Liputan6.com, Jakarta BNPP selaku entitas yang mengoordinasikan pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan, senantiasa mendorong jajarannya yang bertugas di pintu gerbang negara untuk terus responsif dan mempunyai empati.
Kegelisahan yang sama dengan yang dirasakan masyarakat perbatasan. Apalagi mengingat 2 tahun ini aktifitas ekonomi di kawasan perbatasan sangat terdampak karena pandemi Covid-19.
Hal itu dilakukan dalam rangka menyikapi kondisi terkait perlintasan batas negara pada konteks pemenuhan kebutuhan ekonomi, berfungsi sebagai “jembatan penghubung” bagi warga negara di kawasan yang saling bertetangga.
Advertisement
Kepentingan untuk mencukupi kebutuhan hidup dengan saling bertukar komoditas barang bukanlah hal baru di kawasan perbatasan, termasuk di Entikong, kawasan perbatasan Indonesia yang berbatasan darat dengan Malaysia.
Menjelang HUT NKRI yang akan memasuki 77 tahun, tentu saja upaya pembenahan penanganan lintas orang dan barang melalui jalur perlintasan antar negara terus dilakukan.
Warga yang tinggal jauh di perbatasan negara tidaklah mengalami pergerakan cepat dari sisi ekonomi seperti Jakarta ataupun kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Baca Juga
Masih ke Negara Tetangga
Potret kondisi faktual warga perbatasan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menunjukan masih tergantungnya hidup mereka dari sisi ekonomi secara masif ke negara tetangga.
Penutupan perbatasan antar negara pada saat itu menjadi pemicu bertumbuhnya penggunaan Jalur Tak Resmi (JTR) yang berada di sepanjang perbatasan antar negara.
Sementara di sisi lain, roda ekonomi masyarakat terhadap barang kebutuhan tidak mungkin ditutup dengan tetap bergantung pada negara tetangga.
Advertisement
Belum Tersentuh
Namun keberadaan JTR ini juga disinyalir karena masyarakat yang masih kurang mendapatkan sosialisasi proses resmi perlintasan. Sehingga warga terkesan dijadikan sasaran mendapatkan uang jasa yang signifikan.
Hal senada diamini oleh Kepala Dusun Tapang Peluntan, Desa Sungai Tekam, Kecamatan Sekayam, Mandra. Mandra menyampaikan warganya yang berdomisili di Camp Jangkang jarang sekali tersentuh oleh informasi apapun dari luar Camp mereka. Sehingga mereka lebih terbiasa berbelanja ke negara tetangga meski menggunakan jasa titip.
“Warga kami ini memanglah jarang tersentuh. Paling mereka hanya berkawan orang luar ya dengan bapak-bapak TNI yang di pos saja. Tapi karena rata-rata dapat jaminan dari Kilang bekerja, jadi tak payahlah lewat-lewat saja oleh bapak-bapak TNI," ujarnya.
"Kalau kita belanja ke Balai (Balai Karangan) telalu jauh, habis masa 2 sampai 3 jam. Jika ke sebelah bisa Cuma 1 jam atau kurang. Kalau kita takut karena tak punya surat, kita bisa titip dengan orang-orang kilang dan bagi mereka tips kan,” ia melanjutkan.
Malah Jadi Jalan Keluar
Bagaikan buah simalakama, JTR (Jalur Tak Resmi) tentu saja salah dipandang dari segi hukum maupun kedaulatan negara.
Namun jika dilihat dari sisi geografis dan humanisme, meski tak bisa menyamaratakan, Jalur Tak Resmi ini justru menjadi jalan keluar bagi sebagian warga yang tinggal begitu jauh dari pusat Kecamatan yang sedikit lebih baik dari pusat perekonomian terdekat dari perbatasan resmi.
Sosialisasi kepada masyarakat bahwa mereka hanya dimanfaatkan saja oleh orang-orang yang sering melakukan penyelundupan dengan dogma bahwa melintas sangat sulitlah yang harus selalu disosialisasikan bahwa sebenarnya keadaannya malah sebaliknya.
(Tim BNPP)
Advertisement