang jual bakso, pastel dan ada juga yang menjahit,” katanya kepada Liputan6.com, Kamis (13/3/2025).
Muji menjelaskan proses membatik dimulai dengan menyiapkan kain putih yang kemudian dicelup hingga lima kali untuk mencapai warna yang diinginkan. Motif batik dibuat menggunakan daun-daunan yang digulung dan dikukus sehingga motifnya menempel pada kain.
Warna yang dihasilkan tergantung pada bahan yang digunakan misalnya, kapur menghasilkan warna cokelat, sedangkan karat besi menghasilkan warna abu-abu.
Selain itu, Muji menjelaskan, rata-rata kehupan di Berakit bergantung pada hasil laut. Para suami mereka bekerja sebagai nelayan.
Namun hasil laut yang dari tahun ke tahun yang terus berkurang, membuat mereka harus turut terlibat dalam menopang perekonomian keluarga.
“Iya oleh karena itu juga kami turut melestarikan mangrove, agar laut terjaga dan hasil tangkapan ke depannya lebih baik,” katanya.
Beberapa bulan lalu, para ibu-ibu di Desa Berakit sudah menanam lebih dari 46.000 bibit mangrove yang difasilitasi oleh Yayasan Care dan Ecology.
Sementara Bendara KUEP Tenggiri, Sudarni (29) menyebut kelompok usaha ini merupakan harapan baik baginya pribadi maupun anggota yang lainnya.
“Kami hidup dari laut, namun hasil laut itu tidak tentu, kadang suami saya pulang bawa ikan, kadang tidak,” ujarnya.
Sudarni mengatakan KUEP Tenggiri akan membuat usaha olahan hasil laut seperti bakso ikan yang saat ini juga sudah dimulai dengan skala kecil.
“Kalau nanti ada modal usaha bisa produksi lebih banyak,” katanya.
Inisiatif Pemberdayaan Perempuan di Desa Berakit
Sementara Sekretaris Desa Berakit, Masrullah mengatakan pelatihan untuk kedua KUEP sudah selesai dilakukan.
Aktivitas kelompok usaha ini juga sudah masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes).
“Aktivitas ibu-ibu ini hal positif dalam mendukung perekonomian keluarga,” jelasnya.
Ia mencontohkan untuk rencana usaha batik, menurut Masrullag membatik tidak hanya sekadar keterampilan, tetapi juga membuka peluang pasar.
Nantikanya produk batik hasil kreasi ibu-ibu Desa Berakit akan diperkenalkan ke pasar lokal dan diharapkan mendapatkan respons positif.
“Dengan dukungan dari pemerintah desa dan organisasi non-pemerintah, ada harapan bahwa batik khas Desa Berakit bisa menjadi produk unggulan yang memiliki nilai jual tinggi,” katanya.
Menurutnya keunikan motif batik yang menggunakan bahan alami menjadi daya tarik tersendiri bagi para pembeli yang peduli terhadap produk ramah lingkungan.
Advertisement
Kenapa Perlu Rehabilitasi Mangrove?
Mangrove memiliki peran penting sebagai pelindung abrasi pantai, kawasan pemijahan, serta habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut. Selain itu, mangrove dimanfaatkan sebagai penghasil kayu, kawasan wisata, dan wilayah konservasi.
Namun, pemanfaatan ini menyebabkan perubahan luasan mangrove yang berdampak pada keseimbangan ekosistem perairan.
Dari penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2018 dijelaskan terdapat perubahan dan pengurangan ekosistem mangrove di sejumlah wilayah di Pulau Bintan salah satunya Desa Berakit.
Analisis perubahan lahan periode 2005-2017 menunjukkan bahwa perkebunan memiliki luasan terbesar di Desa Berakit, Bintan Buyu, dan Teluk Sesah.
Luasan mangrove berkurang pada 2009, kemudian bertambah hingga 2017 di Desa Berakit dan Bintan Buyu, sementara di Teluk Sesah, luasan mangrove bertambah pada 2009 tetapi kembali berkurang pada 2013. Pemukiman di semua desa mengalami peningkatan.
Lahan terbuka bertambah luas pada 2009-2013, kemudian berkurang pada 2017 di Desa Berakit dan Teluk Sesah. Di Bintan Buyu, luasan lahan terbuka berkurang pada 2009, meningkat pada 2013, dan kembali berkurang pada 2017.
Aktivitas manusia dalam suatu kawasan dapat menyebabkan perubahan garis pantai. Desa Berakit mengalami abrasi akibat penambangan pasir berkelanjutan yang meningkatkan kecepatan air laut menghantam pantai.
Sementara dari penelitian dari IPB lainnya pada 2023, menyebutkan Pulau Bintan merupakan salah satu wilayah persebaran mangrove di Indonesia yang mengalami penurunan.
Penelitian ini menggunakan metode klasifikasi terbimbing maximum likehood untuk menentukan kelas tutupan lahan dan transformasi normalized difference vegetation index untuk menentukan kerapatan tutupan lahan hutan mangrove.
Klasifikasi tutupan lahan menghasilkan 11 kelas tutupan lahan dengan nilai kappa accuracy sebesar 98,89 persen. Pada rentang waktu 2014 sampai 2021, hutan mangrove di landsystem mangrove Pulau Bintan mengalami penurunan (sebesar 453,16 hektare).
Selain itu, terjadi peningkatan perubahan kelas tutupan lahan yang paling tinggi pada lahan terbangun sebesar 3.836,87 hektare dan terjadi penurunan paling tinggi pada kelas pertanian lahan kering sebesar 2.514,95 hektare.
