Liputan6.com, Jakarta Lembaga Sensor Film (LSF), sebuah lembaga negara independen, tidak hanya melaksanakan tugas melakukan penyensoran film dan iklan film sebelum dipertunjukkan kepada khalayak. Lembaga Sensor Film juga diamanatkan untuk membantu masyarakat agar dapat memilah dan menikmati pertunjukan film yang bermutu serta memahami pengaruh film dan iklan film.
Sejak setahun terakhir, LSF tengah menggalakkan sebuah gerakan yang dikenal sebagai Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri. Dalam upaya percepatan penyebarluasan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri, LSF kemudian mengadakan penandatanganan nota kesepakatan bersama (MoU) dengan mitra kerja dari berbagai sektor.
Di antaranya adalah Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta, Pemerintah Daerah, dan Organisasi/Asosiasi Profesi yang berkenaan dengan industri perfilman.
Advertisement
“Kolaborasi ini sudah berjalan dari tahun 2021 dan hingga saat ini LSF telah mengadakan MoU dengan 20 Perguruan Tinggi Negeri, 21 Perguruan Tinggi Swasta, dan 4 Instansi/Lembaga terkait," kata Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto, ditemui di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (20/12/2022).
Baca Juga
Penandatanganan
Selasa, (20/12/2022), LSF kembali mengadakan penandatanganan MoU dengan 9 Mitra kerja. Adapun yang turut menandatangani nota kesepakatan bersama kali ini adalah Badan Perfilman Indonesia, Perusahaan Film Negara, Pemerintah Provinsi Bangka Belitung, Universitas Ibn Khaldun Bogor, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka, Universitas Negeri Gorontalo, Universitas Sam Ratulangi Manado dan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI).
Menurut Ketua LSF, kerja sama dan kolaborasi ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas perfilman, penyensoran dan sosialiasasi budaya sensor mandiri semakin baik. LSF juga turut menggandeng perguruan tinggi dalam rangka membangun kolaborasi karena aksi dan sosialiasi budaya sensor mandiri dapat disinergikan dengan aktivitas tri dharma perguruan tinggi, guna mendukung Gerakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka.
Advertisement
Penelitian
Dalam acara tersebut LSF juga mempublikasikan hasil riset dan penelitian yang telah dilakukan bersama Universitas Prof. DR. Hamka. Budaya Sensor Mandiri yang dilakukan LSF menjadi salah satu solusi perlindungan bagi perkembangan mental dan karakter anak di tengah gempuran tontonan melalui media digital.
Tahun 2022 ini, LSF bekerja sama dengan Universitas Prof. DR. Hamka melakukan penelitian yang mengangkat tema “Persepsi Pelajar Jabodetabek Tentang Kriteria Penyensoran Konten Media dan Budaya Sensor Mandiri" terhadap target yang terdiri dari pelajar SD, SMP, SMA, dan SMK di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Hasil
Beberapa poin dari hasil penelitian tersebut di antaranya adalah: 63,9% siswa (anak) menyatakan mengakses tontonan di rentang waktu 3-8 Jam; 78,2% siswa (anak) menyatakan mengakses tontonan di ruang privat yaitu kamar, yang dimungkinkan anak berpotensi mengakses tontonan yang tidak sesuai usianya; masih terdapat 35% orang tua yang menyatakan tidak melakukan pengawasan terhadap konten media yang diakses anak; terdapat 54% siswa (anak) menyatakan menonton film dan konten yang tidak sesuai dengan usianya; ada sebesar 26% yang percaya konten film adalah bagian dari kenyataan; 10% menyatakan meniru adegan yang mengandung unsur perjudian pada konten tontonan, Pada skala SMP sebanyak 26% ingin meniru adegan pornografi pada konten tontonan. Pada skala SMA 28% ingin meniru adegan pornografi pada skala SMA.
Dari hasil riset dan penelitian itu, kemudian dijadikan acuan oleh LSF untuk ke depannya membuat langkah-langkah tepat guna. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Budaya Sensor Mandiri akan lebih bermanfaat jika berbasis pendidikan karakter dengan memperhatikan konsep dari Lickona dalam muatan pendidikan karakter.
Muatan tersebut yaitu; Knowing the good, Feeling the good dan Doing the good. Ketiga hal ini akan mampu mewujudkan perilaku yang mengakar atau dalam kata lain telah menjadi karakter.
Advertisement