Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung tertekan selama sepekan. Aksi jual investor asing dan kekhawatiran investor terhadap kondisi global menekan IHSG.
Berdasarkan laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (9/2/2019), IHSG koreksi 0,26 persen selama sepekan. IHSG susut dari posisi 6.538 pada 1 Februari 2019 menjadi 6.521 pada 8 Februari 2019.
Pada pekan ini, investor asing jual saham USD 10 juta atau sekitar Rp 139,73 miliar (asumsi kurs Rp 13.973 per dolar AS).
Advertisement
Baca Juga
Sementara itu, indeks obligasi naik 0,76 persen selama sepekan. Hal ini seiring imbal hasil surat berharga AS melemah.
Sejumlah sentimen pengaruhi pasar keuangan global yang berdampak terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Dari eksternal, perkembangan perang dagang masih jadi perhatian pelaku pasar. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan tidak akan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping sebelum 2 Maret yang merupakan tenggat waktu kesepakatan perdagangan AS-China.
Pernyataan Trump terjadi usai laporan pejabat senior menyatakan kalau pertemuan itu sangat tidak mungkin terjadi dalam beberapa waktu mendatang. Sementara itu, Trump dan Xi masih diperkirakan bertemu.
Namun, ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk selesaikan kesepakatan dengan China. Trump juga mempersiapkan pertemuan dengan pimpinan Korea Utara Kim Jong Un pada 27-28 Februari 2019.
Selain perang dagang, perkembangan Brexit juga dicermati pelaku pasar. Eropa mengatakan kepada Perdana Menteri Inggris Theresa May kalau tidak akan membuka kembali pembicaraan mengenai perjanjian Brexit saat di Brussel untuk membujuk para pemimpin Uni Eropa menyetujui perubahan penting seperti yang diminta Parlemen Inggris.
Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker menuturkan, Uni Eropa hanya dapat "menambahkan kata-kata" pada deklarasi politik tentang apa yang diinginkan dalam hubungan di masa depan.
Mantan Pimpinan The Fed Sebut Ada Peluang Penurunan Suku Bunga
Sentimen lainnya yaitu, mantan pimpinan The Federal Reserve Janet Yellen menyarankan untuk penurunan suku bunga jika perlambatan pertumbuhan global berlanjut. "The Federal Reserve mungkin akan memangkas suku bunga jika pertumbuhan di seluruh dunia melemah dan berimbas ke AS," ujar Yellen.
Melihat ekonomi saat ini, ia melihat ada kekuatan meski ada ancaman dari luar negeri. "Sejauh ini data ekonomi AS solid dan kuat. Seperti yang diketahui tingkat pengangguran terendah dalam 50 tahun, kinerja sektor tenaga kerja yang baik, inflasi rendah," tutur dia.
Ia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi sekitar tiga persen pada 2019.
Sentimen Dalam Negeri
Adapun sentimen dari dalam negeri yaitu rilis cadangan devisa Indonesia. Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan debisa turun dari USD 120,7 miliar pada Desember 2018 menjadi USD 120,1 miliar pada Januari 2019.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Agusman menilai, penurunan cadangan devisa didorong oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Selain itu, penerimaan pajak pada Januari 2019 diperkirakan tumbuh 11-12 persen secara year on year (YoY), ini relatif mendatar. Pada Januari 2018, penerimaan pajak sekitar Rp 78,9 triliun.
Pada pekan ini, BI juga melaporkan defisit transaksi berjalan. Defisit transaksi berjalan Indonesia melebar pada kuartal IV 2018. Akan tetapi ada upaya membatasi impor sehingga neraca pembayaran Indonesia kembali surplus untuk pertama kali dalam setahun.
Data BI menunjukkan defisit transaksi berjalan melebar ke USD 9,1 miliar atau 3,57 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada kuartal IV 2018,
Akan tetapi, Indonesia mencatatkan surplus USD 5,4 miliar dalam neraca pembayaran seiring aliran portofolio yang kuat masuk pada Oktober-Desember 2018 dibandingkan tiga bulan sebelumnya defisit USD 4,4 miliar.
Advertisement
Aliran Dana Investor Asing
Lalu apa yang dicermati ke depan?
Ashmore menyoroti aliran dana investor asing ke Indonesia. Aliran dana investor asing masuk cukup kuat ke pasar saham Indonesia pada Januari 2019.
Berdasarkan data BEI, hingga 30 Januari 2019, aksi beli investor asing capai Rp 25,36 triliun. Hal ini berbeda dengan aliran dana yang keluar pada Desember 2018.
Akan tetapi, investor asing merealisasikan keuntungan baru-baru ini didorong kecemasan kesepakatan perdagangan China-AS. Ditambah ketakutan terhadap pertumbuhan global yang melambat.
Ashmore melihat, kesepakatan perdagangan AS-China terlihat macet. Ini menjadi masuk akal bagi investor asing untuk gelisah. Oleh karena itu, sentimen tersebut menjadi alasan aksi jual di seluruh pasar negara berkembang pada 2018.
Akan tetapi, Ashmore memandang kalau kesepakatan perdagangan tidak ada kenaikan tarif lebih lanjut antara China dan AS tanpa korbankan pertumbuhan di AS.
"Kami terus melihat kalau itu akan hadirkan masalah bagi peluang pemerintahan Trump untuk jalankan kampanye yang baik pada 2020," tulis Ashmore dalam laporannya.
Selain itu, kekhawatiran perlambatan ekonomi global karena Bank sentral Eropa, Bank of England merekomendasikan pertumbuhan kurang baik. Hal tersebut bukan hal baru.
"Kami telah melihat konsensus pertumbuhan produk domestik bruto negara maju melambat pada 2019. Kemungkinan berlanjut pada 2020. Kami percaya itu salah satu alasan mengapa banyak investor memasuki negara berkembang lebih awal. Ini disebabkan sifat pertumbuhan produk domestik bruto negara berkembang lebih stabil," tulis Ashmore.
Hal itu dinilai memberikan sedikit kepercayaan diri meski kondisi global masih berisiko. Investor pun sudah aktif kembali masuk melihat fundamental ekonomi negara berkembang dan Indonesia.
"Kami harapkan investor asing kembali ke Indonesia dulu. Mengingat kurangnya pilihan di luar sana. Kami percaya Indonesia unggul dalam produk domestik bruto (PDB) dan penguatan mata uang dapat menjadi kekuatan menarik bagi aliran dana investor asing. Ambil peluang ketika pasar melambat, Indonesia masih berada di tiga besar untuk pilihan investor pada 2019," tulis Ashmore.
Saksikan video pilihan di bawah ini: