Liputan6.com, Jakarta Minggu siang di Kafe Nongs.
Alya Nuraga datang dengan wajah semringah. "Habis pilates gue. Belum sempat mandi, jangan ngebatin gue," selorohnya sambil mencium pipiku yang kiri dan kanan. "Gue tahu ini bukan saat yang mudah, tapi gue juga tahu lo lebih kuat dari yang selama ini gue bayangkan, right?” celoteh Alya sembari duduk, meletakkan tas, lalu memanggil seorang pramusaji yang berdiri di dekat dapur terbuka.
Alya memesan fish and chip dan teh lemon dingin. Aku memesan spageti tuna dengan potongan cabai rawit dan es jeruk nipis. Kurang dari 30 menit, makanan yang kami pesan tersaji.
Advertisement
Baca Juga
"Gue enggak mau mencampuri urusan lo, Lin. Tapi isu yang beredar di kalangan arteees, lo digelari Sang Gadis Suci. Gue, sih cuek karena buat gue itu urusan pribadi masing-masing. Lo mau bergaul bebas kek, ikut kajian kek, terserah. Asal jangan saling usik aja," Alya bercerita.
"Gue enggak nyangka aja, Mbak, hubungan gue sama Aidan bakal sesingkat ini dan alasan putusnya sekonyol ini," aku merespons.
"Setiap pilihan ada konsekuensinya, Shay. Kalau lo memilih enggak mau diajak, itu bukan salah lo," Alya menyambung.
Amarah Alya
"Gue, enggak mungkin mengikuti standar pergaulan kayak kalian, kan Mbak?" kataku, kemudian mencicipi es jeruk nipis Kafe Nongs yang terkenal itu.
Saat itulah air muka Alya berubah. Ia meletakkan pisau dan garpu yang sedari tadi dalam genggaman. Mata Alya yang semula berbinar ramah menjadi tajam.
"Standar pergaulan kayak kalian? Maksud lo apa? Lo mau bilang standar pergaulan gue dan teman-teman gue lebih rendah dari lo?"
"Mbak, sorry gue enggak bermaksud..."
"Gini, ya. Standar pergaulan gue mungkin rendah. Dan gue mungkin bakal menghuni neraka," katanya, geram.
Advertisement
Alya Minggat, Aku Menyesal
Alya meletakkan setumpuk uang kertas di meja kemudian berujar, "Kalau pun masuk neraka, gue enggak kaget. Lo mungkin yang bakal kaget masuk neraka. Lo ngundang gue ke sini buat curhat tapi ujung-ujungnya balik menghakimi gue. Lo memandang pergaulan gue rendah itu berarti lo meninggikan diri. Setahu gue yang otaknya pas-pasan ini, surga bukan tempat buat orang sombong macam lo! Lo disakiti Aidan bukan berarti lo berhak menyakiti orang lain. Camkan itu," cetus Alya sembari menunjuk-nunjuk mukaku.
Ia lantas bergegas. Aku tertegun. Menyesal bukan kepalang. Mendadak selera makanku amblas. Aku memanggil pramusaji untuk minta struk, membayarnya, lalu pulang bersama Pak Kresna. Di dalam mobil aku menangis dan bertanya kepada diri sendiri dalam hati, "Kenapa aku bisa seegois dan sedepresi ini?"
Sindiran di Instagram Stories
Sampai di apartemen, Faiz menyambutku di lobi dengan muka kecut. Ia memperlihatkan tangkapan layar dari Instagram Stories Alya yang berisi kalimat, "Curhat dan nge-judge orang itu beda jauh, Nyet!"
"Setop, Lin. Kalau kayak gini terus, lo bakal kehilangan banyak teman," Faiz memperingatkan.
Aku mengangguk dengan mata berkaca. Kami meluncur ke lantai 18. Faiz siang itu datang membawa kabar tak terduga. Tiga bulan lagi, ada perayaan ulang tahun stasiun televisi swasta.
Aku diminta jadi co-host mendampingi dua presenter papan atas, Francis Adega dan Arya Pambudi. Belum pernah memandu acara berskala nasional tapi entah mengapa mendengar kabar ini aku justru merasa tertantang. Aku harus belajar bicara di depan umum agar bisa mengimbangi celotehan Francis dan Arya yang dikenal ngocol itu.
Advertisement
Good News!
"Buat gue ini good news, kenapa muka lo flat begini, sih Iz?" tanyaku tak habis pikir.
"Masalahnya, salah satu penampil di acara itu Spektra. Ada salah satu segmen di mana lo harus mengobrol dengan Aidan membahas singkat single terbaru Spektra. Lo siap?" jelas Faiz.
Inilah kabar tak terduga sebenarnya. Aku menghela napas panjang dan entah dari mana datangnya keberanian, aku menerima tawaran itu. Saat itu kupikir, sudah saatnya menghadapi kenyataan. Berhenti menyakiti diri sendiri. Bukan waktunya lagi menyakiti orang lain.
"Enggak apa-apa, Iz. Ini permintaan direktur program televisi tempat Selasih ditayangkan, kan? Sudah saatnya juga gue menghadapi masa lalu dan melihat ke depan," kataku mantap.
Faiz tampak kaget dengan keputusanku. Ia kemudian menghubungi pihak stasiun televisi dan membahas penjadwalan agar syuting Selasih dan jadwal siaran langsung tidak bentrok. Setelah itu, ia menghubungi perancang busana langgananku untuk memesan gaun lengan panjang berwarna tembaga, warna favoritku.
Jumpa Aidan
Tiga bulan kemudian...
Perhelatan ulang tahun stasiun televisi berlangsung meriah. Mengisi segmen ketiga, Spektra membawakan single anyar "Berbayang Dirinya." Usai membawakan lagu itu, aku muncul di atas panggung. Aku sendiri karena Francis dan Arya bersiap di segmen empat untuk memandu kuis yang disponsori minuman ringan. Penonton menyambut antusias. Tepuk tangan bergemuruh. Aku santai.
Maklum, tiga bulan penuh aku menyiapkan mental sambil tenggelam di dunia Selasih yang makin rumit. Melihatku naik panggung, Aidan tersenyum. Ah, senyuman itu! Tapi tidak. Senyuman itu pula yang melemparkanku dari tebing nelangsa ke dasar jurang patah hati.
"Pemirsa, kita beri tepuk tangan untuk Spektra!" pekikku disongsong histeria penonton.
"Single anyar 'Berbayang Dirinya' langsung jadi lagu wajib putar di ratusan radio se-Indonesia, congratulation Spektra. Kabarnya akan masuk di album terbaru yang akan rilis awal tahun depan?" tanyaku kepada Aidan.
"Ya, akan muncul di album baru Spektra yang berjudul Ambang Fajar, awal tahun depan," jawab Aidan lalu tersenyum.
"Lagu 'Berbayang Dirinya' ini bercerita tentang apa, sih?" tanyaku mengikuti petunjuk dalam kartu pedoman presenter.
"Ini tentang laki-laki yang memulai hidup baru namun sebenarnya belum bisa melupakan mantan," Aidan berterus terang.
Advertisement
Selamat Buat Aidan
"Eaaaaaa!" sorak para penonton yang mengepung panggung. Sial! Aku syok berat. Jujur, aku belum pernah mendengar "Berbayang Dirinya" dan memang tak sudi lagi mendengarkan lagu-lagu Spektra setelah Aidan putus denganku. Tapi aku tak kurang akal.
"Melupakan mantan atau melupakan para mantan?" candaku, menimpali jawaban Aidan.
Tak disangka penonton terpingkal. Aidan salah tingkah. "By the way selamat ya, Aidan untuk kehamilan Syahdu. Semoga si kecil dalam perut ibu sehat dan persalinan nantinya lancar," aku melanjutkan obrolan.
"Oh, thank you, Lintang," sahutnya singkat.
"Semoga kamu jadi ayah yang hebat. Dan kalau bayinya cewek, jangan jadi ayah yang overprotective, ya? Jangan jadi CCTV berjalan."
"Oh... em..., terima kasih," kali ini Aidan tampak kikuk. Penonton terdiam.
"Tepuk tangan sekali lagi untuk Spektra," pintaku pada penonton lalu menyambung, "Dan sekarang kita bergabung dengan Francis-Arya yang sudah siap buat bagi-bagi hadiah jutaan rupiah!"
Turun Panggung
Begitu lampu meredup, aku turun panggung dari sayap kanan. Sementara personel Spektra turun dari sayap kiri. Aidan menyusulku.
"Tahu dari siapa Syahdu hamil?" tanya Aidan yang membuntutiku di belakang.
"Lihat di Instagram Stories Syahdu. Kami, kan saling follow," jawabku dengan tatapan lurus ke depan.
"Syahdu enggak pernah dan enggak mungkin bilang di medsos kalau dia sudah hamil," Aidan mencecar.
"Lo pikir gue enggak bisa bedain cewek hamil trimester kedua atau enggak? Dan kalau Syahdu belum hamil ngapain lo bilang thank you di panggung tadi?"
Aidan diam. Sementara aku terus bergegas menuju ke ruang rias, mau ganti baju, untuk mendampingi Francis dan Arya di segmen 5. Faiz yang menunggu di ruang rias tampak syok.
Advertisement
Terima Kasih Untuk Doa Baik
Mata Faiz tak henti menatapku. Penata rias dan rambut langgananku, Lesita dan Judy, bengong melihatku masuk ke ruang rias dengan santainya.
"Kenapa kalian bengong? Mau membahas aku menyelamati Syahdu hamil?" tanyaku seraya menghadap cermin. Suasana senyap. Faiz buru-buru menyiapkan baju untuk segmen 5. Saat itulah Aidan masuk ke ruang rias, persis saat aku hendak ganti baju.
"Sorry, gue ke sini cuma mau bilang, thank you buat doa baiknya di panggung tadi," tutur Aidan dengan menatapku. Faiz, Lesita, dan Judy tampak bengong lalu saling pandang.
"Kalau buruk, bukan doa namanya," jawabku sambil melepas anting.
"Ya, doa lo tadi doa baik. Meski terasa menusuk jantung dan ulu hati," Aidan membalas.
"Sejak kapan doa baik terasa semenyakitkan itu? You are welcome, Aidan."
Aidan menunduk, perlahan ia silam dari ruanganku. Aku masuk ke ruang ganti, menghadap cermin. Di cermin, kulihat diriku tersenyum.
(Tamat)
Anjali L
Disclaimer:
Kisah dalam cerita ini adalah milik penulis. Jika ada kesamaan jalan cerita, tokoh dan tempat kejadian itu hanya kebetulan. Seluruh karya ini dilindungi oleh hak cipta di bawah publikasi Liputan6.com.