Liputan6.com, Jakarta Pasar saham Indonesia mengalami guncangan hebat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 3,84% ke level 6.223 dan bahkan sempat terkena trading halt setelah menyentuh level kritis 6.011 (7,11%). Kejatuhan ini terjadi di tengah penguatan bursa regional, mengindikasikan bahwa faktor domestik menjadi pemicu utama kepanikan di pasar.
Menurut pengamat pasar modal, Hendra, tekanan besar ini lebih dipicu oleh ketidakpastian kebijakan dan sentimen negatif dibandingkan kondisi fundamental ekonomi yang sebenarnya.
Advertisement
Baca Juga
“Pasar saat ini sangat rentan terhadap sentimen negatif, terutama isu-isu seperti RUU TNI yang kontroversial, rumor pengunduran diri Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, serta aksi jual brutal pada saham-saham konglomerasi seperti BREN (-11,8%), TPIA (-18,4%), dan DCII (-20%),” ungkap Pengamat Pasar Modal sekaligus Founder Stocknow.id, Hendra Wardhana kepada Liputan6.com, Rabu (19/3/2025).
Advertisement
Aksi jual asing juga sangat masif dengan net sell mencapai Rp 2,5 triliun dalam sehari, terutama di saham BBCA, BMRI, dan BBRI, sementara beberapa saham seperti GOTO dan WIFI masih mencatatkan net buy. Dari faktor eksternal, ketidakpastian kebijakan The Fed dan pelemahan rupiah ke Rp 16.425 per USD semakin menekan pasar domestik.
Secara teknikal, IHSG masih berada dalam tren turun dengan potensi pelemahan lebih lanjut ke level 5.900-6.000 jika tekanan jual terus berlanjut. Namun, jika terjadi rebound, indeks bisa menguji resistance di 6.500-6.700 menjelang kuartal ketiga, yang diprediksi menjadi momen pemulihan.
“Di tengah kekacauan pasar, masih ada peluang di saham-saham tertentu seperti ANTM dengan target 1.700, SCMA di 210, PSAB di 320, dan GOTO di 88. Jika sentimen mulai stabil, saham-saham ini bisa mencatatkan rebound yang menarik,” tambah Hendra.
Untuk menghentikan kepanikan dan mempercepat pemulihan IHSG, Hendra menekankan perlunya langkah konkret dari pemerintah dan regulator, seperti transparansi pasar dengan membuka Broker Summary, kebijakan fiskal yang lebih longgar, serta stabilisasi rupiah.
“Jika langkah-langkah ini dilakukan dengan cepat dan tepat, investor akan kembali percaya diri, dan IHSG bisa bangkit dari keterpurukan ini,” tegasnya.
Berbagai Kekhawatiran
Dengan berbagai kekhawatiran yang ada, investor perlu memperhatikan beberapa faktor penting. Keputusan BI Rate pada Rabu (19/3) menjadi salah satu hal yang krusial, karena jika Bank Indonesia memutuskan untuk memangkas suku bunga guna mendorong pertumbuhan ekonomi, hal ini berpotensi memberikan tekanan tambahan pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Meski keputusan pemangkasan suku bunga dapat diambil untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, hal tersebut dapat memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,” mengutip ulasan Tim Riset Stockbit Sekuritas.
Selain itu, efektivitas kebijakan ekonomi pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kepercayaan investor juga akan menjadi faktor kunci dalam menentukan arah pasar ke depan.
Di sisi lain, koreksi pasar saat ini dapat menjadi peluang bagi investor untuk melakukan akumulasi saham, mengingat valuasi IHSG sudah berada di level menarik, yaitu 10,5x 1-Year Forward P/E, mendekati -3 Standar Deviasi dari rata-rata 10 tahun terakhir dan hampir setara dengan valuasi di masa pandemi Covid-19.
Advertisement
Pertumbuhan Konsisten
Beberapa saham yang dapat dipertimbangkan antara lain BBCA, yang memiliki rekam jejak pertumbuhan konsisten serta manajemen risiko solid, ASII dengan kinerja tangguh berkat bisnis yang terdiversifikasi serta potensi dividen yang relatif tinggi (~8%), dan TSPC sebagai saham defensif dengan cadangan kas besar dalam dolar AS serta prospek dividen yang menarik (~8%).
Untuk mengelola risiko volatilitas pasar, investor juga dapat mempertimbangkan diversifikasi ke instrumen surat utang, seperti PBS032 yang menawarkan imbal hasil sekitar 6,23% per tahun dengan tenor sekitar satu tahun. Selain itu, ST014 (floating with floor) juga dapat menjadi pilihan, dengan masa pembelian hingga 16 April 2025. ST014-T2 menawarkan imbal hasil minimum 6,5% per tahun dengan jatuh tempo 10 April 2027, sementara ST014-T4 memiliki imbal hasil minimum 6,6% per tahun dengan jatuh tempo 10 April 2029.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, investor dapat menyusun strategi investasi yang lebih optimal di tengah volatilitas pasar saat ini.
