Wall Street Beragam, Investor Menanti Pidato Ketua The Fed Jerome Powell

Pada penutupan perdagangan wall street, indeks Nasdaq merosot 0,59 persen ke posisi 10.983,78.

oleh Agustina Melani diperbarui 30 Nov 2022, 06:41 WIB
Diterbitkan 30 Nov 2022, 06:41 WIB
Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Director of Trading Floor Operations Fernando Munoz (kanan) saat bekerja dengan pialang Robert Oswald di New York Stock Exchange, AS, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street jatuh ke zona bearish setelah indeks Dow Jones turun 20,3% dari level tertingginya bulan lalu. (AP Photo/Richard Drew)

Liputan6.com, New York - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street bervariasi pada perdagangan Selasa, 29 November 2022. Indeks S&P 500 dan Nasdaq melemah pada sesi ketiga berturut-turut seiring pelaku pasar berjuang untuk pulih dari koreksi tajam pada sesi sebelumnya. Pelaku pasar juga bersiap hadapi rilis data ekonomi akhir pekan ini.

Pada penutupan perdagangan wall street, indeks Nasdaq merosot 0,59 persen ke posisi 10.983,78. Indeks S&P 500 tergelincir 0,16 persen ke posisi 3.957,63. Indeks Dow Jones naik tipis 0,01 persen ke posisi 33.852,53.

Investor sedang menanti data yang akan datang akhir pekan ini termasuk lowongan pekerjaan JOLTS pada Rabu, 30 November 2022 waktu setempat. Selain itu, daftar gaji pada Jumat, 2 Desember 2022 untuk mengetahui bagaimana kinerja ekonomi. Pelaku pasar juga menanti jadwal pidator Ketua the Federal Reserve (the Fed) Jerome Powell di Hutchins Center on Fiscal pada Rabu pekan ini untuk mengetahui petunjuk apakah bank sentral akan memperlambat atau menghentikan kenaikan suku bunga.

“Pasar telah mengalihkan fokus dari akhir musim laporan laba kuartal III menjadi faktor tambahan sekarang yang mungkin akan mempengaruhi pertimbangan the Federal Reserve pada pertemuan Desember,” ujar Direktur Senior Investment US Bank, Bill Northey, dikutip dari CNBC, Rabu (30/11/2022).

Hal senada dikatakan Analis Baird Ross Mayfield. Pasar bergerak sedikit dengan investor menantikan pidato dari Ketua the Fed Jerome Powell dan data tentang pekerjaan, tenaga kerja, dan inflasi yang akan datang akhir pekan ini.

“Ini adalah minggu data ekonomi yang sangat besar. Sering kali, ketika Anda memiliki beberapa katalis besar dalam waktu dekat, pasar akan melakukan perdagangan sideways, atau sedikit tenang untuk antisipasi peristiwa tersebut,” ujar Mayfield.

Strategi Jangka Panjang

Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Ekspresi spesialis Michael Pistillo (kanan) saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok pada akhir perdagangan Rabu (11/3/2020) sore waktu setempat setelah WHO menyebut virus corona COVID-19 sebagai pandemi. (AP Photo/Richard Drew)

Ia pun menyarankan kepada klien terutama yang mencari strategi jangka panjang untuk tetap fokus pada tujuan investasi lebih besar dan tidak terpengaruh naik turun saham dalam jangka pendek. “Jika Anda hanya investor jangka panjang, ini benar-benar hanya tentang bertahan saja,” tutur dia.

Wall street sebagian besar gagal untuk berbalik arah dari penurunan tajam dan luas pada Senin, 28 November 2022 setelah protes di China terhadap kebijakan nol COVID-19 yang dimulai akhir pekan. Protes meningkatkan kekhawatiran atas potensi protokol COVID-19 China yang sekali lagi dapat menghambat rantai pasokan global.

Namun, dalam semalam, pasar global hentikan koreksi seiring pejabat China mengatakan, kalau 65,8 persen warga di atas usia 80 tahun telah menerima vaksin booster. Selain itu, pemerintah melaporkan penurunan kasus COVID-19 di China selama lebih dari sepekan. Hal itu berkontribusi pada reli di pasar Hong Kong dan Shanghai.

Penutupan Wall Street pada 28 November 2022

Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Ekspresi spesialis David Haubner (kanan) saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok karena investor menunggu langkah agresif pemerintah AS atas kejatuhan ekonomi akibat virus corona COVID-19. (AP Photo/Richard Drew)

Sebelumnya, bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street melemah pada perdagangan saham Senin, 28 November 2022. Wall street tertekan seiring protes dari pembatasan COVID-19 yang berkepanjangan di China membebani pasar. Adapun pemerintah China menerapkan kebijakan nol COVID-19 untuk meredam penyebaran COVID-19.

Pada penutupan perdagangan wall street, indeks Dow Jones melemah 497,57 poin atau 1,45 persen ke posisi 33.849,46. Indeks S&P 500 tergelincir 1,54 persen ke posisi 3.963,94. Indeks Nasdaq terpangkas 1,58 persen ke posisi 11.049,50.

Seluruh sektor saham di indeks S&P 500 melemah pada awal pekan ini. Sektor real estate catat kinerja terburuk dengan turun 2,8 persen. Di sisi lain, sektor konsumsi meski berada di zona merah, tetapi catat kinerja lebih baik dengan turun 0,4 persen.

Aksi jual pada awal pekan didorong oleh demonstrasi yang pecah di China selama akhir pekan. Hal ini menyusul warga yang melampiaskan rasa frustasi terhadap kebijakan nol COVID-19 Beijing.

Pemerintah daerah memperketat kontrol COVID-19 seiring kasus COVID-19 yang melonjak. Pada awal November 2022, Beijing menyesuaikan beberapa kebijakan yang menunjukkan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut akan kembali dibuka.

 

 

Saham Apple Merosot

Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Steven Kaplan (tengah) saat bekerja dengan sesama pialang di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok karena investor menunggu langkah agresif pemerintah AS atas kejatuhan ekonomi akibat virus corona COVID-19. (AP Photo/Richard Drew)

Hal tersebut juga berdampak di seluruh pasar global pada perdagangan Senin, 28 November 2022. Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) yang turun ke level terendah sejak Desember 2022.

Saham perusahaan dengan fasilitas produksi besar di China berada di bawah tekanan. Saham Apple turun 2,6 persen setelah Bloomberg melaporkan kerusuhan di sebuah pabrik di China dapat berarti berkurangnya 6 juta unit iPhone Pro pada 2022.

“Ketika Anda melihat Apple tidak dapat memenuhi pesanan untuk iPhone mereka karena pabrik-pabrik di China ditutup, saya pikir itu adalah contoh sempurna bagaimana sesuatu di satu negara dapat mempengaruhi tempat lain,” ujar Chief Market Strategis Crossmark Global Investment, Victoria Fernandez, dikutip dari CNBC, Selasa (29/11/2022).

Ia menuturkan, hal itu hanya memiliki efek riak melalui ekonomi global ketika Anda memiliki sesuatu sebesar ekonomi China yang ditutup.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya