Liputan6.com, Jakarta Malam itu aku seperti ditampar dari dua arah. Pertama, ditampar dengan batu berisi pesan yang aku yakini dari Parvati. Istri sah Pak Janu, yang aku sendiri tak tahu wajahnya seperti apa. Lebih baik aku ditampar dengan tangannya dan dilabrak dengan makian, daripada dengan cara seperti ini.
Dilabrak oleh orang yang aku tak tahu dia sebenarnya di mana dan sedang apa. Dilabrak dengan teror yang menciptakan efek kejut selama serjam-jam. Setelah itu, kejut bermetamorfosis menjadi rasa takut yang mengendap di pikiran. Perlahan endapan takut itu menetes ke hati, menciptakan sensasi tak nyaman. Aku pernah tak nyaman dengan perlakuan seseorang, tapi rasa tak nyaman kali ini beda.
Advertisement
Baca Juga
Kedua, ditampar sahabat sendiri dengan cara tak kalah menyakitkan. Malam itu barulah aku sadar. Saat aku datang ke rumah kontrakan untuk menyerahkan uang kondangan, Trika mengenakan kaus hitam lengan panjang dengan bawahan rok warna senada. Rupanya itu baju perkabungan. Pernikahan Tri berlangsung dalam hitungan hari. Trika dari dulu memang dikenal pintar menyimpan rahasia. Itu sebabnya aku nyaman curhat padanya. Banyak cowok yang nyaman dengannya. Rasyid, salah satu yang beruntung mendapatkannya.
Menangis Tanpa Air Mata
Tri, aku benar-benar sahabat yang buruk. Semalaman itu aku tak bisa tidur. Kepikiran batu yang diserahkan Nani. Kepikiran Tri. Saking kepikiran, aku melek sampai subuh. Tri tahu aku tak bisa tidur di kamar sebelah. Ia sengaja tak membangunkanku.
Alih-alih, ia menjerang air, memasak, dan dari aromanya aku tahu dia bikin sayur asem kuah keruh, sambal terasi, dan telur dadar berisi irisan cabai rawit dan bawang putih. Itu favoritku. Menyadari ini, aku menutup muka dengan bantal dan menangis sesenggukan.
Setelah semua malapetaka ini, aku kembali kepada Trika. Bukan cewek-cewek Monokrom. Usai menangis beberapa menit, pintu kamarku diketuk kemudian terbuka. Tri mengintip dari balik pintu dan tersenyum. Ya Allah, semalaman itu aku tak melihatnya menangis. Mungkin ini yang disebut Kang Armand Maulana menangis tanpa air mata di lagu “Cinta Terakhir.”
Advertisement
Aku Kecewa Kepada Diriku Sendiri
“Sarapan, yuk. Hati boleh sedih, tapi perut harus tetap diisi. Masa ya kita berdua sakit hati dan fisik. Sakit boleh tapi jangan dua-duanya,” ucap Tri sambil masuk ke kamar, menarik selimutku, melipatnya dengan rapi, lalu meletakkannya di dekat telapak kakiku.
“Lo kapan nangisnya, sih Tri? Gue enggak melihat lo sedih atau menangis sepanjang malam tadi,” tanyaku, keheranan.
“Kalau lo nangis, gue nangis, terus siapa yang menenangkan? Kita ini sahabatan. Satu nangis, yang lain mesti tenang,” jawab Tri kemudian berdiri dan membuka tirai jendela. Sinar matahari pun perlahan menerangi kamarku.
Kami kemudian sarapan. Dalam kondisi belum mandi. Ponsel yang kuletakkan di sisi kiri menyala. Ada notifikasi pesan WhatsApp atas nama Janu Haridra. “Kamu apa kabar?” tulisnya. Aku diamkan. Jujur, aku kecewa padanya. Kecewa pula pada diri sendiri. Aku hanya ingin menikmati momen dan menebus dosa terhadap Tri.
Tinggalkan Jakarta
Sampai detik ini aku tak berani bertanya lebih detail soal Rasyid. Tri bukan tipe yang senang dikorek. Ia akan bercerita di waktu yang dirasanya tepat. Pagi itu, kami malah mengobrol soal rencana kami wisata kuliner ke luar kota yang hingga kini tak pernah terwujud. Di tengah obrolan, Pak Janu menelepon.
“Enggak balas WhatsApp. Kamu masih marah sama Mas?” tanyanya dari ujung telepon.
“Aku lagi sarapan sama Tri. Ada apa?” jawabku datar. Sedatar televisi plasma 32 inci yang bertengger di ruang makan rumah kontrakanku dan Tri.
“Mas punya ide, lebih baik kamu tinggalkan Jakarta, kuliah di luar kota atau kalau perlu luar negeri. Kita tunggu sampai situasi kondusif. Dalam waktu dekat Parvati akan keluar kota selama beberapa hari menengok keluarga. Saat itulah, nanti Mas susul kamu,” sambungnya.
“Terserah kamu saja, aku lagi malas mikir. Yang jelas, minggu depan aku mau ke Surabaya. Entah sampai kapan, pokoknya enggak pengin di Jakarta dulu,” aku menjawab.
“Ya sudah. Mas mengerti. Kabar-kabaran kalau ada apa-apa. Hati-hati.”
Advertisement
Aku Ingin Jadi Aku Yang Dulu
Telepon kututup. Lalu membantu Tri mencuci piring di dapur.
“Tri, akhir pekan ini kita ke Surabaya, yuk? On me,” aku mengajak Tri.
“Hah? Dadakan banget, Vit?”
“Pertama, mewujudkan mimpi zaman jebot yang belum terwujud. Kedua, sebagai permintaan maafku. Ketiga, lo harus terima permintaan maaf gue karena ini pakai tabungan hasil gue syuting. Bukan transferan suami orang. Deal?”
Trika terbahak lalu mengusap mukaku dengan telapak tangannya yang penuh busa. Aku tertawa tapi kemudian mewek.
“Tri, gue mau jadi diri gue yang dulu,” kataku dalam hati.
Jumat pagi, aku dan Tri meluncur ke bandara Internasional Soekarno-Hatta Tangerang, Banten, dengan taksi online. Mendarat di Terminal 3 kami langsung check in. Aku memilihkan kursi dan langsung bergegas ke ruang tunggu eksekutif. Tri tampak bengong.
Don’t Like People Difficult
Dalam hitungan menit, petugas memberi tahu bahwa kami diizinkan masuk belakangan setelah mayoritas penumpang kelas ekonomi masuk. Mendengar pemberitahuan ini barulah Tri sadar bahwa aku membelikannya kursi kelas bisnis. Ia mendelik sambil memandangiku. Aku, sih pura-pura enggak melihatnya dan main ponsel. “Ini tuh perjalanan jarak dekat, lo. Enggak harus kelas bisnis kali, Vit,” ucapnya berbisik.
“Ayolah Tri, don’t like people difficult,” sahutku santai.
“Hah? Maksud lo, Vit?”
“Jangan. Kayak. Orang. Susah.”
Tri tertawa sambil menutupi mulutnya. Masuk ke dalam pesawat, kami berdua duduk paling depan. Setelah mereguk welcome drink, Tri melontarkan pernyataan yang nyaris bikin aku keselek. “Kita duduk paling depan sendiri bukan berarti kita nyampai di Surabaya duluan kan, Vit?”
“Boooo, boleh enggak nyinyirnya habis take-off?”
Lagi-lagi kami terbahak.
Advertisement
Meninggalnya Rasyid
Setelah pesawat lepas landas, sambil menarik selimut, barulah Tri bercerita soal Rasyid yang meninggal karena tabrak lari. Tri terlanjur undur diri dari perusahaan tempat ia bekerja atas permintaan almarhum. Uang kontrak rumah sudah dilunasi Rasyid sampai setahun ke depan.
Ia juga menguras tabungan untuk membeli rumah di Bali dan tanah seluas 250 meter di Karanganyar, Jawa Tengah. Rencananya, dua properti itu hendak dijadikan Rasyid tempat untuk menua bersama setelah anak-anak dewasa. Rasyid berencana, Tuhan yang menentukan.
Yang membuat aku merinding, Tri menceritakan itu dengan mata berkaca. Suara parau. Namun air mata tak menetes. Di situlah aku melihatnya setegar karang. Aku tak ada apa-apanya. Satu kisah Tri tuntas, pesawat bersiap mendarat. Kudapan yang dihidangkan pramugari pagi itu, buru-buru kami habiskan. Aduh, kisah Tri jauh lebih menarik ketimbang sajian awak kabin. Mohon maaf.
Kami mendarat tepat jam 8.55. Keluar dari pesawat, kami dijemput supir yang kusewa untuk 12 jam ke depan dari aplikasi perjalanan wisata. “Sesuai rencana, sebelum ke hotel kita mampir kulineran dulu ya, Mbak?” tanya supir yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Prasetyo.
“Mau dipanggil Mas Pras atau Mas Tyo?” tanyaku. Belum sempat Prasetyo menjawab, langsung kusela, “Oke, Mas Tyo aja. Antar kami ke Kapasan, nasi goreng krengsengan.”
Siapa Yang Melacak Kediamanku?
“Lo nyebut krengsengan, gue langsung lapar Vit,” celetuk Tri sambil menyalakan Google Maps. Tiba di rumah makan, kami langsung bersantap.
Gusti, entah kenapa nasi goreng krengsengan ini enak banget. Tyo yang menanti di mobil kuhadiahi nasi goreng krengsengan porsi besar dan air mineral dingin. Ia tampak syok. “Ya ampun Mbak, ini porsi kuli?” cetusnya.
“Harus dihabiskan dan enggak boleh ngantuk,” kataku sambil menutup pintu mobil. Kami menuju hotel. Saat itulah Pak Janu meneleponku. Sebenarnya malas mengangkat, tapi mengingat dari pagi kudiamkan pesan WhatsApp-nya, ya… aku tak bisa menghindar lebih lama lagi.
“Vita sayang. Kamu masih marah sama, Mas?”
“Enggak. Siapa yang marah?”
“Mas punya ide. Dulu kamu bilang ingin kuliah psikologi? Kamu tinggal tunjuk mau di kampus mana, nanti Mas atur agar prosesnya bisa sesimpel mungkin. Anggap ini permintaan maaf Mas. Jujur, Mas baru kali ini melihat kamu ketakutan sampai segitunya. Soal arisan, Mas sudah tunjuk orang untuk membereskan.”
“Mas sudah tahu siapa yang melaporkan lokasi kediaman kita ke Mbak Par?”
“Masih Mas lacak. Yang jelas, Nani, Seto, dan Seno bersih. Sudah diinterogasi. Supir pribadi dan asisten pribadi Mas juga bersih.”
Advertisement
Yogyakarta atau Surabaya
Aku memilih Surabaya atau Yogyakarta sebagai tempat kuliah. Dengan pertimbangan, dari dua kota itu aku bisa ke Jakarta dengan mudah untuk menemui Tri. Pun jika tahun depan, Tri menetap di Bali atau Karanganyar, aku bisa mengaksesnya dengan mudah dari Kota Gudeg maupun Kota Pahlawan. Aku benar-benar tak mau kehilangan sahabat seperti Tri. Dia tahu semua tentangku, begitu pula sebaliknya.
Lagi pula hal semacam ini tak mungkin kuceritakan ke orang tua termasuk adikku. Dalam perjalanan menuju hotel, aku membuka Instagram. Akun gosip bibir julid mengunggah foto penangkapan aktor muda ganteng yang tersangkut narkoba. Baru 12 menit diunggah, 11 ribuan orang mengirim tanda hati. Ratusan warganet yang budiman berkomentar. Sebagian besar berisi caci maki.
“Aduh, netizen negara ber-flower dengan kode +62 ini, ya? Paling jago mengomentari kehidupan orang lain. Apalagi kalau dikait-kaitkan dengan agama,” keluhku.
“Babang ganteng ketangkep karena ganja, ya?”
“Ho oh, Tri.”
Dalam perjalanan sambil membunuh waktu, iseng kubaca satu demi satu komentar mereka, di antaranya:
“Aduh, Abang, kenapa harus ganja, sih Bang?”
“Sayang, aku patah hati baca berita ini.”
“Abaaaaang! Kalau ada masalah pribadi curhat ke aku aja!”
Komentar Warganet
Duh, komentarnya sok kenal, sok dekat. Males! Masih dalam perjalanan ke hotel, aku melanjutkan membaca komentar. Tri asyik merekam perjalanan dari balik kaca jendela mobil lalu diunggah di Instagram Stories. Ada komentar yang bikin aku penasaran. “Kayak enggak tahu kehidupan artis aja. Yang ganteng kalau enggak PK, ya ngedrugs. Yang cantik kalau enggak berbakat banget ya jadi simpenan produser. Kan anj***!!!”
Sampai di sini, aku tercekat dan berhenti menelusuri komentar. Aku mengetuk akun orang tersebut. Namanya (sebut saja) jojo_beraksi. Jojo. Kok aku merasa familier? Makin penasaran, kubuka akunnya yang ndilalah tidak digembok. Nama pemilik akunnya, Johan Cakra Haridra. Keterangan profilnya, Jojo, mahasiswa tingkat akhir, dan suka duka jadi si sulung. God, da*n it!. Mengamati beberapa fotonya, aku ingat betul cowok muda nan ganteng ini.
“Ini Jojo. Si anak magang yang meliputku seharian dari rumah dan mengikutiku promosi film Perempuan di Permakaman beberapa bulan lalu,” ucapku dalam hati. Beberapa detik kemudian aku tersadar. “Ya Allah, nama belakangnya Haridra?”
(Selesai)
(Anjali L.)
Disclaimer:
Kisah dalam cerita ini adalah milik penulis. Jika ada kesamaan jalan cerita, tokoh dan tempat kejadian itu hanya kebetulan. Seluruh karya ini dilindungi oleh hak cipta di bawah publikasi Liputan6.com.
Advertisement