Berbeda dengan Credit Suisse, Saham RI Jadi Pilihan JP Morgan

Credit Suisse memangkas rekomendasi pasar saham Indonesia. Hal ini berbeda dengan JP Morgan.

oleh Agustina Melani diperbarui 13 Feb 2019, 11:16 WIB
Diterbitkan 13 Feb 2019, 11:16 WIB
Perdagangan Saham dan Bursa
Ilustrasi Foto Perdagangan Saham dan Bursa (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Credit Suisse, perusahaan sekuritas global dalam laporan terbarunya memangkas atau jual (underweight) pasar saham Indonesia 10 persen dari sebelumnya overweight atau menambah bobot 20 persen saham.

Bila Credit Suisse merekomendasikan memangkas pasar saham Indonesia, JP Morgan masih optimistis dengan pasar saham negara berkembang. JP Morgan merilis global market outlook 2019 pada 20 Desember 2018 dan kembali diperbaharui pada 22 Januari 2019.

JP Morgan menyebutkan investor akan kembali ke pasar keuangan usai alami kerugian pada Desember.  Kestabilan yang tentatif tak menghalangi investor kembali ke pasar berisiko pada awal tahun baru. Hal ini terjadi setelah pasar saham yang volatile sepanjang 2018.

Sejumlah faktor mendukung pasar keuangan global mulai dari momentum pertumbuhan global yang melambat.

Akan tetapi, fase perlambatan tersebut harus berakhir sebelum pertengahan tahun dengan tindakan kebijakan yang mendukung dan fleksibel terutama kebijakan pelonggaran China dan the federal reserve atau bank sentral Amerika Serikat (AS) berhenti menaikkan suku bungan. JP Morgan melihat, risiko resesi ada tetapi kecil kemungkinan terjadi pada 2019.

Lalu bagaimana JP Morgan melihat pasar negara berkembang?

JP Morgan melihat pasar negera berkembang akan bervariasi. Setelah semester II 2018 yang menantang bagi  ekonomi negara berkembang, efek akumulasi kemungkinan akan hasilkan awal lemah pada 2019.

Akan tetapi, JP Morgan mengasumsikan siklus kenaikan mulai terjadi pada kuartal II 2019 yang diikuti siklus yang dorong tekanan pada akhir tahun berakhir. Hal itu disampaikan Head of Currencies, Commodities and EM Research, JP Morgan, Luis Oganes, seperti dikutip dari keterangan JP Morgan, ditulis, Rabu (13/2/2019).

"Usai tantangan yang dihadapi banyak ekonomi negara berkembang pada semester II 2018, kami harap awal tahun cenderung melemah, tetapi prediksi siklus menguat pada kuartal II 2019," tutur Oganes.

Oganes menambahkan, Amerika Latin, salah satu wilayah yang sedikit lebih cepat pulih pada 2019. Ini karena China berkontribusi besar terhadap perlambatan negara berkembang secara keseluruhan. Brazil siap untuk terus pulih, setelah pemilihan presiden.

Di pasar saham, pertumbuhan pasar saham negara berkembang diharapkan tumbuh dua digit dengan Brazil, Chili, Indonesia dan Rusia menjadi pilihan untuk menambah bobot saham (overweight) yang paling utama.

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun bervariasi pada sesi pertama perdagangan saham Rabu pekan ini. IHSG menguat 11,98 poin atau 0,19 persen ke posisi 6.438. Sebanyak 221 saham menguat sehingga mengangkat IHSG. 145 saham melemah dan 117 saham diam di tempat.

Total frekuensi perdagangan saham 203.865 kali dengan volume perdagangan saham 6,5 miliar saham. Nilai transaksi harian saham Rp 3,7 triliun. Investor asing jual saham Rp 375,35 miliar di pasar regular.

 

Prediksi Harga Minyak hingga Dolar AS

Perdagangan Saham dan Bursa
Ilustrasi Foto Perdagangan Saham dan Bursa (iStockphoto)

Selain itu, JP Morgan prediksi harga minyak akan naik pada semester I 2019 hingga akhirnya melambat. Usai harga minyak turun tajam pada akhir kuartal IV 2018, JP Morgan perkirakan harga minyak menguat.

Hal ini didukung dari pandangan the Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) yang memangkas persediaan minyak bersama negara lain non OPEC. Ditambah sentimen dari sanksi Iran dan pertumbuhan persediaan minyak melambat di AS.

Pada akhir tahun, harga minyak akan turun seiring pertumbuhan global melambat. Harga minyak Brent diharapkan mencapai rata-rata USD 73 per barel pada 2019. Kemudian pada 2020, harga minyak akan sentuh USD 64 per barel. Sementara itu, harga emas diperkirakan USD 1.325 per troy ounce pada 2019. Hal ini seiring tekanan terhadap makro ekonomi berakhir.

Lalu bagaimana dengan pergerakan dolar AS?

Dolar AS secara mengejutkan menguat pada 2019. “Tahun ini membawa ancaman lebih kecil dari the Federal Reserve dan perang dagang, tetapi masih ada kekhawatiran siklus mengenai leverage dan perlambatan ekonomi,” ujar Head of Cross-Asset Fundamental Strategy JP Morgan, John Normand.

Analis JP Morgan memperkirakan, ketika pertumbuhan ekonomi AS melemah dan seluruh dunia mengatasi ketertinggalan, dolar AS akan kurang didukung terhadap euro dan mata uang negara maju lainnya pada 2019 terutama semester II 2019.

Mata uang Inggris pound sterling akan tetap stabil tetapi pada akhirnya terus bergerak lebih tinggi didukung proses Brexit berjalan lancar.

Lalu bagaimana dengan tingkat suku bunga global?

JP Morgan prediksi suku bunga akan ketat tapi melambat. Meski pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) di atas tren, the Federal Reserve atau bank sentral AS mengambil risiko kebijakan moneter untuk tidak terlalu agresif. Hal ini seiring melihat kondisi pasar keuangan yang lebih ketat.

JP Morgan prediksi kenaikan suku bunga bank sentral AS sebanyak dua kali pada 2019, sedangkan pasar sudah perhitungkan dan pertimbangkan bank sentral AS untuk menahan neraca.

Mengingat the Federal Reserve yang terus memperketat dengan latar belakang meningkatnya pasokan surat berharga atau treasury, JP Morgan memprediksi imbal hasil 10 tahun surat berharga AS naik menjadi 2,95 persen pada kuartal II 2019 dan menjadi 3,2 persen pada akhir tahun.

Sedangkan imbal hasil obligasi Jerman bertenor 10 tahun diharapkan mencapai satu persen. Di Inggris, saat negosiasi Brexit berlanjut, imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun sekitar 1,75 persen.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya