Sukses

Ujang, Panggilan Akrab yang Mulai Pudar dalam Budaya Sunda

Dalam struktur masyarakat Sunda tradisional, panggilan Ujang menunjukkan kedekatan emosional dan ikatan kekerabatan yang erat. Panggilan ini biasa digunakan oleh orang tua kepada anaknya, kakak kepada adik, atau antar kerabat dekat.

Liputan6.com, Bandung - Dalam khazanah budaya Sunda, terdapat sebuah panggilan yang selama puluhan tahun menjadi identitas anak laki-laki di tanah Pasundan. Ujang, sebuah sebutan sederhana yang sarat makna, perlahan mulai jarang terdengar di tengah masyarakat Sunda modern.

Mengutip dari berbagai sumber, ujang dalam bahasa Sunda secara harfiah berarti anak laki-laki atau adik laki-laki. Istilah ini mengandung nilai-nilai kekeluargaan yang dalam.

Dalam struktur masyarakat Sunda tradisional, panggilan Ujang menunjukkan kedekatan emosional dan ikatan kekerabatan yang erat. Panggilan ini biasa digunakan oleh orang tua kepada anaknya, kakak kepada adik, atau antar kerabat dekat.

Masyarakat Sunda memiliki sistem panggilan yang kompleks berdasarkan usia dan kedudukan sosial. Ujang berada dalam tingkatan panggilan untuk yang lebih muda. Sementara itu, kang atau akang digunakan untuk laki-laki yang lebih tua atau dihormati.

Ada pula variasi seperti eneng untuk perempuan muda dan teteh untuk yang lebih dewasa. Sistem panggilan ini mencerminkan tata nilai masyarakat Sunda yang menghormati hierarki usia dan kedudukan sosial.

Dalam interaksi sehari-hari, panggilan ujang berfungsi sebagai penanda hubungan sosial. Di lingkungan keluarga, panggilan ini menciptakan suasana akrab dan penuh kehangatan.

Di masyarakat, penggunaan panggilan ujang menunjukkan penerimaan seseorang sebagai bagian dari komunitas. Tradisi ini juga menjadi media transmisi nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi.

Beberapa dekade terakhir menunjukkan perubahan dalam kebiasaan penamaan masyarakat Sunda. Banyak orang tua sekarang lebih memilih nama-nama modern atau bernuansa agama untuk anak mereka.

Data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Jawa Barat menunjukkan penurunan signifikan dalam penggunaan nama-nama tradisional Sunda sejak tahun 2000-an. Beberapa ahli budaya mengidentifikasi beberapa faktor terhadap fenomena ini.

Globalisasi dan penetrasi budaya populer melalui media massa menjadi pendorong utama. Faktor urbanisasi juga berperan, di mana masyarakat yang pindah ke kota besar cenderung mengadopsi budaya luar.

Penulis: Ade Yofi Faidzun

EnamPlus