Liputan6.com, Jakarta Masih ingat adegan dalam film The Conjuring (2013), tentang setan perempuan berwajah seram yang tiba-tiba melompat dari atas lemari? Atau adegan main sembunyi-sembunyian dengan dedemit yang menegangkan?
Jika menurut Anda dua adegan ini sudah cukup mengerikan, tunggu sampai The Conjuring 2 dimainkan di depan Anda. Menyebut sekuel yang diputar di Indonesia pada 10 Juni ini dua kali lebih menyeramkan dari pendahulunya, juga tak terlalu berlebihan.
Apalagi, seperti The Conjuring, lagi-lagi film ini diangkat dari peristiwa nyata Ed dan Lorraine Warren. Setelah menghadapi Bathsheba di Rhode Island, Amerika Serikat, kini penonton akan diteror oleh arwah gentayangan di Enfield, Inggris, yang aslinya terjadi di akhir dekade 70-an.
Advertisement
Baca Juga
Peggy Hodgson (Frances O'Connor), orangtua tunggal yang tinggal bersama empat orang anaknya, keluarga tak beruntung yang menjadi tokoh sentral dalam peristiwa ini. Semua bermula saat Janet (Madison Wolfe), anak perempuan nomor dua dalam keluarga ini, merasakan kehadiran arwah seorang lelaki tua yang mengganggunya.
Tak butuh waktu lama, gangguan yang dirasakan semakin meningkat. Tak hanya keluarga ini, para tetangga hingga polisi pun menjadi saksi mata peristiwa supranatural yang terjadi di rumah tersebut. Peneliti dan media, lantas tertarik untuk membuka tabir misteri di rumah ini.
Sementara di Amerika Serikat, Lorraine Warren (Vera Farmiga) merasa tak tenang karena ia mendapat penglihatan bahwa suaminya, Ed Warren (Patrick Wilson), akan menemui ajal di tangan setan berwujud seorang suster. Hal ini membuatnya segan untuk datang ke Enfield, saat diminta oleh pihak Vatikan untuk menyelidiki peristiwa yang dialami keluarga Hodgson.
Ada beberapa alasan mengapa The Conjuring 2 akan lebih berhasil meneror penonton dibanding film perdananya. Yang pertama, karena atmosfer kengerian telah membekap penonton sejak menit-menit awal film. James Wan, sutradara dua film horor ini, sebenarnya mencoba menerapkan hal yang sama di The Conjuring. Namun ketegangan di bagian pembuka film perdana ini terasa sangat lunak bila dibandingkan dengan yang muncul di The Conjuring 2.
Dan yang lebih menyenangkan lagi—terutama buat penggemar film horor—ketegangan di awal film ini tak berhenti hanya dalam satu adegan saja. Nyaris tanpa putus, setidaknya dalam 30 menit pertama penonton terus menerus dihantam dengan kejadian di luar nalar. Baru setelahnya , penonton bisa bernafas lega dengan kehangatan pasangan Warren dan keluarga Hodgson, sebelum kembali dihajar secara tiba-tiba dengan klimaks film.
Ini, membuat The Conjuring 2 terasa sedikit berbeda dengan film horor lain yang umumnya membangun klimaks secara perlahan-lahan. Latar kisah nyata di Enfield tahun 1977 yang memang sudah menegangkan sejak awal, terasa cukup membantu pembabakan yang tidak konvensional ini.
Suka atau tidak, James Wan memang masih mengandalkan jump scare yang mengejutkan, serupa dengan film horor yang ia tangani sebelumnya. Namun setidaknya, terasa benar James Wan makin piawai melakukan tarik ulur ketegangan dalam film ini. Ia makin sabar mengatur ritme. Secara sangat perlahan ia membangun atmosfer horor dan menaikkan tensi, sebelum mengeksekusi jump scare yang menjadi senjata pamungkas.
Penonton pun, rasanya bakal mudah tersedot dalam dunia penuh kengerian yang dibangun James Wan. Apalagi, James Wan menghadirkan tempat dan situasi yang terasa akrab bagi penonton, sehingga gampang rasanya membangkitkan ketakutan laten dalam pikiran penonton.
Ingat rasa mencekam saat menghadapi lorong yang suram atau kondisi rumah yang sepi dan gelap saat tengah malam? Hal-hal seperti ini yang dieksplorasi oleh James Wan dalam The Conjuring 2.
Jadi, jangan heran bila usai menonton film, Anda akan sukar tidur. Karena seperti yang ditampilkan dalam film ini, kamar tidur dan selimut pun bisa jadi tak sanggup membentengi Anda dari ingatan mengerikan yang ditinggalkan oleh The Conjuring 2.