Liputan6.com, Jakarta Kesuksesan dan terkenal berhasil didapatkan oleh Jojon. Dirinya juga senang kerja kerasnya bersama anggota Jayakarta, membuahkan hasil. Namun, di balik semua itu ada sesuatu yang lain yang dialami oleh mereka. Ada harga yang harus dibayar untuk sebuah kesuksesan.
"Saya pernah merasa tertekan karena tidak bebas kemana-mana. Pernah suatu saat, saya mengajak keluarga jalan-jalan. Awalnya, mereka tidak mau karena takut dikerubungi penggemar saya. Tapi saya berhasil meyakinkan keluarga saya, kami pun jalan-jalan. Sampai di tempat hiburan, apa yang mereka khawatirkan terjadi. Saya dan keluarga terpisah dan harus pulang sendiri-sendiri," kata Jojon.
Suami dari Sinah Ilyas ini pun mengaku tidak mudah baginya untuk menerima kondisi seperti itu. Tapi pria kelahiran Jakarta, 6 Juni 1947 ini tidak menyalahkan penggemarnya. Setelah lama merenung, Jojon akhirnya sadar, itu bentuk penghargaan yang diberikan penggemar. Jojon juga memberikan pengertian pada keluarganya. Hasilnya, perasaan tertekan Jojon, perlahan-lahan hilang.
"Sekarang, saya bersyukur tidak setenar dulu. Saya jadi bisa makan di rumah makan lagi. Kalau dulu saya makan nasi bungkus terus," celoteh Jojon sembari tertawa.
Kiprah Jojon di dunia lawak memang akan terus dikenang. Penonton selalu menunggu saat Jojon di-'bully' oleh Cahyono dan Uuk hingga akhirnya merajuk, ngambek dan putus asa.
Pelawak-pelawak 'tradisional' umumnya mengandalkan hal itu: lawakan yang diulang-ulang namun karena dikonsep matang sejak awal sehingga tak pernah membosankan apalagi gagal memancing tawa. Dalam hal ini, Jojon setara dengan Bagio, Ateng ataupun Darto Helm.
Advertisement
Di zaman Orde Baru yang represif, di mana masyarakat hidup dalam kebungkaman yang nyaris sempurna, dan dibayangi ketakutan di bawah pemerintahan yang otoriter, pelawak-pelawak macam Jojon berdiri di barisan depan sebagai pahlawan rakyat.
Lawakan-lawakannya tak hanya bagi kesusahan hidup, melainkan juga dari kesumpekan di bawah sebuah rezim yang tak memberi ruang kebebasan bagi munculnya ekspresi dan aspirasi publik dari bawah.
Di zaman orde baru itulah Jojon sempat diisukan ditahan oleh pemerintahan Soeharto. Ceritanya, dalam sebuah pentas, Jojon memberikan tebak-tebakan. "Kalau di uang Rp 500 itu gambar monyet, kalau di Rp 50 ribu itu bapaknya monyet," ujar Jojon.
Konon gara-gara lawakannya itu, Jojon pernah dipersoalkan rezim Orde Baru. Lawakan tersebut dinilai menghina Presiden Soeharto yang saat itu masih berkuasa.
Perihal lawakan itu, sejawat Jojon yang juga komedian Deddy Gumilar alias Miing membenarkannya.
"Saya tahu joke Jojon soal uang Rp 500 dan Rp 50 ribu itu, tapi saya tidak pernah dengar Jojon berurusan dengan hukum terkait hal itu," ujar Miing di rumah duka Jojon.
Dalam lingkaran dunia lawak sendiri, Jojon juga memberi keteladanan yang langka: ia tak mabuk kesuksesan, seperti yang sering terjadi pada pelawak dan penghibur lainnya. Ia tak seperti Gepeng, yang lupa diri karena sukses, lalu terjerumus dalam gaya hidup yang tak sehat, sehingga harus "membayar kontan" dengan nyawanya.
Jojon terbilang bersih, tak neko-neko, jauh dari gosip dan skandal miring yang biasa menghampiri seorang seniman yang awalnya miskin kemudian berhasil secara materi. Seperti peran yang dilakoninya di panggung, citra Jojon sehari-hari adalah seorang yang lugu dan polos.