Menakar Potensi Rugi Chairul Tanjung di Garuda Indonesia

Komisaris PT Garuda Indonesia Tbk Peter Gontha menyebutkan pengusaha Chairul Tanjung rugi di Garuda Indonesia.

oleh Agustina Melani diperbarui 07 Jun 2021, 20:29 WIB
Diterbitkan 07 Jun 2021, 13:16 WIB
FOTO: PPKM Diperpanjang, IHSG Melemah Pada Sesi Pertama
Karyawan melihat layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (22/1/2021). Pada hari ini, IHSG melemah pada penutupan sesi pertama menyusul perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Komisaris PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) Peter Gontha menyebutkan pengusaha Chairul Tanjung mengalami rugi Rp 11 triliun di Garuda Indonesia.

Peter Gontha menyampaikan hal tersebut melalui akun instagramnya @petergontha. Ia menyebutkan sebagai pihak yang mewakiliki pemegang saham minoritas yaitu Chairul Tanjung. Lewat akun instagram tersebut, Peter juga menyampaikan surat terbuka kepada Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga.

Berdasarkan data RTI per 31 Mei 2021, Chairul Tanjung melalui PT Trans Airways memiliki 28,27 persen saham atau setara 7,31 miliar saham. Selain itu, pemerintah memiliki 60,54 persen atau setara 15,67 miliar saham, dan masyarakat dengan kepemilikan di bawah lima persen sebesar 11,19 persen.

"Memang saya mewakili orang yang memegang saham minoritas, artinya dikitlah cuman 28 persen, yaitu Chairul Tanjung (CT). Tapi si minoritas yang sudah rugi Rp 11 triliun ini, ada perhitungannya," tulis dia.

Peter Gontha pun memaparkan perhitungan mengenai kerugian yang dialami Chairul Tanjung tersebut. Pertama, saat Chairul Tanjung diminta tolong untuk menyerap saham GIAA dan menyetor USD 250 juta.

"Waktu CT diminta tolong karena para underwriter gagal total, CT setor USD 250 juta, waktu itu $ masih sekitaran Rp 8.000. Sekarang $ sudah Rp 14.500,” tulis dia.

Kedua, Peter menulis, harga saham GIAA saat itu Rp 625, saat ini sudah Rp 256.

"Harga saham waktu itu Rp 625 sekarang sudah Rp 256. Silahkan hitung tapi menurut saya, dalam kurun waktu 9 tahun kerugian CT saya hitung sudah Rp 11,2 triliun termasuk bunga belum hitung inflasi, banyak juga yah mas Arya,” tulis dia.

Dengan melihat kondisi tersebut, Liputan6.com mencoba hitung dan asumsikan investasi yang sudah dilakukan Chairul Tanjung melalui Trans Airways dengan membeli saham GIAA.

Hal itu dengan memakai harga pembelian saham GIAA versi Peter Gontha, harga saham GIAA Rp 625 per saham pada 2012. Chairul Tanjung melalui PT Trans Airways memiliki 7.316.798.262 saham atau setara 28,27 persen per 31 Mei 2021.

Dengan memakai analogi sederhana, yang diasumsikan harga saham GIAA Rp 625 dikalikan jumlah saham yang dimiliki PT Trans Airways sebesar 7.316.798.262 saham. Hasilnya mencapai Rp 4.572.998.913.750 atau Rp 4,57 triliun pada 2012.

Jika diasumsikan memakai harga saham GIAA pada  penutupan perdagangan 4 Juni 2021 di kisaran Rp 256 per saham dikalikan jumlah saham yang dimiliki PT Trans Airways sebesar 7.316.798.262 saham, hasilnya mencapai Rp 1.873.100.355.072 atau Rp 1,83 triliun.

Dengan demikian potensial loss atau unrealized loss dengan menghitung hasil dari harga saham GIAA yang dikalikan jumlah saham yang dimiliki antara lain Rp 4.579.998.913.750-Rp 1.873.100.355.072 menjadi Rp 2.699.898.558.678 atau sekitar Rp 2,69 triliun. Perhitungan ini memakai nominal dalam rupiah.

Direktur PT MNC Asset Manajement, Edwin Sebayang menuturkan, hal yang dialami PT Trans Airways belum disebut rugi tetapi unrealized loss atau potensial loss atau kerugian yang belum terealisasi. Hal ini karena perseroan belum menjual saham yang dimiliki tersebut sehingga disebut unrealized loss.

"Unrealized loss karena belum dijual dan masih memegang sahamnya. Kecuali itu (saham-red) dijual maka itu benar-benar rugi,” kata Edwin saat dihubungi Liputan6.com, ditulis Senin (7/6/2021).

Jika perhitungan memakai kurs dolar Amerika Serikat dan setoran untuk membeli saham GIAA sebesar USD 250 juta dengan memakai kurs tengah pada 2012 di Jakarta berdasarkan data BPS di kisaran 9.670 per dolar AS. Setoran pembelian saham USD 250 juta dikalikan 9.670 per dolar AS menjadi Rp 2.417.500.000.000 atau Rp 2,41 triliun.

Kemudian jika perhitungan memakai kurs dolar AS per 7 Juni 2021 di kisaran 14.269 per dolar AS jadi USD 250 juta dikalikan 14.269 per dolar AS menjadi Rp 3.567.425.469.181 atau sekitar Rp 3,56 triliun.

Dengan demikian ada rugi kurs Rp 1.149.705.059.715 atau sekitar Rp 1,14 triliun dari hasil pengurangan memakai kurs dolar AS pada 2012 dan 2021.

Perhitungan tersebut belum memasukkan bunga pinjaman jika diasumsikan setoran tersebut dengan memakai pinjaman.

Jadi total potensi rugi dari harga saham Garuda Indonesia (GIAA) dan selisih kurs sekitar Rp 3.849.613.393 atau Rp 3,84 triliun.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Gerak Saham GIAA

IHSG Menguat 11 Poin di Awal Tahun 2018
Suasana pergerakan perdagangan saham perdana tahun 2018 di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (2/1). Perdagangan bursa saham 2018 dibuka pada level 6.366 poin, angka tersebut naik 11 poin. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pada penutupan perdagangan saham sesi pertama, Senin 7 Juni 2021, saham GIAA melemah 6,25 persen ke posisi Rp 240 per saham.

Saham GIAA turun enam poin ke posisi Rp 250 per saham. Total frekuensi perdagangan saham 3.627 kali dengan volume perdagangan 421.567. Nilai transaksi Rp 10,2 miliar.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya