Film Kutuk: Atmosfer Horor dari Wajah-Wajah Keriput Tanpa Suara

Kutuk menampilkan peristiwa beberapa malam di Panti Jompo Elena yang berdiri sejak 1970.

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Jul 2019, 17:20 WIB
Diterbitkan 26 Jul 2019, 17:20 WIB
Poster film Kutuk (Instagram/ filmkutuk)
Kutuk menampilkan peristiwa beberapa malam di Panti Jompo Elena yang berdiri sejak 1970.(Instagram/ filmkutuk)

Liputan6.com, Jakarta Kutuk memotret rentetan kejadian dalam satu lokasi. Penuturan cerita dengan satu lokasi ala Kutuk ini mengingatkan kita pada sejumlah film horor “rumahan”, seperti Danur I Can See Ghosts, Sekte, dan beberapa karya Nayato Fio Nuala alias Koya Pagayo alias Ian Jacobs alias entah siapa lagi itu.

Konsekuensi dari rentetan kejadian di satu kompleks terasa menjemukan karena lokasinya di situ-situ saja. Untuk menghindari efek jemu setidaknya dibutuhkan sinematografi bergaya, alur yang sulit ditebak, dan tentu saja akting ciamik dari para pemain. Apakah Kutuk memiliki tiga elemen ini?

Kutuk menampilkan peristiwa beberapa malam di Panti Jompo Elena yang berdiri sejak 1970. Panti ini dikelola Elena (Alice Norin) dibantu suster Gendhis (Vita Mariana). Keterbatasan dana membuat keduanya minta bantuan sukarela kepada Reno (Bryan McKenzie) jika terjadi kerusakan alat maupun listrik.

Belum lagi jika kondisi kesehatan pasien menurun, Alice mengandalkan kunjungan dokter Sean (Stuart Collin). Suatu hari, Elena kedatangan Maya (Shandy Aulia) yang melamar jadi suster baru. Kedatangan Maya ditanggapi sinis oleh Gendhis. Elena mencoba bersikap hangat dan menempatkan Maya di kamar nomor 5. 

Kali pertama menginap di panti jompo, Maya merasakan banyak kejanggalan. Di tengah deras hujan ia melihat suster berjalan ke kebun belakang panti. Tak jelas siapa suster ini mengingat di panti jompo itu hanya ada Maya dan Gendhis.

Puncaknya, saat Maya yang bangun kesiangan berpapasan dengan Nyonya Husodo (Nek Acih). Saat disapa, Husodo tak menggubris. Beberapa menit kemudian, dokter Sean menyatakan Husodo telah meninggal. Panik, Maya mencoba mengurai simpul misteri di panti jompo milik Elena.

Bertumpu pada Shandy Aulia

Film Kutuk (Instagram/ filmkutuk)
Film Kutuk (Instagram/ filmkutuk)

Naskah yang digarap intens dieksekusi di dalam rumah tua Elena. Nyaris seluruh adegan dan ketegangan dibangun di bilik-bilik panti, ruang kerja Elena, dapur, dan kamar yang ditempati tokoh utama. Kalaupun ada adegan di luar ruangan, biasanya di kebun belakang atau taman tempat para manula menghirup udara segar.

Di ruang-ruang bersekat itulah teror mengintip tokoh utama dan penonton. Mulai dari lampu yang mati-hidup sendiri, suster misterius yang berjalan ke kebun belakang, bayangan hitam yang tampak di sudut kamar, dan lain-lain.

Dengan model penuturan semacam ini, praktis cerita bertumpu pada polah pemeran utama, Shandy Aulia. Dalam Kutuk, Shandy berupaya menampilkan kepanikan, rasa penasaran, meredam ketakutan, dan tak mau mati konyol. Asyik saja melihat Shandy menampilkan emosi-emosi negatif seraya mentransfer rasa takut kepada penonton. Momen paling menakutkan, justru saat Shandy berhadapan langsung dengan dalang di balik teror.

Alice Norin Membawa Kejutan

Film Kutuk (Instagram/ filmkutuk)
Film Kutuk (Instagram/ filmkutuk)

Kutuk memberi tahu penonton bahwa sering kali, perilaku manusia lebih kejam daripada setan yang selama ini ditakuti. Selain performa Shandy yang bikin penonton ikut penasaran, kejutan lain datang dari Alice Norin. Ia tampil ekspresif. Dalam banyak momen ia tampak teduh sekaligus anggun. Di sisi lain, bikin jantung rasanya mau copot. 

Kutuk seolah melawan arus. Belakangan, sejumlah film horor menempatkan anak-anak sebagai pemeran utama. Sebut saja It dan yang masih tayang di bioskop, Child’s Play.

Dari dalam negeri kita melihat kisah sukses Kuntilanak yang tahun lalu meraup 1,2 juta penonton dan tahun ini, 1,8 juta lebih. Sebaliknya, Kutuk membangun atmosfer horor dengan menampilkan wajah-wajah keriput, nyaris tanpa daya, suara, dan riasan. Mereka lebih banyak diam. Beberapa di antaranya tak bernama dan seolah muncul di layar hanya untuk mati.

Punya Gereget Tersendiri

[Fimela] Shandy Aulia
Shandy Aulia di film Kutuk (Adrian Putra/Fimela.com)

Aura ngeri juga dibangun dari suasana panti yang muram, ornamen atau peranti jadul, adegan hujan serta kaca jendela yang berkabut. Di atas kekurangan dan kelebihannya, Kutuk tetap punya gereget. Ia punya beberapa kejutan dan secuil semangat optimistis memandang hidup lewat mulut tokoh utama.

Ada pula chemistry malu-malu yang dimainkan Shandy dan Bryan. Pertautan keduanya mampu melumerkan suasana tegang meski sejenak. Kutuk bukan horor yang sempurna tapi bisa membuat kita terjebak rasa takut di menit-menit tertentu.

Kutuk, film perdana Shandy Aulia lewat rumah produksi miliknya, Scene Avenue Movies. Wajar jika Shandy memilih genre horor sebagai produksi perdana mengingat ia pernah sukses lewat Rumah Kentang dan Rasuk. Sebagai awal, Kutuk terasa menjanjikan. Dan semoga, ke depan Shandy Aulia tak hanya memproduksi genre memedi. Bagaimana pun, namanya dikenal publik lewat tokoh Tita di komedi romantis Eiffel I’m In Love (2003).

 

 

Pemain: Shandy Aulia, Alice Norin, Stuart Collin, Vita Mariana, Bryan McKenzie, Nek Acih, Laxmi Darra

Produser: Shandy Aulia

Sutradara: Rudi Aryanto

Penulis: Fajar Umbara, Shandy Aulia

Produksi: Scene Avenue Movies, Open Door Films

Durasi: 82 menit

 

(Wayan Diananto)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya