Cerita Tiga Perempuan Peraih Gelar CFA Saat Capai Karier di Posisi Tinggi

Saat ini telah banyak gerakan yang mengkritisi peran perempuan dalam jajaran top manajemen. Ini semakin membuka peluang bagi perempuan untuk berkontribusi.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 27 Agu 2021, 19:06 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2021, 08:44 WIB
Kartini Masa Kini
Ilustrasi para perempuan bekerja. (dok. pexels.com/mentatdgt)

Liputan6.com, Jakarta - Peran perempuan di jajaran top manajemen perusahaan masih minim. Hal ini diakui oleh Investment Director PT Telkom Indonesia Tbk Pension Fund, Siti Rakhmawati, CFA. Ia mengatakan, di Telkom Grup, dirinya menjadi satu dari sedikit perempuan yang mencapai posisi ini.

"Di Telkom Grup ada empat orang (CFA) dan saya satu-satunya perempuan (raih gelar CFA-red)," kata dia dalam webinar CFA Society Indonesia CFA Society Indonesia bertajuk women empowerment,” ditulis Jumat (27/8/2021).

Namun begitu, ia mengapresiasi upaya pemerintah untuk memperbesar jumlah perempuan di jajaran pucuk perseroan pelat merah. Hanya saja semuanya kembali pada kemampuan masing-masing.

Di sisi lain, ia juga menilai saat ini telah banyak gerakan yang mengkritisi peran perempuan dalam jajaran top manajemen. Sehingga ini semakin membuka peluang bagi perempuan untuk berkontribusi.

"Sekarang lebih beruntung karena secara politik ingin ada kesetaraan. Jadi, kesempatan terbuka lebih luas. Tinggal bagaimana kita memantaskan diri,” kata dia.

"Karena itu bukan gift. Tapi itu posisi yang membutuhkan tanggung jawab, kompetensi, hardskill, softskill, yang kita harus terus pantaskan,” ia menambahkan.

Sehingga, ia bersyukur dapat menuntaskan Program Chartered Financial Analyst (CFA). CFA merupakan sertifikasi profesional yang ditawarkan oleh CFA Institute (www.cfainstitute.org) untuk profesi di bidang investasi dan keuangan yang diakui di seluruh dunia.

Untuk menekuninya, tidak ada persyaratan mengenai batasan usia selama ada kemauan dan kemampuan. Di sisi lain, Rakhma menyebutkan ada queen bee syndrome.

Sindrom ratu lebah ini pertama kali didefinisikan oleh G.L. Staines, T.E. Jayaratne, dan C. Tavris pada 1973. Istilah ini menggambarkan seorang perempuan dalam posisi otoritas yang memandang atau memperlakukan bawahan lebih kritis jika mereka perempuan.

“Perempuan yang menduduki posisi tinggi itu malah cenderung enggak support perempuan yang lain karena merasa mungkin karena kuota juga terbatas. Jadi, cenderung menjatuhkan atau mempersulit, bahkan diskriminasi. Itu malah dari perempuan,” kata dia.

Sehingga kembali lagi, kuncinya adalah memantaskan diri.

 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Masih Rendahnya Jumlah Perempuan di Top Manajemen

Ilustrasi Perempuan
Ilustrasi perempuan bekerja. (dok. Unsplash.com/@chuklanov)

Dalam kesempatan yang sama, CFO of OY! Indonesia & Director of GARP Indonesia Chapter, Melisa Hendrawati, CFA, FRM, MBA mengungkapkan hal serupa.

Dalam beberapa pertemuan penting dengan jajaran top manajemen, ia mengaku kerap merasa sedih karena menjadi satu-satunya perempuan yang terlibat. Bahkan menurut dia, persentase perempuan di top manajemen turun drastis dibandingkan dengan junior dan mid level.

“Itu sedih. Terus terang itu membuat saya berpikir bahwa saya perlu membantu perempuan dan memberdayakannya. Kalau tidak, ini tidak akan ada akhirnya,” kata Melisa.

Merujuk pada buku yang ia baca, Lean In yang ditulis Sheryl Sandberg, Chief Operating Officer of Facebook, menyebutkan, ada sejumlah hal yang menyebabkan rendahnya persentase keterlibatan perempuan di jajaran top manajemen.

“Pertama, external barrier atau stereotipe gender bias yang dibentuk society terhadap perempuan. Kedua, ini yang paling lumayan barrier-nya inherent, dari dalam diri perempuan sendiri. Jadi, ada yang namanya impostor syndrome,” beber Melisa.

Secara garis besar, Melisa menjelaskan impostor syndrome, yakni kondisi di mana perempuan menurunkan ekspektasinya. Perempuan cenderung tidak percaya diri dengan apa yang menjadi mimpinya, sehingga menurunkan ekspektasi yang padahal mungkin untuk dicapai.

Untuk mengatasi itu, Melisa mengatakan perlu ada perubahan pola pikir agar internal barrier dianggap tidak valid. Sehingga perempuan lebih leluasa untuk memiliki bahkan menggapai mimpi yang besar.

“Selain itu, yang paling penting adalah women empowering other woman. Itu akan jadi viral effect yang sangat positif,” katanya.

 

Rendahnya Literasi Keuangan

(Foto: Ilustrasi investasi saham. Dok Unsplash/Austin Distel)
(Foto: Ilustrasi investasi saham. Dok Unsplash/Austin Distel)

Sementara Credit analyst PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Naila Firdausi, CFA lebih menyoroti kurangnya literasi keuangan, khususnya bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah.

“Di Manulife Financial, education literacy program itu memang agak sulit. Meski konservatif, mereka pikir - saya harus nabung. Malah jadinya larinya ke investasi yang ajaib,” ungkap Naila.

“Jadi salah satu keuntungan ambil CFA adalah aku bisa menginternalisasi opportunity cost dan (mengaplikasikan IRR  (internal rate of return) in every decision,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya