7 Sentimen Global Bakal Bayangi Laju IHSG

Pengamat pasar modal, Hans Kwee mengatakan, pasar saham sepi sentimen positif sehingga kenaikan IHSG mungkin terbatas.

oleh Agustina Melani diperbarui 15 Feb 2021, 07:28 WIB
Diterbitkan 15 Feb 2021, 07:27 WIB
IHSG Menguat
Pekerja melintas di depan layar yang menampilkan informasi pergerakan saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (8/6/2020). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 1,34% ke level 5.014,08 pada pembukaan perdagangan sesi I, Senin (8/6). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan konsolidasi pada perdagangan saham Senin, (15/2/2021).  Sejumlah sentimen global bakal bayangi laju IHSG.

Pengamat pasar modal, Hans Kwee mengatakan, pasar saham sepi sentimen positif sehingga kenaikan IHSG mungkin terbatas.

Ia prediksi, pasar saham lebih berpotensi konsolidasi dan ada peluang terjadi aksi ambil untung setelah kenaikan 2 pekan terakhir. IHSG berpotensi bergerak dengan support di level 6,157 sampai 6,018 dan resistance di level 6.286-6.300.

Hans pun memaparkan sejumlah sentimen yang akan pengaruhi IHSG terutama dari sentimen global. Pertama, Hans menuturkan, paket stimulus fiskal Amerika Serikat masih menjadi sentimen utama pasar saham pada pekan ini.

Hans mengatakan, saat ini Presiden AS Joe Biden meminta bantuan dari kelompok bipartisan pejabat lokal walikota dan gubernur untuk rencana bantuan virus korona senilai USD 1,9 triliun.

"Kubu Partai Demokrat di Kongres Amerika juga bergerak cepat untuk mendorong paket bantuan Covid-19 senilai USD1,9 triliun yang diusulkan Presiden Joe Biden. Kubu Demokrat berusaha meloloskan stimulus fiskal ini di Kongres tanpa dukungan Partai Republik dan kemungkinan RUU ini akan disahkan sebelum 15 Maret. Lolosnya paket Stimulus fiskal AS ini sangat penting karena Yellen berpendapat lapangan kerja AS sulit pulih tanpa dukungan paket bantuan pandemi sebesar USD1,9 triliun,” ujar dia, ditulis Senin (15/2/2021).

Ia menambahkan, optimisme paket stimulus fiskal AS terlihat dari imbal hasil US Treasury 10-tahun naik mendekati level tertinggi Maret 2020, karena investor berspekulasi pada pemulihan ekonomi Amerika lebih cepat dibandingkan banyak negara lain. 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Reli Pasar Saham Melambat hingga Kasus COVID-19

Dilanda Corona, IHSG Ditutup Melesat
Pekerja melintas di layar IHSG di BEI, Jakarta, Rabu (4/3/2020). IHSG kembali ditutup Melesat ke 5.650, IHSG menutup perdagangan menguat signifikan dalam dua hari ini setelah diterpa badai corona di hari pertama pengumuman positifnya wabah corona di Indonesia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kedua,  setelah kenaikan yang kuat pasar saham sejak awal tahun, reli pasar saham tampaknya mulai melambat.

Hans menuturkan, faktor stimulus fiskal AS dan pelaksanaan vaskin sebenarnya telah didiskon oleh pasar lewat kenaikan yang terjadi. Di Amerika Serikat akhir pekan investor terlihat berburu saham-saham energi, finansial dan saham dari sektor material.

“Investor Amerika Serikat mulai melepas saham-saham teknologi dalam mengantisipasi stimulus fiskal USA guna menopang pemulihan perekonomian Amerika Serikat,” kata dia.

Hans mengatakan, sektor energi, keuangan dan material menguat di tengah ekspektasi bahwa mereka akan mendapat manfaat dari pemulihan ekonomi akibat pembukaan ekonomi dan stimulus fiskal.  “Bila kedua faktor ini sampai tertunda akan membuat pasar saham berpotensi tertekan turun,” kata dia.

Ketiga, perkembangan kasus COVID-19. Hans menuturkan, pekan terakhir terjadi penurunan tajam kasus baru Covid 19 dan rawat inap. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan terjadi penurunan kasus baru Covid 19 dalam empat pekan terakhir berturut-turut.

“WHO mengatakan meski lonjakan kasus Covid-19 masih terjadi di sejumlah negara, tetapi trend penurunan di level global merupakan kabar yang menggembirakan,” kata dia.

Selain jumlah infeksi, angka kematian akibat COVID-19 di level global juga turun. WHO menyebut penurunannya terjadi selama dua pekan berturut-turut. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong pasar saham ke level tertinggi. Meskipun ada peluang kemunduran ekonomi di jangka pendek dapat terjadi akibat lockdown ketat akibat varian baru virus COVID- 19 dan potensi hambatan dalam distribusi vaksin.   

Perkembangan Kasus COVID-19 hingga Kebijakan the Fed

Akhir 2019, IHSG Ditutup Melemah
Pengunjung melintas dilayar pergerakan saham di BEI, Jakarta, Senin (30/12/2019). Pada penutupan IHSG 2019 ditutup melemah cukup signifikan 29,78 (0,47%) ke posisi 6.194.50. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Keempat, beberapa vaksin COVID-19 yang telah mendapat izin pemakaian darurat sebagai ujung dari pandemi COVID-19.  

Hans menuturkan, di tengah kemunculan vaksin ada rangkaian strain (varian baru) dari virus corona baru yang lebih mudah menular. Sebagian resisten terhadap vaksin yang akan menyelesaikan pandemi COVID- 19 saat ini ada varian yang masih mampu menginfeksi orang yang pernah menderita COVID-19.

"Ada beberapa varian lebih resisten terhadap vaksin generasi pertama COVID19, tetapi tidak berarti vaksin yang saat ini ada tidak berguna. Vaksin berfungsi menurunkan tingkat penyebaran virus COVID-19. Pakar mengatakan tidak mengherankan jika virus corona telah berubah dari waktu ke waktu akibat panjangnya pandemic,” ujar dia.

 Ke depan kemungkinan besar virus COVID-19 19 akan menjadi penyakit biasa seperti flu yang tidak mampu dihilangkan sama sekali seperti dulu.  

Kelima, kebijakan bank sentral Amerika Serikat.  Hans menuturkan, Chairman The Fed, Jerome Powell, menegaskan kerangka kebijakan terbaru bank sentral AS yang dapat mengakomodasi inflasi tahunan di atas 2 persen untuk beberapa waktu sebelum menaikkan suku bunga.

"Chairman Federal Reserve mengatakan kebijakan moneter AS tetap "akomodatif" dan saat ini Amerika Serikat "masih jauh" dari seharusnya dalam hal ketenagakerjaan meski ekonomi telah merebut kembali lebih dari 12 juta lapangan kerja sejak hari-hari awal pandemi Covid 19,” ujar dia.

Ia menambahkan, hal ini senada dengan pernyataan Menteri keuangan AS Jannet Yelen bahwa lapangan kerja AS butuh waktu bertahun-tahun untuk pulih. 

Hans mengatakan, nampaknya the Fed akan membiarkan suku bunga tetap rendah biarpun stimulus fiskal jumbo pemerintah Amerika Serikat diperkirakan akan lebih cepat memulihkan ekonomi. Pernyataan Federal Reserve yang dovish menyebakan Dollar yang lebih lemah dan sentimen positif bagi pasar ekuitas.  

Perkembangan Bitcoin hingga Harga Komoditas

IHSG Menguat 11 Poin di Awal Tahun 2018
Layar indeks harga saham gabungan menunjukkan data di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (2/1). Angka tersebut naik signifikan dibandingkan tahun 2016 yang hanya mencatat penutupan perdagangan pada level 5.296,711 poin. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Keenam, perkembangan bitcoin. Pekan lalu bitcoin mendapatkan beberapa sentimen positif. Awal pekan lalu harga bitcoin naik ke level tertinggi sepanjang masa setelah Tesla mengungkapkan telah membeli aset digital itu senilai USD1,5 miliar.

Tesla juga mengatakan akan segera menerima bitcoin sebagai pembayaran untuk produknya. Sesudah itu BNY Mellon mengatakan pihaknya akan membentuk unit baru guna menopang klien menahan, mentransfer serta menerbitkan aset digital.

BNY Mellon mengatakan akan menawarkan layanan kustodian bagi cryptocurrency. Penguatan bitcoin merupakan salah satu penyebab nilai tukar dolar AS melemah.

“Tetapi kami pikir investasi atau trading cryptocurrency masih terlalu berisiko akibat aturan regulator yang masing minim di berbagai negara dan ketidak jelasan underlying asset dibalik mata uang tersebut,” ujar dia.

Ketujuh, harga komoditas. Harga komoditas mungkin akan memasuki siklus super (supercycle). Supercycle komoditas hadir didukung proses pemulihan ekonomi pascapandemi yang memicu kenaikan permintaan dan akhirnya meningkatkan harga komoditas dan laju inflasi.

Stimulus fiskal AS dan pengeluraan pemerintah AS yang besar meningkatkan suplai Dolar AS dan berpotensi menekan nilai tukar AS.

“Setelah satu dekade lebih pertumbuhan ekonomi rendah dan inflasi rendah sehingga komoditas yang siklikal berkinerja buruk. Pemulihan ekonomi paska pandemi Covid 19 kali ini berpotensi mendorong naiknya harga komoditas,” ujar dia.

 Hans menuturkan, siklus terakhir supercycle harga komoditas didorong oleh kebangkitan ekonomi China dimulai pada 1996 dan mencapai puncaknya pada 2008. Sesudah itu grand supercycle komoditas berakhir pada 2012. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya