Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) dan Indonesia masuk tahun politik membayangi instrumen investasi. Namun, sejumlah instrumen investasi ini disebut berpotensi memberikan keuntungan pada 2024.
Head of Equity Research Mandiri Sekuritas, Adrian Joezer menuturkan, pada 2024, saat the Fed berhenti menaikkan suku bunga, investasi dapat dimulai di instrumen antara lain government bonds, growth stocks, dan emas. "Itu bisa benefit,” ujar Adrian Joezer dalam diskusi bertema Jurus Investor Kejar Cuan di Tahun Politik pada Capital Market Summit & Expo 2023 seperti dikutip dari Antara, ditulis Minggu (29/10/2023).
Baca Juga
Ia menuturkan, kebijakan suku bunga tinggi masih akan bertahan untuk beberapa saat, terutama tingkat suku bunga di Amerika Serikat (AS). Akan tetapi,memasuki 2024, ada kesempatan menguntungkan pada saat bank sentral AS berhenti menaikkan suku bunga dan harapan terkait imbal hasil obligasi mulai turun.
Advertisement
Selain itu, aset jangka panjang (long duration assets) yang terefleksi dari saham-saham antara lain growth company, tower company, property company dapat memberikan keuntungan pada 2024.
Adrian menuturkan, pada 2024, kondisi defisit transaksi berjalan Indonesia akan semakin tinggi. Namun, produk domestik bruto (PDB) akan tumbuh menjadi 5,2 persen dari 5 persen pada 2023.
Di sisi lain, suku bunga acuan Bank Indonensia (BI) atau BI 7-Day Reverse RepoRate juga dapat turun sebesar 50 basis poin mulai Mei 2024. Saat ini, suku bunga acuan Bank Indonesia berada di level 6 persen.
Adrian menuturkan, melihat kondisi itu, kecenderungan pemilihan investasi saham pada kuartal terakhir dan kuartal I 2024 antara lain saham consumer staples atau kebutuhan pokok konsumen, telekomunikasi, perbankan dan komoditas.
“Jika memasuki kuartal II 2024, dengan perhitungan yang masih valid, maka investasi bisa mulai dilakukan untuk long duration assets,” ujar dia.
Mandiri Sekuritas Ramal IHSG Sentuh 7.180 hingga Akhir 2023, Ini Sektor Penopangnya
Sebelumnya diberitakan, Mandiri Sekuritas prediksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga akhir 2023 ke posisi 7.180 atau setara dengan 13,6 kali price earning (PE) ratio.
Head of Equity Research, Strategy, Consumer Mandiri Sekuritas, Adrian Joezer mencermati IHSG selama semester I 2023 masih mengalami volatilitas jika dibandingkan tahun sebelumnya. Sebab, IHSG tahun lalu memiliki kinerja yang lebih baik.
"Salah satu titik yang mengecewakannya lebih ke arah memang pemulihan pertumbuhan di emerging market tidak seperti yang diharapkan pada awal tahun ya," ujar dia dalam Mandiri Economic Outlook, Selasa (22/8/2023).
Alhasil, Mandiri Sekuritas pun merevisi target IHSG menjadi 7.180 dari sebelumnya 7.510. Revisi target IHSG ini dengan asumsi risk premium yang lebih tinggi sebesar 5 persen.
"Jadi faktor utamanya yang kami revisi lebih ke arah valuasinya. Karena, kami menaikan risk premiumnya ke 5 persen," kata dia.
Di sisi lain, ia menilai sektor perbankan akan menjadi salah satu penopang pertumbuhan IHSG. Sebab, sektor saham perbankan diyakini bakal tumbuh 16 persen dan konsumer tumbuh 34 persen. Selain itu, ada sektor saham consumer staples atau FMCG.
"Sebenarnya ada beberapa (sektor lainnya di luar perbankan dan konsumer), akan tetapi secara kontribusi market capital dan bobot indeks itu tidak terlalu besar, jadi dua sektor ini yang akan menjadi penopang," ujar dia.
Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak 0,73 persen ke posisi 6.916,45 pada penutupan perdagangan Selasa, 22 Agustus 2023. Indeks LQ45 bertambah 0,97 persen ke posisi 962,95. Sebagian besar indeks saham acuan menghijau.
Pada perdagangan Selasa pekan ini, IHSG berada di level tertinggi 6.927,44 dan terendah 6.860,68. Sebanyak 274 saham menguat dan 235 saham melemah. 239 saham diam di tempat. Total frekuensi perdagangan 1.228.400 kali dengan volume perdagangan 20,7 miliar saham. Nilai transaksi Rp 10,9 triliun.
Advertisement
Mandiri Sekuritas Ungkap Minat Obligasi Ritel Tak Kalah dari War Tiket Konser
Sebelumnya diberitakan, minat investor terhadap obligasi ritel rupanya cukup tinggi. Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas, Handy Yunianto bahkan mengatakan penjualan obligasi ritel tak kalah menarik dibandingkan perang (war) tiket konser. Dalam catatannya, penjualan obligasi ritel berlangsung lebih cepat dari penawaran yang dijadwalkan.
"Sebelumnya selalu lebih cepat. Targetnya itu lebih cepat kesampaian dibandingkan masa book building-nya. Jadi yang laris tidak hanya tiket konser, obligasi ritel juga laris," kata Handy dalam Jumpa Pers Equity and Fixed Income Markets Outlook 2023, Rabu (7/6/2023).
Secara umum, pasar surat utang atau obligasi dinilai memiliki prospek menarik di tengah sinyal suku bunga The Fed yang landai. Perkiraan arah kebijakan suku bunga ini merujuk pada tren inflasi yang juga mulai turun, sehingga Bank Sentral AS atau The Fed tak memiliki alasan kuat untuk terus menaikkan suku bunga acuan secara agresif.
"Konsekuensi dari inflasi yang turun, tekanan suku bunga berkurang. ini positif untuk pasar obligasi. Karena kalau suku bunga sudah tidak naik, biasanya yield obligasi sudah pick. Jadi kita lihat ke depannya yield akan turun berarti harga obligasinya akan naik,” ujar Handy.
Aliran Dana Investor Asing
Pada kondisi tersebut, Handy mengatakan aliran dana masuk dari investor asing juga akan tumbuh. Sebagai gambaran, asing mencatatkan net buy 67,8 triliun hingga Mei 2023. Terdiri dari net buy SUN senilai Rp 74,8 triliun dan net sell SBSN senilai Rp 7 triliun.
Ritel mencatatkan net buy Rp 22 triliun, terdiri dari ney buy pada SUN sebesar Rp 2,6 triliun dan net buy SBSN Rp 19,4 triliun. Lainnya mencatatkan total net buy 6,2 triliun, terdiri dari nervus pada SUn RP 1,5 triliun dan net buy pada SBSN Rp 4,7 triliun.
"Asing sudah masuk Rp 70 triliun. Saya pikir ini masih akan masuk lagi karena meskipun asing sudah masuk banyak, sudah relatif terhadap kondisi pre-covid level, tapi asing belum masuk semua,” imbuh Handy.
Advertisement