Liputan6.com, Jakarta - Goldman Sachs, salah satu lembaga keuangan internasional memperingatkan ekonomi China akan memberikan tekanan ke negara berkembang dalam lima tahun ke depan.
Dalam catatannya kepada klien, Goldman Sachs menyatakan kepada klien untuk menyesuaikan dengan menyeimbangkan eksposur atau portofolionya di negara berkembang.
"Negara ini sedang mencoba untuk mengalihkan ekonominya dari ekspor dan investasi menjadi seimbang. Kini ekonominya berorientasi konsumsi," tulis laporan Goldman berjudul "Walled In: China's Great Dilemma," seperti dikutip dari CNBC, Jumat (22/1/2016).
Advertisement
Â
Baca Juga
Dengan agenda reformasi yang kompleks dan saling berhubungan yang belum pernah dicapai pada skala ini. Transisi ini jika dilakukan tidak mungkin menjadi lancar.
Goldman menilai, hal itu berarti China akan memacu volatilitas pasar bukan hanya pada 2016 tapi juga lima tahun ke depan. Hal itu membuat pasar negara berkembang menanggung bebannya.
"Oleh karena itu kami merekomendasikan kepada klien untuk menyesuaikan eksposurnya terhadap aset emerging market," tulis Goldman.
Lebih lanjut dalam laporan itu menulis kalau ekonomi negara maju tidak akan kebal dari setiap volatilitas yang berasal dari Cina.
"Namun dampak ekonomi langsung dan tidak langsung akan lebih rendah bagi mereka. Kami berharap bahwa pasar keuangan di negara-negara maju akan beraksi berlebihan seperti yang terjadi pada Agustus 2015 dan awal 2016," tulis Goldmand.
Goldman memperkirakan total hasil investasi di bursa saham China sekitar 5,6 persen pada 2016. Sedangkan hasil investasi secara tahunan sekitar 4 persen untuk 2016-2020.
Goldman memperingatkan kalau bursa saham China seperti situasi Jepang pada 1990. Selain itu, China kemungkinan juga akan melemahkan mata uangnya dalam beberapa tahun ke depan. Penurunan diperkirakan 10-20 persen selama dua tahun ke depan. (Ahm/Igw)