Liputan6.com, Jakarta - Ad Astra yang diproduseri sekaligus dimainkan Brad Pitt sekali lagi membuktikan kedigdayaan akting bekas suami Angelina Jolie. Ad Astra juga mencerminkan terbatasnya pengetahuan manusia dalam memahami semesta dan pola pikir Sang Arsitek Jagat Raya. Jangankan pola pikir-Nya, mencerna sudut pandang anggota keluarga sendiri saja sulit. Ad Astra juga menambah panjang daftar kisah manusia di luar angkasa. Gravity yang memborong 7 Piala Oscar, Interstellar, The Martian, dan Passengers lebih dulu menyita perhatian kita.
Ad Astra mengisahkan Roy McBride (Brad) yang mengalami kecelakaan karena kapal antariksanya mengalami lonjakan daya. Lonjakan daya membuat sejumlah astronaut AS terpelanting dan cedera. Roy yang selamat dipanggil para petinggi Space Command (SpaceCom) Amerika Serikat. Roy dikabari bahwa lonjakan daya ini disebut Gelora, yang berasal dari Neptunus. Para ahli curiga, Gelora berkaitan dengan proyek Lima, pimpinan Dr. Clifford McBride (Tommy) yang tak lain ayah Roy. Clifford dikenal sebagai pelopor.
Clifford manusia pertama yang singgah di Jupiter, Saturnus, dan kini Neptunus. Roy diminta menyusul Clifford untuk mengecek benarkah sang ayah masih hidup. Jika ya, Roy diminta melobi Clifford menghentikan Gelora yang mengancam eksistensi tata surya. Misi ini bersifat rahasia. Roy dibuat seolah pelesir ke bulan, melipir ke Mars, lalu diam-diam terbang ke Neptusnus. Konsekuensinya, hubungan Roy dengan istri, Eve (Liv) memburuk. Di Mars, Roy bertemu Helen Lantos (Ruth). Darinya Roy tahu ada apa sebenarnya di balik proyek Lima.
Advertisement
Baca Juga
Ad Astra yang digadang-gadang jadi salah satu unggulan Oscars tahun depan memang unggul di banyak aspek. Pertama, tentu saja akting Brad Pitt. Emosi yang dikirim Brad mengingatkan kita pada aktingnya di Moneyball (2011). Tenang, menyimpan gejolak di dalam, lalu mengalirkan bulir-bulir emosi tapi tidak di semua momen. Sekalinya menemukan momen pas, kita dibuat hanyut oleh air mukanya yang “bergelombang.” Momen ia melihat angkasa dari balik kaca jendela usai terjadi sebuah peristiwa besar, misalnya.
Tengok pula bagaimana peralihan air muka Brad Pitt dari kali pertama mengirim pesan suara atas nama institusi. Lalu bandingkan saat ia mengirim pesan suara (dari ruang kapal angkasa yang sama) atas nama pribadi. Matanya yang berkaca adalah cerminan degup jantung yang tidak setenang dulu. Tak sembarang aktor bisa tetap “anggun” dengan konflik batin semenumpuk ini. Brad Pitt dalam kondisi ini dikenal jago.
Gemilang
Ad Astra gemilang juga berkat sinematografi dan pewarnaan yang mewakili karakter tiap-tiap wilayah. Tentu saja kita dibuai kesunyian yang termanifestasi oleh warna hitam berikut jutaan bintang berupa titik-titik yang berkedip genit. Detail lain tercermin dari ruang-ruang di Stasiun Ersa Mars, yang merefleksikan gradasi warna merah jingga dalam berbagai tingkatan. Sebelumnya, set lokasi bulan membiaskan warna keemasan yang terus memucat jadi perak yang ternoda oleh lubang-lubang kawah.
Karakter per wilayah dibangun hingga melintasi Saturnus dan bermuara di Neptunus yang sebiru Bumi. Namun, sifat birunya berbeda dilapisi efek visual yang membuat kita mampu mencicipi betapa dinginnya planet berkabut cincin ini. Diproyeksikan berjarak 4,5 miliar kilometer dari matahari dengan suhu minus 218 derajat Celsius, planet ini tempat yang tepat untuk membahas keterbatasan manusia, keterasingan, kesepian, emosi labil yang menjurus ke depresi.
Tommy Lee Jones tampil singkat. Dengan kerut wajah yang amat jelas, kita mudah saja berempati dan memahami mengapa ia berjarak dengan anak sendiri. Alur cerita di luar angkasa selama ini tak menyediakan banyak gambar untuk dinikmati selain ruang sempit kapal angkasa, wajah planet yang tak setiap hari bisa kita lihat, dan interaksi para pelaku. Sineas James Gray mengakalinya dengan menuturkan kisah dari sudut pandang paling personal dari sosok Roy.
Perjalanan puluhan hari untuk menjauhi Matahari dan Bumi membuat kondisi kejiwaan astronaut layaknya tentara di medan perang. Perkembangan psikologis tak hanya dilukis dari proses evaluasi kejiwaan pemeran utama tapi juga kilas balik Roy dengan sejumlah karakter yang membentuknya hingga seperti sekarang. Mayoritas tersaji dengan gambar closeup dan semicloseup. Tak semua penonton cocok dengan teknik James Gray dalam bercerita. Pun tak semua audiens nyaman dengan ritme film ini.
Sebagian penonton bisa saja merasa diuji kesabaran untuk menikmati pahitnya kesepian versi Ad Astra. Belum lagi akhir film ini tak membuat semua merasa lega. Meski demikian, harus diakui Ad Astra salah satu film dengan pernyataan sikap jelas tahun ini. Sejauh apa pun Anda menjelajah tata surta, tak ada tempat seindah “kelereng” hijau-biru bergaun awan bernama Bumi. Tak ada yang lebih menyakitkan dari jauh dari keluarga. Tak ada yang lebih melegakan dari pulang dan menatap pasangan. Puitis, dramatis, sekaligus klasik. Itulah Ad Astra. (Wayan Diananto)
Advertisement