Deretan Kesalahan Investor saat Pasang Stop Loss

Investor masih banyak yang melakukan berbagai kesalahan ini dalam memasang stop loss untuk trading.

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 01 Jul 2023, 19:43 WIB
Diterbitkan 01 Jul 2023, 19:42 WIB
(Foto: Ilustrasi investasi saham. Dok Unsplash/Austin Distel)
Associate Director PT Universal Broker Indonesia Sekuritas, Hadrian Maynard menyebut ada beberapa kesalahan stop loss yang umum dilakukan oleh investor. (Foto: Ilustrasi investasi saham. Dok Unsplash/Austin Distel)

Liputan6.com, Jakarta - Associate Director PT Universal Broker Indonesia Sekuritas, Hadrian Maynard menyebut ada beberapa kesalahan stop loss yang umum dilakukan oleh investor. 

Secara definisi, Hadrian menjelaskan stop loss adalah suatu batasan untuk membatasi kerugian yang akan seorang investor atau trader terima. Dalam stop loss, Handrian juga membaginya menjadi dua sifat.

“Nah sifat ini sebenarnya bisa dibagi dua ya, kalau saya stop loss ada yang dalam bentuk rupiah atau ada juga dalam bentuk persentase. Misal stop loss saya 10 persen atau stop loss saya satu juta rupiah,” tutur Hadrian dalam webinar Indonesia Investment Education (IIE), Sabtu (1/7/2023).

Memasang Stop Loss di Garis Support

Kemudian untuk kesalahan pertama dalam stop loss yang dilakukan investor atau trader menurut Hadrian adalah memasang stop loss pada garis support. 

“Filosofi support, jika ada sebuah harga turun ke garis support, ini cenderung melambat atau memantul. Kalau melewati garis support baru kita harusnya stop loss. Jadi, jika support berada di 1.500, maka stop loss jangan dipasang sesuai harga support. Saran saya dua atau tiga tick di bawah garis support,” ujar Hadrian.

Memasang Stop Loss Terlalu Dekat atau Jauh

Kesalahan kedua stop loss yaitu memasang stop loss terlalu dekat atau terlalu jauh. Agar tak terlalu dekat, Hadrian mengungkapkan investor bisa memperhatikan volatilitas harga saham.

“Contohnya, volatilitas saham 3 persen, kita memasang stop loss antara 4 dan 5 persen masih masuk akal. Prinsip saya biasanya memasang stop loss itu satu atau satu setengah kali dari volatility,” lanjut Hadrian.

Kecepatan Menaikkan Stop Loss

Kesalahan selanjutnya sering terjadi karena investor ingin cepat meraih keuntungan sehingga menaikkan tingkat stop lossnya. 

“Biasanya trader baru belajar sudah untung 2 sampai 3 persen, stop loss dinaikin ke Break Even Point (BEP) biar enggak mau rugi, kena BEP. Maka ini juga pengaruh terhadap volatility. Kalau saya biasa menunggu porfit hingga 5 sampai 7 persen, baru menaikkan stop loss ke BEP baru nyaman,” tutur Hadrian.

 

Tidak Pasang Stop Loss

IHSG Awal Pekan Ditutup di Zona Hijau
Pejalan kaki melintas dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di kawasan Jakarta, Senin (13/1/2020). IHSG sore ini ditutup di zona hijau pada level 6.296 naik 21,62 poin atau 0,34 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kesalahan ini menurut Hadrian jangan sampai dilakukan. Hadrian mengatakan investor jangan sampai tidak memasang stop loss kecuali investor murni yang membeli dan menahan saham. 

“Tetapi itu tidak saya sarankan, kalau tidak pasang stop loss itu bisa bahaya. Kalau sudah turun terlalu dalam bisa saja switching saham atau rebalancing portofolio Anda,” kata Hadrian.

Tidak Menghitung Money Management Stop Loss

Stop Loss bisa dalam rupiah maupun persentase. Hadrian menjelaskan dirinya lebih memilih sifat stop loss yang menggunakan rupiah karena lebih mudah dalam penghitungannya. 

Pada dasarnya money management stop loss dilakukan untuk memperhitungkan sejauh mana bisa membatasi kerugian dengan budget yang ada.

Tidak Perhatikan Situasi Emiten

Kesalahan ini menurut Hadrian sering terjadi karena trader umumnya terlalu teknikal dalam melihat harga, sehingga sering tidak memperhatikan aksi-aksi dari emiten. Baik itu dari dividen, tidak membaca prospektus ketika IPO, atau masuk UMA, dan suspen.

IHSG Melemah 2,76 Persen pada Semester I 2023, Bagaimana Proyeksi hingga Akhir Tahun?

IHSG Ditutup Melemah ke Level 6.679
Pada penutupan kali ini, 200 saham menguat, 347 saham terkoreksi, dan 197 saham lainnya stagnan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup merah pada perdagangan akhir Juni 2023. IHSG melemah 0,04 persen dibanding ke posisi 6.661,879 dari penutupan sebelumnya.

Sejak awal tahun atau secara year to date (ytd), IHSG turun 2,76 persen sepanjang paruh pertama tahun ini. Praktisi Trading dan Investasi, Desmond Wira menilai, terdapat beberapa sentimen yang menyeret IHSG ke zona merah. Sentimen negatif terutama berasal dari sektor energi dan komoditas yang terpuruk seiring turunnya harga energi dan komoditas.

"Kemudian ditambah China mempertimbangkan untuk mengakhiri pelarangan impor batu bara dari Australia. Sebelumnya permintaan batu bara ke China didongkrak sentimen ini. Sehingga harga energi termasuk batu bara melonjak gila-gilaan satu dua tahun lalu," ujar Desmond kepada Liputan6.com, Kamis (29/6/2023).

Ia menilai, secara umum sektor transportasi memimpin penguatan. Sedangkan sektor yang mengalami koreksi adalah sektor energi dan basic material. Sebagai gambaran, sektor transportasi atau IDX sector transportation & logistic telah naik 14,37 persen pada semester I tahun ini. Sedangkan IDX sector energy susut 23,76 persen dan IDX sector basic materials susut 18,35 persen.

Sepanjang semester I 2023, investor asing membukukan aksi beli saham Rp 16,20 triliun. Kapitalisasi pasar menyentuh Rp 9.459 triliun. PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) masih mencatatkan kapitalisasi pasar saham terbesar di BEI yang mencapai Rp 1.117 triliun. Lalu disusul PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sebesar Rp 814 triliun, PT Bayan Resources Tbk (BYAN) sebesar Rp 517 triliun.

Selanjutnya PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) senilai Rp 480 triliun, dan PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) senilai Rp 396 triliun.

Di sisi lain, transaksi perdagangan merosot. Volume perdagangan saham susut menjadi 18,51 miliar saham, nilai transaksi menjadi Rp 10,34 triliun, dan rata-rata transaksi harian saham 1.184.594 kali.

 

 

Proyeksi Semester II 2023

IHSG Ditutup Melemah 0,74 Persen ke Level 6.812
Sebanyak 206 saham naik, 337 saham turun, dan 190 saham stagnan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Untuk sisa paruh kedua tahun ini, Desmod mengamati belum ada sentimen kuat yang signifikan dari dalam negeri. Ditambah, pelaku pasar akan cenderung wait and see jelang pemilu 2024.

Selain itu di paruh pertama 2023 dampak positif dari penguatan pasar saham dunia juga tidak berpengaruh pada IHSG. Di sisi lain, sentimen dari ekonomi dunia juga perlu dicermati. Ekonomi China cenderung melemah. Ekonomi AS terlihat kuat tetapi sebenarnya keropos. Sementara Ekonomi Eropa masih terganggu inflasi.

"Kemungkinan sentimen negatif ekonomi dunia bisa menjadi pemberat kenaikan IHSG. Perkiraan saya, IHSG kemungkinan cenderung sideways cenderung koreksi di paruh kedua tahun 2023. Jika terjadi koreksi, pelaku pasar disarankan mencermati level support 6.500-an. Level ini sudah sering diuji, dan secara psikologis kalau tembus ke bawah kemungkinan besar berdampak negatif pada IHSG. Saran saya lebih berhati-hati di paruh kedua 2023," tutur Desmond.

 

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya