Sukses

Superglad, Pengusung Punk Rock yang Tak Ingin Termakan Zaman

Tema cinta secara universal yang disajikan oleh keempat personel Superglad mampu memberikan nuansa tersendiri.

Liputan6.com, Jakarta Kehadiran Superglad di kancah permusikan Tanah Air, seolah menjadi penyedap tersendiri bagi para pecinta musik rock, terutama punk rock. Tema cinta secara universal yang disajikan oleh keempat personelnya mampu memberikan nuansa tersendiri.

Terbentuknya Superglad berawal dari pertemuan antara dua personel band Waiting Room, Agus Purnomo alias Giox (bass) dan Dadi (gitar) yang berniat membentuk band baru setelah diajak oleh salah satu mantan personelnya, Lukman (vokal).

Lukman alias Luks atau yang juga akrab disapa Buluks, memilih keluar dari Waiting Room lebih awal. Akhirnya, ketiganya lalu bergabung dengan mengajak Akbar (drum) yang kala itu masih menjadi personel Betrayer.

Saat berkarya untuk pertama kali setelah terbentuk pada 2003, band asal Jakarta ini merilis sebuah EP (semacam mini album) bertajuk Laki-Laki yang hanya terdiri dari 4 buah lagu. Di saat itu juga, mereka mendapat kontrak eksklusif dengan MTV. Alhasil, Sony Music pun tertarik untuk membantu peredaran album perdana mereka, Superglad.

Karya Superglad terus berlanjut dengan album-album berikutnya seperti Ketika Hati Bicara (2005), Flamboyan (2008), Never Die (2009), dan Cinta dan Nafsu (2011). Tepat pada tahun baru 2014, Superglad merilis album Berandalan ibukota yang terdiri dari 10 lagu dengan berkolaborasi bersama 10 musisi.

Musik punk diakui menjadi salah satu acuan mereka dalam berkarya, meskipun Luks sendiri mengaku tidak ingin Superglad dicap sebagai band punk. "Saya sudah lama terjun di dunia punk sejak 1988 hingga membentuk band Antiseptic. Kini istilah punk sudah sedikit bergeser, tapi kami tidak mempermasalahkan perkembangan itu," ungkap Luks kepada Liputan6.com saat berkunjung ke SCTV Tower, Rabu (13/8/2014) sore.

"Superglad pun kini masih akrab dengan komunitas punk. Bagi kami, punk menjadi salah satu inspirasi dalam hal musik, terutama bagaimana membuat sound yang terdengar seperti studio. Karena sekarang semua serba digital, jadi musik pun hasilnya terlalu rapi. Tapi kami sendiri merasa tidak cocok disebut sebagai band punk," tambahnya.

EnamPlus