Luas hutan mangrove pada landsystem mangrove Pulau Bintan mengalami penurunan sebesar 1.137,48 hektare (hutan mangrove kerapatan lebat) dan 172,82 hektare (hutan mangrove kerapatan sedang) sehingga menyebabkan hutan mangrove kerapatan jarang mengalami penambahan luas sebesar 857,14 ha.
Butuh Perhatian Semua Pihak
CEO Yayasan CARE Peduli Indonesia, Abdul Wahib mengatakan Care memiliki tiga visi besar, pertama mengentaskan kemiskininan, gender, lalu lingkungan.
“Krisisi iklim itu nyata. Misalnya mangrove terabaikan maka terjadilah abrasi yang berpengaruh pada ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Menurutnya program rehbilitasi mangrove dan peningkatan perekonomian masyarakat di Bintan khususnya Desa Berakit cukup penting dilakukan, mengingat potensi di sana adalah ekonomi pariwisata, dimana alamnya harus dijaga.
“Kelompok perempuan kita berdayakan, perempuan sudah menjaga lingkungan, nah melalui program ini kami menguatkan,” jelasnya.
Ketika kelompok perempuan terlibat aktif, maka mereka lebih punya kemampuan untuk bersuara dan keterampilannya.Ditambah lagi dengan dukungan dari pihak lainnya.
Sekretaris Desa Berakit, Masrullah mengatakan ekosistem mangrove di desanya memang perlu perhatian, sebab mata pencarian warga bergantung pada hasil laut.
Masrullah tak menampik bahwa aktivitas dapur arang di Berakit yang beroperasi selama puluhan tahun menjadi salah satu penyebab berkurangnya mangrove. Dapur arang itu baru berhenti beroperasi sekitar 2013 sejak adanya pelarangan operasinya.
Dapur arang biasa digunakan untuk membakar kayu bakau (mangrove) agar menjadi arang. Arang kemudian dijual di dalam negeri atau diekspor ke luar negeri.
“Iya salah satunya yang menyebabkan berkurangnya mangrove di sini karena mangrove dijadikan untuk bahan baku dapur arang atau tungku arang,” jelasnya, Sabtu (15/5/2025).
Kemudian dari tahun ke tahun, nelayan merasakan dampaknya, Masrullah menyebut nelayan menangkap ikan harus lebih jauh bisa 12 mil, bahkan terlewat ke perbatasan saking susahnya menangkap ikan.
“Dulu hasil tangkapan nelayan sehari bisa 100 kilogram, sekarang bisa cuma 20 kilogram,” katanya.
Masrullah menyebut kondisi ini menempatkan masyarakat pada posisi sulit, karena semakin tahun keluhan terkait hasil tangkapan terus berkurang.
Namun demikian, ia masih optimis bahwa Kawasan pesisir Desa Berakit akan terus bisa memberi penghidupan jika masyarakat dan pemangku kepentingan peduli dengan kondisi ini.
“Banyak juga masyarakat yang peduli dengan menanam mangrove secara mandiri, kemudian kita juga upayakan kepada pemerintah dan pihak swasta,” ujarnya.
Sementara Kepala Bidang Kelautan Konservasi dan Pengawasan, Raja Taufik Zulfikar menyampaikan apresiasinya kepada Yayasan Care yang sudah menginisiasi program penanaman mangrove di Desa Berakit.
“Ini program yang positif, karena timbul naluri masyarakat kemudian mendapat dukungan,” katanya.
Menurutnya ketersediaan ikan yang menjadi sumber mata oencarian masyarakat juga bergantung pada keberadaan mangrove.
Meski dahulunya mangrove di Berakit banyak dijadikan untuk bahan baku dapur arang, namun saat ini sudah dilarang.
Tetapi ia optimis rehabilitasi mangrove di Berakhir khususnya dan Pulau Bintan secara umum bisa dilakukan dengan dukungan semua pihak.
Apalagi, lanjutnya sudah adanya penetapaan luas total kawasan konservasi perairan di Wilayah Timur Pulau Bintan ini mencapai 138.661,420.
Penetapan kawasan konservasi perairan ini bertujuan untuk melindungi ekosistem laut dan memastikan keberlanjutan sumber daya perikanan, sehingga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.
Upaya ini juga sejalan dengan visi provinsi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis maritim yang ramah lingkungan serta mengoptimalkan potensi wilayah demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Salam upaya konservasi ini kami bekerjasama dengan sejumlah pihak termasuk dengan Non-Governmental Organization (NGO),” katanya.
Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Desa Berakit Abdul Malik menyampaikan sebelum adanya program dari Yayasan Care yang bekerjasama dengan Yayasan Ecology ini, sebagain masyarakat sudah mulai menanam mangrove secara mandiri.
“Namun kami tentu memiliki keterbatasan, sehingga dengan program ini penanaman mangrove bisa lebih massif lagi,” katanya.
Ia menyampaikan Pokmaswas di Desa Berakit beranggotakan 15 orang, 13 di antaranya laki-laki dan dua lainnya perempuan.
Malik yakin dengan dukungan banyak pihak, rehabilitasi mangrove di Desa Berakit akan maksimal. Meski masa tumbuh mangrove membutuhkan waktu yang lama, namun ini adalah angin segar bagi nelayan di masa mendatang.
“Kalau mangrove terjaga tentu masyarakat juga yang untung,” ujarnya.
***Liputan ini merupakan Fellowship "Perempuan dan Mangrove Membangun Ketahanan Ekologi dan Ekonomi di Pulau Bintan yang digelar Yayasan Care Peduli Indonesia bekerja sama denga SIEJ.
Advertisement
