Liputan6.com, Jakarta Mendengar Nani menangis dan belum mengucap sepatah kata pun, aku sudah deg-degan. Apalagi saat ia mengabarkan, kediamanku dilempari batu oleh orang-orang tak dikenal. Mataku tiba-tiba berkunang-kunang. Kepala pusing. Dengkul lemas. Keringat dingin seketika menetes. Padahal di luar kedai kopi, hawa dari pendingin ruangan masih terasa. Aku memikirkan beberapa hal.
Pertama, aku harus berpikir bagaimana caranya pamit dengan Tasya tanpa menimbulkan kecurigaan sedikit pun. Mengingat di antara anggota arisan Monokrom, Tasya paling kritis kalau tak mau dibilang penuh selidik. Kedua, sopirku pasti tahu karena Nani apa-apa curhat ke dia. Aku sebagai nyonya rumah harus tampak tenang dan menguasai keadaan.
Advertisement
Baca Juga
Ketiga, bagaimana menghubungi Pak Janu dan menceritakan kondisinya? Ya Tuhan, kenapa masalah ini harus muncul persis di saat suasana hatiku baru saja pulih, sih? Untuk sesaat setelah mematikan ponsel, aku menarik napas panjang beberapa kali. Setelah agak tenang, aku masuk ke kedai kopi.
Bayangan Orang di Belakang Rumah
Pandangan Tasya mengikutiku dari sejak aku masuk ke kedai kopi hingga duduk di hadapannya. Kuseruput minuman dan kusantap kudapan di piring kecil. Setelah menyantap dua potong buat pantas-pantas barulah aku mulai membuka obrolan dengan Tasya. Sebisa mungkin suaraku tak terdengar gugup.
"Are you oke, Vit?" Tasya membuka obrolan dengan mata tetap mengikuti pergerakan tubuhku.
"Oh, ya. Semua oke. Cuma Nani pembantuku panik ada bayangan orang di belakang rumah. Dia, kan parno-an. Makanya nelepon ngakunya melihat maling. Nyebelin sih, dia," jawabku sembari melakukan kontak mata ke Tasya.
"Aduh, yang kayak begini, nih ngerusak mood. Lo mau pulang, aja? Buat ngasih rasa aman ke pembantu, lo?"
"Eeemh... kayaknya, ya, deh. Daripada-daripada," sahutku sambil menyeruput kopi pahit, yang malam ini benar-benar terasa pahit.
"Ya sudah, yuk, cabs!" kata Tasya sembari beranjak dari kursi dan menjinjing 6 tas berisi barang belanjaan. Kami lantas berpisah di lobi.
Advertisement
Ruang Tamu Kacau Balau
Di dalam mobil, aku berdiam diri. Tak mau memulai pembicaraan dengan Seto. Meski aku tahu persis, Seto beberapa kali melirikku dari kaca yang bertengger di area depan mobil. Aku hanya diam sembari menghubungi Pak Janu lewat WhatsApp. "Mas, aku mau kamu ke kediaman kita sekarang. Pokoknya gawat dan aku perlu merasa aman. Cuma kamu yang bisa bikin aku merasa aman sekarang," tulisku lalu kupencet tombol kirim.
Dalam hitungan detik, Pak Janu membalas pesanku. Dia akan tiba dalam satu jam. Tiba di kediaman, Nani menyambutku dengan mata sembap. Sementara Seno selonjoran di teras dengan jidat diperban. Aku kemudian masuk ke ruang tamu dan mendapati kondisi kacau balau.
Beberapa serpihan beling belum dibersihkan. Mau mengamuk rasanya, tapi melihat wajah Nani ketakutan membuatku tak tega. Beberapa batu berserakan di teras hingga ruang tamu. Nani mendekatiku dan menyerahkan sebongkah batu. Aku masih belum paham dengan maksud Nani memberiku batu sebesar kepalan tangan orang dewasa.
Kepala Rasanya Mau Pecah
“Enggak sekalian kamu kasih saya pecahan beling?” tanyaku pada Nani dengan nada tinggi. Nani tak menjawab, hanya memperlihatkan bahwa batu itu diikat dengan selotip dan di bawahnya terdapat kertas kecil. Sampai di sini aku baru paham dan jantungku makin berdegup kencang. Nani beringsut ke dapur. Aku membuka perlahan selotip dan menguak kertas putih yang terlipat.
Dan ternyata berisi kalimat, “Halo pelacur, eh, pelakor…” Mendadak mataku terasa berat dan basah. Aku masuk ke kamar dan menangis sejadi-jadinya. Beberapa menit kemudian pintu kamarku diketuk. Seseorang memanggilku dan aku tahu persis siapa dia. Pintu kubuka, Pak Janu masuk dan menenangkanku. Bukannya bahagia, saat itu pikiranku justru memetakan sejumlah kemungkinan hingga akhirnya musibah ini terjadi.
“Kamu ke sini sama siapa? Kalau sama sopir, apa sopirmu bisa dipercaya dan enggak melapor ke Parvati? Atau jangan-jangan selama kamu ke sini, kamu ceroboh dan enggak sadar ada yang membuntuti dari belakang, Mas?” tanyaku, menahan emosi.
“Kamu diam dulu di kamar,” kata Pak Janu lalu bergegas ke dapur. Aku meringkuk di kasur. Air mata masih menggenang, kepala rasanya mau pecah.
Advertisement
Akhirnya Amarahku Meledak
Beberapa menit kemudian, Pak Janu kembali. Ia mengabariku bahwa Nani, Seto, dan Seno sudah berangkat naik taksi online menuju ke sebuah hotel bintang empat di Jakarta Selatan. Mereka menginap di sana selama beberapa hari sampai situasi kondusif. Pak Janu duduk di sofa dekat jendela kamar.
Aku memberinya batu berisi pesan tanpa nama. Membaca pesan itu, muka Pak Janu memerah dan termenung sejenak. Pak Janu lantas menyalakan ponsel. Aku bertanya-tanya apa yang dilakukannya. Suasana hening beberapa menit ini membuatku makin keki dan akhirnya amarahku meledak.
“Kamu dari tadi diam bukannya menenangkan aku. Ngomong sesuatu, kek biar aku tenang. Kalau kamu datang ke sini cuma buat mengamankan para pembantu lalu diam mending kamu enggak usah datang sekalian, Mas!” bentakku sambil berurai air mata.
“Sudah? Kamu sudah merasa baikan sekarang? Kamu ngamuk sampai tetangga di blok sebelah dengar pun enggak akan bikin keadaan membaik. Aku lagi pesan kamar hotel bintang 5 supaya kamu bisa tinggal di situ sampai kondisi aman!” jawab Pak Janu dengan emosi tak kalah tinggi.
Mengontak Geng Arisan Monokrom
“Aku enggak mau tinggal di hotel, aku mau menelepon anak-anak Monokrom,” ujarku.
“Kenapa enggak sekalian saja kamu menelepon Parvati dan bilang mau tidur sekamar dengannya!”
“Kok kamu ngomongnya begitu, sih Mas? Mereka itu sahabat-sahabat aku,” sahutku.
“Heh, aku bukan produser kemarin sore. Jangan kamu pikir aku enggak kenal teman-temanmu termasuk si Tasya itu. Kamu kaya, mereka berteman. Kamu melarat, mereka pura-pura enggak kenal,” ucap Pak Janu sembari menunjuk-nunjuk mukaku.
“Aku tahu sebelum aku datang, kamu sudah mencoba menelepon atau chat beberapa anak Monokrom, kan? Sekarang aku tanya, sudah ada yang mengizinkan kamu menginap di sana setidaknya buat malam ini, enggak? Jawab!” kata Pak Janu, lagi.
Advertisement
Aku Merasa Sebatang Kara
Deg. Aku baru sadar. Tasya tak membalas. Miranda yang sempat kutelepon dalam perjalanan pulang mengaku suaminya sakit. Violeta Sasmita sedang ke luar negeri. Yang lain hanya membaca pesan tanpa membalas. Untuk sesaat aku merasa sebatang kara. Suasana arisan yang hangat tiba-tiba tak berbekas.
Pak Janu berkukuh mengirimku ke hotel bintang lima di kawasan Senayan. Aku menolak karena Pak Janu tak bisa menemaniku malam ini. Dan aku tak mau sendiri. Malam itu aku kepikiran Trika. Entah Trika dan suaminya mau menerimaku atau tidak, pokoknya aku mau balik ke rumah kontrakan. Pak Janu semula tak mau menuruti mauku. Masa bodoh. Pokoknya aku mau ke rumah kontrakan, naik ojek online.
Singkat cerita, aku sampai di rumah kontrakan. Kubawa barang-barang yang bisa kubawa. Kembali ke rumah kontrakan lewat tengah malam, rasa malu dan harga diri kubiarkan remuk. Setelah 10 menit mengetuk, akhirnya pintu terbuka.
Trika masih mengenakan mukena. Tampaknya baru selesai salat tengah malam. Ekspresinya datar. Ia membiarkanku masuk. Hal pertama yang kulakukan setelah masuk ke rumah kontrakan dan duduk di ruang tamu adalah menangis. Trika bergegas ke belakang.
Setelah Megap-megapku Hilang
Lima menit kemudian ia kembali dengan teh manis hangat. Trika tetap diam. Membiarkanku menangis sampai tuntas. Setelah megap-megapku hilang, barulah kami memulai obrolan.
“Gue ini pelakor, Tri. Tadi rumahku dilempari batu. Ada pesan di salah satu batu itu, isinya halo pelakor. Gue enggak menyangka kejadiannya bakal secepat ini. Gue minta maaf sama lo, sama Rasyid. Gue memang kampungan. Baru kaya beberapa bulan udah lupa sama tempat asal. Terserah lo mau maafin gue apa enggak yang penting gue tulus minta maaf sama lo dan Rasyid,” tuturku lalu mewek lagi.
Trika memelukku dan mengusap punggungku. Mencoba menenangkanku. “Gue sahabat lo. Gue dukung semua putusan lo. Meski salah sekalipun gue hargai pilihan lo. Saat lo jatuh, tugas gue bukan bilang, ‘Tuh, kan! Gue bilang juga apa?’ Tugas gue sebagai sahabat, mengulurkan tangan supaya lo bangkit lagi, Vit,” Trika membisik persis di telinga kananku. Aku makin keras menangis.
Usai melewati menit-menit yang emosional, kami terdiam. Aku menghabiskan teh manis hangat lalu memecah keheningan dengan memulai obrolan. “Sorry gue sempat ngeblock IG lo ya, Tri,” aku membuka obrolan.
Advertisement
Kelam Kini Menghantui...
“Santai. Gue tahu lo lagi emosi,” jawabnya.
“Tapi ngomong-ngomong lo puitis juga, ye. Status lo yang: kelam kini menghantui kucari sepi hidupku. Keren. Kenapa lo enggak bikin buku berisi kumpulan puisi aja sih, Tri?”
“Itu bukan puisi. Itu lirik lagunya Andien, judulnya ‘Detik Tak Bertepi.’ Yang bikin almarhum Elfa Secioria dan Mbak Ferina, Vit.”
“Desperate banget liriknya, Tri.”
“Iya, itu soal kesedihan karena ditinggal mati pasangan atau orang tercinta.”
“Astagfirullah, amit-amit. Jangan gitu ah, Vit. Ingat ya, beberapa seleb kayak Mbak Irianti Erningpraja, Reza Artamevia, dan KD, tuh pernah bilang kalau lirik lagu itu kayak doa. Kalau dinyanyikan sungguh-sungguh khawatirnya jadi kenyataan. Hapus Tri, amit-amit! Kamu ini apa-apaan, sih?” aku mengomel sambil mengecek Instagram Tri.
“Memang sudah kejadian, Vit. Sebelum aku bikin status teks itu, memang sudah kejadian,” kata Tri dengan mata berkaca.
“Ya Allah… Tri, ya Allah…”
(Bersambung)
(Anjali L.)
Disclaimer:
Kisah dalam cerita ini adalah milik penulis. Jika ada kesamaan jalan cerita, tokoh dan tempat kejadian itu hanya kebetulan. Seluruh karya ini dilindungi oleh hak cipta di bawah publikasi Liputan6.com.