Liputan6.com, Jakarta - Perbankan Indonesia menjadi salah satu sektor yang menarik dicermati untuk investasi. Di tengah tren kenaikan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (the Fed) hingga krisis perbankan di negeri Paman Sam itu, bank-bank di Indonesia masih cukup resilien.
"Di Indonesia, kemungkinan untuk mengalami hal yang sama itu relatif kecil karena kalau kita lihat dari sisi asetnya, empat perbankan besar Indonesia mendominasi 60 persen total aset perbankan di dalam negeri," kata Equity research Analyst CGS-CIMB Sekuritas Indonesia, Handy Noverdanius dalamMoney Buzz- Perbankan Indonesia: Santai di Tengah Badai, Selasa (30/5/2023).
Baca Juga
Di sisi lain, penyaluran kredit perbankan besar untuk perusahaan berbasis teknologi, seperti fintek hingga startup relatif tidak signifikan.
Advertisement
Krisis perbankan di AS salah satunya lantaran penyaluran kredit untuk perusahaan teknologi dan startup. Di mana sektor-sektor tersebut memiliki model bisnis yang rentan.
"Selain itu, instrumen investasi surat berharga memang ada kenaikan sejak pandemi karena dana murah banyak parkir likuiditas di instrumen investasi seperti surat berharga. Tapi secara total portofolio aset masih di bawah 10 persen dan sangat aman. Perbankan besar juga banyak parkir dana di tenor yang relatif lebih pendek, 3 tahun. Sedangkan bank-bank AS investors long term di atas 4-5 tahun," ujar Handy.
Pada kondisi tersebut, Handy memiliki beberapa tips memilih saham perbankan yang berpotensi cuan. Dia menuturkan, ada sejumlah metrik yang bisa dijadikan acuan untuk menimbang saham bank yang patut dikoleksi. Misalnya, seperti kinerja keuangan termasuk tingkat profitabilitas perbankan, return on asset (RoA) hingga return on equity (RoE).
"Lalu dibandingkan juga dengan harga valuasi saham-saham perbankan, di mana kita biasanya memakai matriksnya itu price to book. Jadi harga sahamnya dibandingkan book value per share. Harusnya dnegan RoA dan RoE yang lebih tinggi, saham-saham bank itu bisa lebih premium," tutur Handy.
Rekomendasi Saham
Selain itu, investor juga bisa mencermati momentum atau sentimen yang sedang berlangsung, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Untuk sentimen dalam negeri saat ini adalah terkait pemilihan umum (pemilu) serentak pada 2024, di mana kampanye akan berlangsung pada tahun ini. Handy mengatakan, momentum tersebut berpotensi mengerek permintaan kredit perbankan karena perputaran uang dalam bentuk dana kampanye.
"Satu lagi yang bisa dicermati juga dari momentum adanya Dana kampanye election cycle yang bakal berlangsung sebentar lagi," imbuh dia. Cari momentum momentum seperti dana displacement itu akan lebih memberikan dampak positif ke segmen di kelas bawah seperti mikro hingga ultra mikro," kata Handy.
Untuk saat ini, Handy jagokan saham Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dan Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI). Alasannya, kedua bank ini memiliki eksposur yang lebih tinggi untuk pembiayaan atau kredit segmen menengah ke bawah, dibandingkan bank-bank besar lain.
"BRI biasanya lebih benefit selama pemilu karena segmen mereka kan mikro. Dengan adanya KUR dan Kupedes, likuiditas baik DPK maupun kredit bisa tumbuh lebih tinggi dibanding industri. Dan BNI kita suka karena valuasinya relatif masih menarik," ujar Handy.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual saham. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Advertisement
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Cerah, Bagaimana Prospek Pasar Obligasi?
Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia disebut cukup baik dan stabil di kisaran 5 persen. Head of Fixed Income Ashmore Asset Management Indonesia, Anil Kumar mengatakan angka ini tumbuh dua kali lipat dibandingkan pertumbuhan ekonomi global yang di kisaran 2,8 persen tahun ini dan 3 persen pada 2024.
"Kita patut bersyukur akan hal ini. Karena walaupun nanti akan mengalami proses perubahan kepemimpinan dan lain sebagainya, ekonomi kita tetap di-drive oleh private market. Ditambah lagi dengan adanya hilirisasi, maka ekspor dan penerimaan negara juga sudah meningkat," kata Anil dalam Money Buzz edisi The Best Time for Bonds is Now, Selasa (16/5/2023).
Bersamaan dengan itu, Anil menyebutkan asumsi harga minyak adalah USD 90 per barel pada APBN 2023. Sementara saat ini harga minyak sedang dalam level USD 70-80 per barel. Sehingga pengeluaran negara melalui subsidi menjadi sedikit berkurang.
"Hal ini akan memberikan prospek yang sangat baik untuk pasar obligasi Indonesia. Kita sudah di awal Januari, di mana di awal lelang obligasi konvensional yang dilakukan pemerintah setiap dua minggu, sudah turun dari Rp 23 triliun menjadi Rp 18 triliun. Itu menunjukkan bahwa pemerintah punya akses money yang mereka gunakan, sehingga tidak perlu lebih banyak berutang," imbuh Anil.
Dari sisi APBN, Anil mencatat sampai dengan Maret setidaknya masih surplus Rp 128,5 triliun. Pada periode yang sama, pendapatan dan penerimaan negara naik hampir 30 persen yoy, walaupun pengeluaran pemerintah hanya naik 6 persen pada kuartal pertama 2023.
"Ini semua menunjukkan bahwa supply obligasi untuk tahun ini akan turun dari target awal kurang lebih Rp 700 triliun atau 2,85 persen fiskal budget deficit. Kemungkinan kita akan mengakhiri tahun ini antara level tinggal 2-2,4 persen dari fiskal budget deficit," ujar Anil.
Jumlah Investor Ritel Meningkat di Pasar Obligasi
Menariknya, lanjut Anil, pemerintah berasumsi fiskal budget deficit tahun depan berkisar antara 2,1- 2,4 persen, lebih rendah dari tahun ini. Bersamaan dengan itu, Bank Indonesia mengasumsikan, inflasi tahun depan mulai turun dari 3 persen tahun ini +/- 1 menjadi 2,5 persen +/- 1. Dengan kondisi seperti itu, asumsinya obligasi juga akan mulai stabil.
"Dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen dan pertumbuhan pinjaman yang sedikit mulai turun, maka kita hampir yakin mengatakan bahwa suku bunga perbankan di Indonesia juga akan mulai turun dan akan mulai ada perpindahan uang dari dana pihak ketiga masuk ke dalam pasar obligasi dalam jumlah yang lumayan besar karena memang imbal hasil obligasi kita kali ini hampir dua kali lipat daripada deposit rate di perbankan ," tutur Anil.
Investor Obligasi
Ia menilai, telah terjadi peningkatan kepemilikan investor individu di pasar obligasi hingga tujuh kali lipat dalam tujuh tahun terakhir. Sementara terjadi penyusutan kepemilikan asing. Kondisi ini mencerminkan kebutuhan Indonesia akan uang dari investor asing makin sedikit.
"Ini harus kita jaga dengan trade balance kita yang terus surplus, current account kita yang lumayan surplus atau kalaupun defisit, defisitnya kecil. Maka selama balance of payment kita positif, selama efek reserve kita terus bertambah, maka imbal hasil obligasi kita akan memiliki kecenderungan turun," kata Anil.
Advertisement