Alasan Perusahaan di Wall Street Minta Karyawan Bekerja dari Kantor

Sejumlah perusahaan di sektor keuangan di wall street mendorong karyawannya untuk kembali bekerja dari kantor.

oleh Agustina Melani diperbarui 19 Jun 2021, 21:02 WIB
Diterbitkan 19 Jun 2021, 21:02 WIB
(Foto: Ilustrasi wall street. Dok Unsplash/lo lo)
(Foto: Ilustrasi wall street. Dok Unsplash/lo lo)

Liputan6.com, Jakarta - Wall street tidak membuang waktu untuk mendorong karyawan kembali bekerja dari kantor, meski mereka ingin berada di sana atau tidak. Hal ini seiring sejumlah perusahaan investor dan keuangan meminta karyawannya untuk kembali bekerja dari kantor.

CEO Morgan Stanley James Gorman memperingatkan pekan ini dia akan “sangat kecewa” jika para karyawan tidak kembali pada Hari Buruh. Jika tidak, ia menuturkan akan melakukan percakapan yang berbeda.

Sementara itu, Goldman Sachs meminta karyawan untuk kembali ke kantor pada pekan ini. Bank di wall street bahkan meminta karyawannya untuk memberikan informasi mengenai vaksinasi yang dilakukan.

Bahkan lebih dari industri lain, wall street jelas sedang terburu-buru untuk membuka kantor di era kerja virtual yang diperpanjang ini.

Ada sejumlah faktor yang mendorong wall street mendorong karyawannya bekerja dari kantor. Pertama, masalah budaya. Panggilan zoom dan pesan slack bukan pengganti ikatan dan pelatihan tatap muka. Yang lain khawatir tentang kerentanan keamanan siber dan manajemen risiko yang melekat pada bisnis yang melakukan transaksi miliaran dolar AS setiap hari.

Pada intinya, perbankan adalah bisnis tatap muka, dan tidak seorang pun di wall street yang sangat kompetitif ingin kehilangan kesepakatan karena koneksi wifi yang lambat.

“Anda menciptakan lapangan permainan Anda sendiri yang tidak seimbang jika Anda bekerja dari rumah sementara pesaing Anda keluar melihat klien secara langsung,” ujar Analis Perbankan Wells Fargo, Mike Mayo, dilansir dari CNN, Sabtu (19/6/2021).

Ia menambahkan, industri perbankan tampaknya berniat mengembalikan karyawan ke kantor. "Tapi itu jauh lebih terasa di wall street, di mana tingkat persaingan selalu beberapa tingkat di atas yang lain,” kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Perang Bakat

(Foto: Ilustrasi wall street, Dok Unsplash/Sophie Backes)
(Foto: Ilustrasi wall street, Dok Unsplash/Sophie Backes)

Risikonya adalah bank dapat mengabaikan kekhawatiran karyawan yang mungkin tidak siap untuk kembali ke kantor secara penuh. Jika wall street bergerak terlalu agresif, ia bisa kehilangan bakat ke industri yang lebih gesit tetapi sama-sama menguntungkan seperti Silicon Valley.

Mantan bankir investasi Goldman Sachs, Marshall Sandman menuturkan, sebagian perusahaan keuangan di wall street bergegas kembali ke kantor karena ingin membangun kembali model mentor tradisional.

"Cara semua orang belajar adalah dengan bekerja. Jika Anda baru saja meninggalkan Cornell, tidak mungkin Anda bisa belajar bagaimana melakukan perbankan investasi dan perdagangan penjualan secara virtual. Anda tidak tahu apa yang sedang Anda lakukan,” ujar Sandman.

Tidak semua wall street bergegas kembali ke kantor. Bank-bank Eropa yang hadir di New York mengambil pendekatan lebih hati-hati. Salah satunya karyawan Credit Suisse mulai kembali ke kantor secara sukarela, meski sebagian besar diharapkan akan kembali bekerja setelah Hari Buruh.

Art Hogan veteran di wall street khawatir industri ini kehilangan 18 bulan berharga dari jenis pelatihan informal dan persahabatan yang terjadi.

"Itulah yang dikhawatirkan bank akan hilang. Yang paling saya rindukan adalah mengadakan pertemuan pagi secara langsung dan dapat membaca ruangan. Sulit untuk melakukan itu pada Slack dan Zoom,” ujar Hogan yang menjabat sebagai Chief Market Strategist National Securities Corp.

Ia menambahkan, lantai perdagangan memberikan dengungan yang diciptakan oleh aktivitas manusia.

"Jika Anda melihat orang bekerja keras dan di telepon, kegembiraan itu menghasilkan lebih banyak aktivitas. Itulah yang hilang dari para bankir pada umumnya dan lantai perdagangan pada khususnya,” ujar dia.

Kekhawatiran Serangan Siber

Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Ekspresi spesialis David Haubner (kanan) saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok karena investor menunggu langkah agresif pemerintah AS atas kejatuhan ekonomi akibat virus corona COVID-19. (AP Photo/Richard Drew)

CEO Better Markets, Dennis Kelleher menuturkan, bank harus terburu-buru kembali ke kantor sesegera mungkin karena lingkungan virtual yang menimbulkan tantangan manajemen risiko yang serius untuk industri ini. Dia menunjukkan, segalanya mulai dari pencatatan dan pemantauan komunikasi hingga memahami posisi apa yang diambil orang dengan modal bank.

"Sejauh yang kami tahu, tidak ada masalah besar yang terjadi. Tapi itu tidak berarti ada yang tidak beres, dan kami tidak tahu. Kita tidak tahu berapa banyak yang nyaris celaka,” kata dia.

Pengacara Epstein Becker Green Susan Gross menuturkan, kekhawatiran peraturan adalah faktor utama di balik keinginan wall street untuk kembali kantor.

"Pimpinan prihatin tentang kerahasiaan informasi klien terutama mengingat dolar yang dapat terlibat,” ujar dia.

Kemudian ada faktor cyber. Serangan ransomware tingkat tinggi dalam beberapa bulan terakhir di Colonial Pipeline dan produsen daging JBS menunjukkan betapa pentingnya infrastruktur perusahaan.

Bank dan bursa memiliki beberapa pertahanan siber paling kuat di sektor swasta, tetapi lingkungan kerja virtual memperumit banyak hal.

Dalam laporan tahunan 2020, JPMorgan Chase mengatakan, serangan siber dapat ditingkatkan seiring banyak karyawan bekerja dari jarak jauh dan meningkatnya penggunaan platform konferensi video.

"Risiko keamanan siber meningkat secara eksponensial di tempat kerja virtual,” kata dia.

Karyawan Senior Lebih Bersemangat

Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Spesialis Michael Mara (kiri) dan Stephen Naughton berunding saat bekerja di New York Stock Exchange, AS, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok pada akhir perdagangan Rabu (11/3/2020) sore waktu setempat setelah WHO menyebut virus corona COVID-19 sebagai pandemi. (AP Photo/Richard Drew)

Deputy Chief Invesment Officer Richard Bernstein Advisors, Dan Suzuki menuturkan, para manajer yang jauh lebih bersemangat untuk kembali ke kantor dari pada karyawan tingkat bawah dan menengah.

"Banyak analis dan karyawan junior tidak terburu-buru untuk kembali ke kantor. Orang yang tinggal di luar kota tidak ada keinginan untuk kembali,” kata dia.

Ann Berry, pekerja Goldman Sachs menuturkan, selama berbulan-bulan sudah jelas para pemimpin wall street ingin mengubah halaman pada pekerjaan virtual.

“Tidak ada yang terkejut perintah untuk perintah kembali datang ke kantor. Saya pikir mungkin lebih dari fase transisi yang diharapkan,” ujar dia.

Berry menambahkan, meskipun banyak karyawan menginginkan fleksibilitas untuk bekerja dari rumah, mereka juga ingin berkolaborasi, memiliki rasa kebersamaan, dan menginginkan keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik.

"Kembali ke kantor memberikan  batasan yang sangat jelas pada hari kerja,” ujar dia.

Dorongan para pemimpin wall street untuk kembali ke kantor juga berfungsi untuk memberikan mosi percaya yang kuat di New York City, yang pada satu titik merupakan pusat pandemi. Hal itu bisa membujuk industri lain untuk kembali lebih awal dari yang seharusnya.

Karyawan Ingin Fleksibilitas

Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Steven Kaplan (tengah) saat bekerja dengan sesama pialang di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok karena investor menunggu langkah agresif pemerintah AS atas kejatuhan ekonomi akibat virus corona COVID-19. (AP Photo/Richard Drew)

Meski demikian, pekerja menginginkan fleksibilitas. Sandman menuturkan, generasi muda akan bersikeras pada opsi untuk bekerja dari jarak jauh lama setelah COVID-19.

"Saya menyukai orang-orang yang bekerja dengan saya, tetapi kenyataannya adalah fleksibilitas ini memberi saya lebih banyak waktu untuk menjadi lebih baik dalam pekerjaan saya,” kata dia.

Jika CEO Morgan Stanley membuat sesuatu untuk ultimatum kepada karyawannya, Mark Zuckerberg mengambil pendekatan berbeda. Pendiri Facebook ini berencana untuk bekerja dari jarak jauh setidaknya selama setengah tahun ke depan karena pengaturan itu membuatnya lebih bahagia dan produktif di tempat kerja.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya