Liputan6.com, Jakarta - Total penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) sepanjang 2014 ini masih rendah. Hingga kini baru sekitar 18 perusahaan yang melakukan IPO dengan total nilai Rp 4,89 triliun.
Berdasarkan data BEI, total dana yang diraup dari pelaksanaan IPO mencapai Rp 16,75 triliun sepanjang 2013. Hingga Agustus 2014, BEI mencatat baru sekitar 18 perusahaan yang tercatat di pasar modal dengan total dana Rp 4,89 triliun. Dari 18 perusahaan itu, hanya PT Wijaya Karya Beton Tbk yang meraup dana paling besar mencapai Rp 1,2 triliun.
Pengamat pasar modal, Reza Priyambada menuturkan, penawaran IPO yang masih rendah pada 2014 ini karena pelaku pasar baik investor dan calon emiten wait and see terhadap perkembangan politik. Selain itu, pasar saham juga dinilai masih kurang kondusif.
Advertisement
"Para calon emiten itu bila memaksakan untuk melakukan IPO dikhawatirkan target dana yang diraih tidak maksimal sehingga mereka menunda IPO," ujar Reza, saat berbincang dengan Liputan6.com, yang ditulis Minggu (17/8/20140.
Meski demikian, Reza memperkirakan, IPO akan kembali marak pada kuartal IV 2014. Apalagi pada kuartal itu sudah ada kepastian pemerintahan baru mulai dilantiknya Presiden dan Wakil Presiden terpilih, serta susunan kabinet pemerintahan.
Saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang memproses sejumlah aksi korporasi. OJK sedang memproses IPO saham dari dua perusahaan senilai Rp 106,72 miliar. Penerbitan saham baru/rights issue sebesar Rp 733,82 miliar oleh dua perusahaan, dan obligasi korporasi dari satu perusahaan senilai Rp 750 miliar.
"Jadi totalnya ada lima perusahaan senilai Rp 1,59 triliun. Tapi biasanya mendekati September dan Desember, IPO dan penerbitan obligasi maupun rights issue akan ramai karena berlakunya laporan keuangan enam bulanan," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Nurhaida.
Perusahaan Kurang Berminat IPO
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk, Destri Damayanti menyebutkan, perusahaan untuk melakukan IPO memang masih rendah di Indonesia. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhinya.
Pertama, perusahaan yang kebanyakan dimiliki keluarga dinilai biasanya sulit untuk melepas saham ke publik. Kedua, perusahaan terbuka biasanya harus diaudit, terbuka dan laporan keuangannya harus disampaikan ke publik. Hal ini masih belum dapat dilakukan oleh perusahaan tertutup.
"Biasanya perusahaan di Indonesia banyak perusahaan menengah. Mereka ini memiliki pembukuan sederhana. Mereka biasanya tidak mau transparan, padahal untuk jadi perusahaan terbuka harus diaudit untuk melihat apakah performancenya bagus," kata Destri.
Destri menambahkan, perusahaan Indonesia sebagian besar perusahaan menengah. Biasanya target perolehan dana yang diincar dan jumlah saham yang dilepas pun tidak terlalu besar. Sehingga sahamnya menjadi kurang likuid di pasar saham.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan jumlah IPO tersebut, Destri mengingatkan sosialisasi dan edukasi memang perlu digiatkan. Selain itu, otoritas bursa dan pemerintah diharapkan dapat memberikan insentif untuk perusahaan yang melepas saham ke publik. "Mempermudah persyaratan tidak mungkin tetapi dengan pemberian insentif," kata Destri.
Saat ini pasar sedang menunggu triger utama untuk menggerakan indeks saham. Pihaknya memprediksikan, indeks saham berada di level 5.500 pada akhir 2014. Menurut Destri, bila pemilihan menteri dalam kabinet Joko Widodo-Jusuf Kallau tepat dan diisi dengan professional maka memberikan sentimen positif untuk bursa saham.
"Ada katalis positif dan negatif. Kalau pemilihan tim kabinet tak benar maka indeks saham akan terkoreksi," ujar Destri. (Ahm/)