Menakar Prospek Sektor Saham Batu Bara Setelah Kesepakatan COP26 Glasgow

Sektor batu bara masih bisa bernafas hingga 2040 di tengah negara yang tergabung dalam COP 26 sepakat kurangi pemakaian batu bara.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 17 Nov 2021, 21:05 WIB
Diterbitkan 17 Nov 2021, 21:05 WIB
FOTO: Ekspor Batu Bara Indonesia Melesat
Kapal tongkang pengangkut batu bara lepas jangkar di Perairan Bojonegara, Serang, Banten, Kamis (21/10/2021). Ekspor batu bara menjadi penyumbang terbesar dengan kontribusi mencapai 70,33 persen dan kenaikan hingga 168,89 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Negara-negara tergabung dalam Conference of the Parties (COP26) sepakat mengurangi pemakaian batu bara pada KTT COP26 di Glasgow, Skotlandia.

Perjanjian di Glasgow mengikat negara peserta untuk mengurangi pemakaian batu bara untuk produksi listrik pada dekade 2030-an. Mereka juga berkomitmen menghentikan investasi batu bara di dalam dan luar negeri.

Konferensi tersebut juga sepakat untuk mengurangi hampir separuh emisi gas rumah kaca dalam delapan tahun setelahnya dan mencapai emisi nol bersih pada 2050.

Menyusul kesepakatan tersebut, saham batu bara sempat tersungkur. Kendati begitu, Head of Investment PT Reswara Gian Investa Kiswoyo Adi Joe menilai sektor tersebut masih bisa bernafas setidaknya hingga 2040. Hal ini merujuk pada sejumlah raksasa batu bara yang absen dalam konferensi tersebut. Sehingga diperkirakan permintaan batu bara masih akan tetap ada.

"Tidak semudah itu menghentikan penggunaan batu bara. Setidaknya sampai 2040 masih aman. Karena kalaupun dipercepat itu paling 2040. Nggak mungkin 2030, itu terlalu cepat," kata Kiswoyo kepada Liputan6.com, Rabu (17/11/2021).

Di sisi lain, untuk membangun pembangkit listrik berorientasi hijau juga dibutuhkan waktu yang tidak sebentar dan biaya yang tidak sedikit. Sehingga selama proses pembangunannya, pembangkit listrik batu bara masih diperlukan.

Selain itu, Kiswoyo mengatakan Indonesia masih memiliki kontrak dengan PLTU berbasis batu bara. Jika kontrak tersebut dihentikan, akan dikenakan kompensasi. Sehingga ini juga menjadi pertimbangan untuk mengurangi penggunaan batu bara dalam waktu dekat.

“Kalau diberhentikan begitu saja, ada kompensasi. Selain itu, artinya harus membangun lagi energi go green secara masif dalam waktu singkat. Itu butuh duit gede, dari mana lagi?” imbuhnya.

Dari sisi emiten, Kiswoyo mengatakan pergerakan saham sektor batu bara mengacu pada harga komoditas. Ia menilai, harga batu bara saat ini naik terbatas, menyusul selesainya musim dingin.

Di saat bersamaan, persediaan minyak dan gas global sudah mulai stabil, menyusul covid-19 yang mulai melandai di belahan dunia lain. Sehingga harga minyak dan gas juga akan stabil. Artinya, harga batu bara juga akan bergerak ke arah yang sama.

"Akhir bulan ini pasokan oil dan gas sudah normal. Artinya produksi mereka (negara penghasil minyak) bisa dimaksimalkan lagi. Otomatis harga oil dan gas akan turun. Kalau sudah begitu harga batu bara akan ikut turun,” ujar Kiswoyo.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Permintaan Global Bakal Turun

Ekspor Batu Bara Indonesia Menurun
Aktivitas pekerja saat mengolah batu bara di Pelabuham KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Berdasarkan data ICE Newcastle, ekspor batu bara Indonesia menurun drastis 33,24 persen atau mencapai 5,33 juta ton dibandingkan pekan sebelumnya 7,989 ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Dihubungi secara terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menerangkan harga batu bara mengalami koreksi sebesar 37 persen dalam satu bulan terakhir menjadi USD 150 per ton.

Koreksi harga juga berkaitan dengan masalah lingkungan hidup yang diangkat dalam berbagai forum mulai dari G20 hingga COP26.

“Prospek saham batu bara diproyeksikan akan mengalami penurunan sejalan dengan berkurangnya demand global. Tapi perlu dipahami juga kenapa saat ini beberapa emiten masih hijau karena permintaan yang sifatnya temporer,” ujar dia.

Setelah transisi energi ke energi baru terbarukan (EBT) gencar dilakukan serta pembiayaan keuangan global menginginkan standar lingkungan yang tinggi, Bhima menilai banyak aset perusahaan batu bara menjadi stranded atau tidak memiliki nilai.


Prospek

FOTO: PPKM, IHSG Ditutup Menguat
Layar komputer menunjukkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Jakarta, Kamis (9/9/2021). IHSG Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis sore ditutup menguat 42,2 poin atau 0,7 persen ke posisi 6.068,22 dipicu aksi beli oleh investor asing. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Senada, Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Sukarno Alatas mengatakan permintaan yang menurun, prospek sektor ini juga kurang bagus. Sehingga harga saham pun berpotensi menuju tren turun.

"Dampaknya permintaan dari konsumsi batubara jadi turun. Dan yang pastinya prospek batu bara bisa menjadi kurang bagus lagi, dan tren harganya bisa turun,” kata Sukarno.

Adapun untuk trading jangka pendek, Sukarno memiliki sejumlah saham batu bara yang bisa dicermati. Antara lain PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), dan PT Harum Energy Tbk (HRUM).

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya