Liputan6.com, Jakarta - Bayangan potensi resesi di depan mata. Meski Indonesia diakui sebagai salah satu negara yang terdampak minim, bukan berarti tidak ada persiapan yang perlu dilakukan.
Head of Retail Research CGS CIMB Sekuritas, Fanny Suherman mengatakan, pada situasi ini investor akan fokuskan investasi pada aset atau instrumen yang bersifat defensif. Instrumen investasi defensif yang biasanya dipilih berupa tabungan, deposito, dan emas. Padahal, ada instrumen lain yang disebut Fanny dapat memberikan peluang imbal hasil (return) lebih tinggi, yakni saham.
Baca Juga
"By historical yang return nya paling tinggi justru di saham. Jadi perhatikan jika terjadi koreksi saat ada resesi, itu kesempatan yang bisa diambil untuk masuk ke saham,” kata Fanny dalam Money Buzz bertajuk 2023: Buckle Up and Enjoy the Ride, Kamis (27/10/2022).
Advertisement
Dia menilai, investasi pada instrumen saham cenderung bergerak uptrend untuk jangka panjang. Meski diakui sempat ada koreksi, tetapi pemulihan atau rebound nya relatif cepat. Meski sudah masuk pada investasi saham, Fanny mengamati investor umumnya juga akan menyasar sektor yang defensif, seperti consumer goods.
Padahal, jika ada resesi dan inflasi tinggi, maka akan berdampak pada daya beli masyarakat. Sehingga sektor ini nampaknya juga akan terimbas.
"Jadi tetap ada risiko di saham-saham consumer good karena adanya pelemahan daya beli masyarakat,” imbuh dia.
Lebih lanjut, Fanny menjelaskan dampak resesi saat ini terasa pada nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS. Kondisi ini berdampak positif untuk perusahaan atau emiten yang banyak ekspor. Sebaliknya, kondisi ini tak menguntungkan bagi emiten yang banyak impor dan memiliki utang tinggi karena ada tren kenaikan suku bunga.
"Kondisi ini negatif untuk perusahaan yang banyak impor dan tingkat hutang tinggi. Terutama potensi suku bunga naik masih ada, otomatis perusahaan yang memiliki hutang apalagi dengan bunga floating (bukan fix rate), akan terkena dampaknya,” jelas Fanny.
Suku Bunga Naik, Inflasi Bakal Sentuh hingga 7 Persen
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) diperkirakan bakal menaikkan suku bunga hingga 200 bps dalam satu tahun ke depan. Hal ini menyusul inflasi yang diperkirakan masih tinggi hingga tahun depan.
Head of Research/Portfolio Manager PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AMOR), Herman Koeswanto CFA memperkirakan, kenaikan harga BBM sebesar 30 persen turut andil dalam angka inflasi setahun ke depan.
"Kalau dari perhitungan kita, estimasi dampak dari kenaikkan BBM 30 persen bisa menambah 150–200 bps ke baseline dari ekspektasi inflasi. Sementara estimasi kita pada indeks harga konsumen (consumer price index/CPI) akan naik di kisaran 6-7 persen dari tadinya 4–5 persen,” terang Herman dalam Money Buzz, Selasa (13/9/2022).
Herman menambahkan, tren kenaikan inflasi ini merujuk pada base effect yang akan terus naik sampai dengan paruh pertama tahun depan. Kemudian pada paruh selanjutnya akan mulai landai dan kembali pada kisaran 4 persen. Bersamaan dengan itu, bank sentral, termasuk Bank Indonesia (BI) mengambil kebijakan untuk menyesuaikan suku bunga demi meredam inflasi.
Hermat mengatakan, untuk menjaga kebijakan moneter itu supaya dianggap lebih pruden, bank sentral harus menjaga jarak antara obligasi Indonesia dan imbal hasil obligasi AS. Bank sentral juga akan mempertimbangkan penyesuaian suku bunga merujuk pada perkembangan inflasi.
“Namun pada akhirnya ini akan kembali pada supply dan demand di pasar obligasi. Kita memang sudah memperkirakan bahwa BI akan menaikkan dalam 1 tahun ke depan itu minimal 150 sampai 200 bps untuk mempertahankan spread yang tadi,” imbuh Herman.
Advertisement
Saat Inflasi Tinggi Jadi Perhatian Global, Apa Penyebabnya?
Belum pulih dari pandemi COVID-19, dunia kini tengah dilanda inflasi global. Secara garis besar, Head of Research / Portfolio Manager PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AMOR), Herman Koeswanto, CFA menerangkan inflasi ini disebabkan tidak seimbangnya persediaan (supply) dan demand (permintaan).
Di tengah tren pemulihan ekonomi, Herman mencermati adanya pertumbuhan permintaan. Asal tahu saja, pemerintah di banyak negara menggulirkan stimulus jumbo untuk menjaga daya beli masyarakat selama krisis. Kebijakan itu turut mendorong tingginya permintaan saat ekonomi dibuka.
"Saat terjadi pembukaan ekonomi, orang-orang mau belanja, traveling. Jadinya supply dan demand tidak belance, demand-nya loncat tinggi, tapi supply nya tidak loncat," kata Herman dalam Money Buzz, Selasa (13/9/2022).
Saat pandemi COVID-19 berlangsung, Herman mencermati adanya adopsi digital yang masif. Hal ini turut membuka literasi mengenai investasi sebagai salah satu upaya untuk tetap memiliki aset ketika krisis. Sehingga jumlah investor ritel di banyak negara tumbuh signifikan selama periode itu.
Adopsi Digital yang Masif
"Sejak Covid, retail investor di mana-mana naik mendominasi pasar. Itu sebabkan banyak orang yang bisa mengerti bagaimana menangani krisis. Sementara dari sisi supply belum kembali normal," imbuh dia.
Mulanya, banyak orang yang tak yakin pemulihan ekonomi akan berlangsung cepat. Sehingga terjadi pemutusan kerja dan berbagai upaya lainnya untuk menekan biaya yang sebabkan perlambatan supply.
Di sisi lain, pandemi Covid-19 merupakan fenomena pertama, sehingga muncul ketidak pastian mengenai langkah apa yang sebaiknya diambil untuk memitigasi risiko dari krisis itu.
Namun, tak disangka vaksin ditemukan, sehingga pemulihan dapat terakselerasi. "Kejadian di tengah covid ini belum pernah terjadi sebelumnya. Jadi itu sebabkan supply disruption. Banyak global supply chain yang terhambat dari sisi produksi, logistik, pabrik. Tidak disangka vaksin ditemukan dan pemulihan berjalan relatif cepat,” kata Herman.
Advertisement