Saham Unggulan Merosot Picu IHSG Tertekan Selama Sepekan

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) susut 0,29 persen secara mingguan ke posisi 6.021 pada 10 November 2017.

oleh Agustina Melani diperbarui 12 Nov 2017, 08:48 WIB
Diterbitkan 12 Nov 2017, 08:48 WIB
20161125- Sesi Siang IHSG Naik 5 Persen-JAkarta-Angga Yuniar
Volume perdagangan hingga sesi siang ini tercatat sebanyak 3,795 miliar saham senilai Rp 1,982 triliun. Sebanyak 163 saham naik, 111 saham melemah dan 89 saham stagnan, Jakarta, Jumat (25/11). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah selama sepekan. IHSG konsolidasi secara mingguan.

Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Minggu (12/11/2017), IHSG turun 0,29 persen secara mingguan dari posisi 6.039,5 pada 3 November 2017 menjadi 6.021,8 pada 10 November 2017. Untuk pertama kali secara mingguan, IHSG konsolidasi.

Penurunan IHSG juga didorong saham-saham unggulan masuk LQ45 turun 0,44 persen. Sementara itu, saham berkapitalisasi kecil cenderung mendatar. Investor asing pun masih melakukan aksi jual di pasar saham dengan nilai US$ 65 juta.

Sedangkan obligasi atau surat utang naik 0,30 persen. Imbal hasil surat utang pemerintah atau obligasi bertenor 10 tahun mendatar di kisaran 6,6 persen. Investor asing asing melakukan aksi beli di pasar obligasi senilai US$ 689 juta.

Ada sejumlah hal pengaruhi pasar keuangan selama sepekan. Pertama, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trup melakukan kunjungan kerja ke Asia. Ia juga menghadiri KTT APEC di Da Nang, Vietnam. Ia akan membuat pernyataan soal peraturan perdagangan baru dan melobi soal Korea Utara. Di pertemuan KTT APEC, Presiden Trump juga bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Kedua, panel senat AS akan mendengar calon pimpinan the Federal Reserve Jerome Powell pada 28 November. Sebelumnya Presiden Trump sudah memilih calon pimpinan the Federal Reserve Jerome Powell untuk menggantikan Janet Yellen.

Ketiga, Senat juga menunda rencana pemangkasan pajak. Keempat, dari Asia, pemerintah China mengumumkan membuka kepemilikan investor asing di sektor jasa keuangan. Investor asing dapat memiliki saham menjadi 51 persen di bank, perusahaan sekuritas, manajer investasi dan lainnya.

Kelima, kondisi Arab Saudi juga menjadi perhatian. Apalagi usai pemerintah Arab Saudi menahan miliarder dan Pangeran Alwaleed bin Talal dan 10 pangeran lainnya, serta sejumlah menteri dan mantan pejabat. Penangkapan 11 menteri dan pejabat itu karena diduga melakukan korupsi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Sentimen Internal Bayangi IHSG Selama Sepekan

Dari sentimen internal, Indonesia mengumumkan pertumbuhan ekonomi 5,06 persen pada kuartal III 2017. Angka ini lebih tinggi dari kuartal sebelumnya 5,01 persen. Selama sembilan bulan pertama, pertumbuhan ekonomi sekitar 5,03 persen.

Pertumbuhan ekonomi itu juga didukung permintaan masih kuat. Meski pun konsumsi cenderung mendatar namun dikompensasi oleh belanja pemerintah yang tinggi dan investasi.

Momentum investasi masih kuat dengan catatkan pertumbuhan tinggi dalam lima tahun. Ini didorong investasi mesin, peralatan dan gedung. Sisi lain, perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih berlanjut.

Survei Bank Indonesia (BI) juga melaporkan kalau penjualan ritel melambat dengan hanya tumbuh 1,8 persen pada September 2017. Padahal penjualan ritel mencapai 2,2 persen pada Agustus 2017. Perlambatan penjualan ritel didorong perlambatan pertumbuhan di sektor makanan dan non makanan. Penjualan ritel diprediksi masih melambat hingga Oktober 2017. Diprediksi penjualan ritel tumbuh 1,3 persen.

Selain itu, cadangan devisa Indoensia turun menjadi US$ 126,5 miliar pada akhir Oktober 2017. Itu didorong pembayaran utang luar negeri pemerintah dan menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

Kemudian apa yang perlu dicermati ke depan? Ada banyak pertanyaan soal siklus 10 tahunan pada 2018. Kini memasuki akhir 2017, Ashmore mulai melihat sentimen dari peristiwa yang terjadi terutama pada 1998 dan 2008, apakah ada kejadian krisis kembali terulang.

Namun ada indikator utama menjadi perhatian yang akibatkan krisis keuangan di Asia dan global antara lain, konsumsi dan investasi berlebih, serta lonjakan harga minyak. Pihaknya belum melihat ketiga hal itu muncul pada 2018.

"Dalam jangka pendek belum berada di titik atas investasi, karena konsumsi dan kemungkinan kenaikan harga minyak masih signifikan rendah," tulis Ashmore.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya