Liputan6.com, Jakarta Film yang diangkat dari kisah nyata memang selalu menarik untuk disaksikan, karena di situ terdapat gambaran mengenai apa yang pernah terjadi di atas bumi. Belakangan, sineas Hollywood merilis film Everest yang diangkat dari kejadian tewasnya para pendaki gunung pada tahun 1996 di Gunung Everest.
Tak kalah dengan film-film dari kisah nyata lainnya, Everest mampu memberikan secara detail mengenai gambaran para pendaki gunung dari titik terbawah di Nepal, hingga beberapa dari mereka menyatu untuk selamanya dengan gunung tertinggi di dunia itu.
Advertisement
Berbagai adegan dalam film ini diambil dari buku Into Thin Air: A Personal Account of the Mt. Everest Disaster karya John Krakauer. Tokoh utama yang menjadi sorotan adalah Rob Hall (Jason Clarke), pendaki asal New Zealand yang juga memimpin tim ekspedisi Gunung Everest bersama teman-temannya dalam sebuah kelompok.
Turut dimunculkan juga beberapa pendaki yang terlibat pada tahun 1996 seperti Scott Fischer (Jake Gyllenhaal), Beck Weathers (Josh Brolin), Doug Hansen (John Hawkes), Guy Cotter (Sam Worthington), Andy Harris (Martin Henderson), Yasuko Namba (Naoko Mori), Anatoli Boukreev (Ingvar Eggert Sigurðsson), hingga sang penulis sendiri, Jon Krakauer (Michael Kelly).
Baltasar Kormakur yang menjadi sutradaranya cukup mampu dalam memberikan gambaran tragedi maut ini. Ia juga tak terlalu memaksa para pemain agar melakukan akting yang terlalu emosional.
Sejak awal film, jalinan erat antara Rob Hall dengan para pendaki lainnya digambarkan secara menggembirakan. Ambisi mereka untuk bisa mencapai puncak tertinggi di tahun itu sangatlah besar, karena beberapa terkendala masalah kesehatan atau dimakan usia.
Everest memang sangat menarik bagi siapapun yang pernah dan masih berkutat di dunia pendakian gunung serta yang sudah mengetahui seluk beluk sejarah tragedi memilukan ini. Beberapa teknik pendakian pun digambarkan secara menarik dan dramatis.
Ketika syuting filmnya digambarkan di sekitar kaki Gunung Everest, kita diperlihatkan oleh keindahan panorama alam yang ada di sana. Bahkan setelah para pendaki mencapai sisi dan puncak gunung, penonton dipastikan terbawa oleh suasana filmnya dan ikut merasakan dinginnya badai gunung Everest kala itu.
Akting para pemain dalam film ini tidak digambarkan secara berlebihan, dan konfilk yang ada pun dibuat secara masuk akal. Misalnya saja perbedaan pendapat antar karakter dalam hal pribadi yang kemudian bisa mereda setelah mereka menyatukan misi untuk mencapai puncak Everest.
Beberapa adegan pun masih terlihat menegangkan, terlebih lagi bagi yang belum mengenal sejarah tragedi ini dan tidak tahu siapa saja yang selamat dan siapa yang meregang nyawa. Namun bagi yang sudah tahu sejarahnya, mungkin adegan kematian beberapa tokoh bakal sulit untuk dilupakan dari kepala.
Memiliki banyak hal luar biasa, bukan berarti film Everest tak memiliki kekurangan. Dalam memperagakan gerakan para pendaki, beberapa aktor dan aktris agak kurang maksimal saat mereka seolah berada di medan-medan berat. Sehingga, ada kesan kalau syutingnya tidak benar-benar dilakukan di sebuah gunung.
Lalu bagi beberapa pecinta film yang berharap melihat banyaknya unsur dramatis, mungkin Everest terkesan membosankan. Pasalnya, alur yang disajikan tak terlalu rumit dan fokusnya memang memperlihatkan para pendaki saat berada di puncak dan saat mereka kehilangan nyawa.
Di luar kelebihan dan kekurangannya, Everest tetap menjadi satu tontonan yang wajib disaksikan oleh para pecinta film biografi dengan bumbu petualangan, bencana, dan ketegangan (thriller). Filmnya sudah tayang di bioskop-bioskop tanah air dan layak disaksikan bersama teman maupun keluarga. (Rul/Feb)