Jepang Kalah, Aniem Kembali Kuasai Sektor Listrik Indonesia

Pendudukan tentara Jepang di Indonesia pada 1942 berdampak terhadap perusahaan-perusahaan Belanda, termasuk Aniem yang salurkan listrik di wilayah Indonesia termasuk Surabaya.

oleh Agustina Melani diperbarui 28 Jul 2019, 06:00 WIB
Diterbitkan 28 Jul 2019, 06:00 WIB
20151217-Sistem-Kelistrikan-Jakarta-AY
Pekerja tengah memasang Trafo IBT 500,000 Kilo Volt di Gardu induk PLN Balaraja, Banten, Kamis (16/12). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pendudukan tentara Jepang di Indonesia pada 1942 berdampak terhadap perusahaan-perusahaan Belanda, termasuk perusahaan swasta Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) yang menyalurkan listrik di Indonesia termasuk Surabaya, Jawa Timur.

Sejak penjajahan Jepang, perusahaan listrik tersebut diambil alih oleh pemerintahan Jepang. Hal ini berdampak terhadap kinerja Aniem, perusahaan swasta yang salurkan listrik di Indonesia termasuk Surabaya. Urusan kelistrikan di seluruh Jawa lalu ditangani oleh lembaga bernama Djawa Denki Djigjo Kosja. Kemudian berubah menjadi Djawa Denki Djigjo Sja dan menjadi cabang dari Hosjoden Kabusiki Kaisja yang berpusat di Tokyo, Jepang.

Djawa Denki Djigjo Sja dibagu menjadi tiga wilayah pengelolaan. Pertama, Jawa Barat diberi nama Seibu Djawa Deni Djigjo Sja berpusat di Jakarta. Jawa Tengah diberi nama Tjiobu Djawa Denki Djigjo Sja berpusat di Semarang. Kemudian di Jawa Timur diberi nama Tobu Djawa Denki Djigjo Sja berpusat di Surabaya, Jawa Timur.

Mengutip buku Dua Kota Tiga Zaman Surabaya dan Malang sejak Kolonial sampai Kemerdekaan karya Purnawan Basundoro, pengelolaan listrik oleh Djawa Denki Djigjo Sja berlangsung sampai Jepang menyerah kepada sekutu dan Indonesia merdeka.

Perusahaan-perusahaan Belanda kembali ke Indonesia, termasuk Aniem. Akan tetapi, perusahaan sempat menguasai 40 persen sektor kelistrikan di Indonesia harus hadapi sesuatu yang berbeda untuk membenahi sektor kelistrikan lantaran pengelolaan kurang baik selama pendudukan Jepang.

Ketika Jepang menyerah kepada sekutu, para pekerja yang bekerja di Tobu Djawa Dneki Djigjo Sja berinisiatif untuk menduduki lembaga pengelola listrik itu. Kemudian mencoba mengambilalih pengelolaan.

Untuk menjaga agar listrik tidak menjadi sumber kekacauan, pada 27 Oktober 1945, pemerintah membentuk Jawatan Listrik dan Gas Bumi yang bertugas untuk mengelola kelistrikan di Indonesia yang baru saja merdeka.

Usaha mengelola kelistrikan ternyata bukan pekerjaan mudah, di samping karena status kepemilikan pembangkit-pembangkit yang belum jelas juga karena minimnya pengalaman pemerintah dalam bidang kelistrikan.

Sebagian besar pembangkit rusak parah karena salah urus di masa pendudukan Jepang. Pembentukan Jawatan Listrik dan Gas Bumi merupakan upaya untuk membentuk kelistrikan yang mandiri dan dikelola sendiri oleh bangsa Indonesia.

Hal itu tentu saja sejalan dengan semangat awal kemerdekaan yakni sumber-sumber yang memenuhi hajat orang banyak dikelola sendiri oleh bangsa Indonesia.

Namun, sebagai bangsa yang baru saja keluar dari cengkeraman penjajah Indonesia menghadapi berbagai sarana yang menyokong hajat hidup  orang banyak dengan status tidak jelas karena semula dikelola oleh lembaga-lembaga kolonial, tidak terkecuali listrik.

Selain itu, minimnya kemampuan untuk mengelola berbagai sarana warisan zaman kolonial tersebut. Putra-putri Bangsa Indonesia pada awal kemerdekaan hampir-hampir tidak memiliki kemampuan untuk mengelola berbagai sarana dan prasarana yang sudah menggunakan teknologi modern, tidak terkecuali masalah kelistrikan.

Pembentukan Jawatan Listrik dan Gas Bumi kurang berarti dalam menghidupkan kembali perusahaan-perusahaan listrik warisan zaman kolonial.

Kondisi ini diperparah dengan peperangan yang meletus beberapa saat setelah Indonesia merdeka akibat ketidakrelaan Belanda untuk melepaskan Indonesia. Pada 1947, Belanda kembali mencoba menjajah Indonesia dengan agresi militer yang pertama.

Kembalinya orang-orang Belanda ke Indonesia yang dikawal penuh oleh pasukan Belanda membuka harapan baru untuk kembalinya modal Belanda ke Indonesia.

Hal ini terbukti ketika perusahaan-perusahaan Belanda yang pernah ditinggalkan ketika Jepang menduduki Indonesia kembali dihidupkan, termasuk Aniem. Perusahaan listrik ini dihidupkan kembali pada 1947.

Hal yang dilakukan pertama adalah merehabilitasi besar-besaran terhadap pembangkit-pembangkit yang rusak akibat salah urus pada zaman Jepang. Dengan kembalinya perusahaan listrik Belanda ke Indonesia, Jawatan Listrik dan Gas Bumi nyaris tidak melakukan apa-apa karena urusan kelistrikan kembali dijalankan oleh perusahaan swasta Belanda hingga perusahaan-perusahaan listrik Belanda itu diambil alih oleh Indonesia.

Saat Aniem berhasil menguasai kembali perusahaannya di Indonesia, perusahaan itu harus bekerja keras untuk mengembalikan kondisi kelistrikan menuju pada taraf ketika perusahaan ditinggalkan sebelum diambil alih oleh Jepang. Namun, usaha itu nampaknya tidak pernah berhasil hingga perusahaan diambil alih oleh Bangsa Indonesia pada 1950-an.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

ANIEM Alami Kesulitan Usai Pendudukan Jepang dan Indonesia Merdeka

20150812-Pasukan Elite PLN-Jakarta
Ilustrasi sutet listrik.

Ada sejumlah faktor yang membuat ANIEM melempem usai pendudukan Jepang dan Indonesia merdeka.

Pertama, keberadaan ANIEM di Indonesia setelah kemerdekaan ada pada posisi cukup rawan mengingat pada periode ini masalah modal asing menjadi salah satu hal yang penting dan sedang dalam posisi digugat oleh rakyat Indonesia.

Pandangan sebagian masyarakat Indonesia, ketika Indonesia merdeka berubah dari perekonomian yang bercorak kolonial harus berubah ke perekonomian yang bercorak nasional.

Kedua, hal yang memicu sentimen tinggi terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia adalah hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditandatangani pada 1949 di Belanda. Kesepakatan dalam KMB telah memunculkan ketidakpuasan rakyat Indonesia, terutama menyangkut utang yang harus ditanggung oleh bangsa Indonesia serta masalah Irian Barat yang tidak segera diserahkan kepada Indonesia.

Kondisi psikologis Bangsa Indonesia yang sedang dalam kondisi “menang tetapi kalah” tentu saja sangat mempengaruhi kinerja perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia tidak terkecuali ANIEM.

Hal itu dirasakan betul ANIEM. Sebagaimana tertuang dalam laporan tahunan kepada para pemegang saham dalam rapat umum pemegang saham pada 11 Oktober 1951.

Dewan direksi ANIEM dalam laporannya mengemukakan pascapengakuan kedaulatan 1949 kondisi menjadi sangat tidak menentu baik mengenai perusahaan secara umum maupun mengenai kondisi kehidupan dan pekerjaan pegawai-pegawai ANIEM.

Kesulitan ANIEM Mulai dari Keuangan hingga Pencurian

Progress Pembangunan Pembangkit Listrik 35.000 MW untuk Indonesia
Progress sebaran pembangkit listrik dan jaringan tranmisi yang telah dibangun PT. PLN demi program 35.000 MW untuk Indonesia.

Perusahaan mengalami berbagai kesulitan untuk menggerakkan roda usahanya. Kesulitan itu antara lain disebabkan jumlah pembangkit yang merupakan ujung tombak bidang usahanya ternyata banyak yang mengalami kerusakan akibat salah urus pada masa pendudukan Jepang. Ditambah akibat perusakan yang dilakukan oleh para pejuang selama perang kemerdekaan.

Selanjutnya, keterbatasan jumlah pegawai. Rasa nasionalisme yang amat tinggi dan perang yang terus menerus antara Indonesia dan Belanda selama perang kemerdekaan menyebabkan orang-orang Indonesia enggan bekerja di perusahaan milik Belanda.

Selain itu, sejak ANIEM kembali ke Indonesia alami kesulitan keuangan terutama menyangkut terbatasnya alat pembayaran luar negeri. Padahal banyak alat-alat untuk perbaikan pembangkit yang rusak harus didatangkan dari luar negeri membutuhkan devisa dalam jumlah besar.

ANIEM juga banyak mengalami kerugian akibat pencurian alat-alat kelistrikan. Seperti diketahui, pemasangan jaringan bertegangan tinggi biasanya dibutuhkan ganti rugi untuk lahan yang juga tidak sedikit. Penduduk yang tanahnya dilewati jaringan bertegangan tinggi biasanya meminta ganti rugi yang tinggi, terutama untuk lokasi tiang pancang.

Upaya ANIEN Hadapi Kesulitan

20170406- PLTA Jatigede- Jawa Barat- Immanuel Antonius
Pekerja beraktivitas di sekitar proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Jatigede, Sumedang, Jawa Barat, Kamis (6/4). Penyelesaian proyek PLTA Jatigede berkapasitas 2 x 55 Mega Watt ini sudah mencapai 19,04% (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Salah satu upaya yang dilakukan ANIEM untuk mengatasi berbagai kesulitan, terutama berkaitan dengan masalah keuangan, adalah keinginan untuk menaikkan tarif listrik hingga 115 persen.

Sejumlah alasan yang dijadikan dasar kenaikan tarif tersebut antara lain karena ongkos overhad di Belanda naik tiga kali lipat, uang cadangan untuk transfer, ongkos cuti, pensiun bagi pegawai yang berasal dari luar negeri baik menjadi dua setengah kali lipat sampai tiga kali lipat serta bahan yang harus diimpor juga mengalami kenaikan. Kenaikan ini karena nilai mata uang rupiah yang jatuh akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia.

Kenaikan tarif tersebut akan mulai berlaku pada 1 Agustus 1950. Keputusan perusahaan untuk menaikkan tarif listrik mendapat protes dari masyarakat.

Di berbagai tempat muncul “panitia penurunan tarif listrik” yang memprotes kebijakan kenaika tarif listrik. Kondisi ini tentu saja sangat memberatkan perusahaan karena upaya untuk memperbaharui berbagai pembangkit yang rusak kurang maksimal karena kondisi keuangan yang cukup berat.

Bahkan upaya membangun sentral baru bertenaga diesel di Surabaya terpaksa dihentikan. Perbaikan pembangkit bertenaga air di Senggaruh, selatan Malang akhirnya juga tertunda untuk beberapa saat.

Pasokan listrik dari pembangkit di Jelok, Tuntang yang melayani kawasan Semarang dan sekitarnya berkurang sangat drastic. Padahal permintaan penduduk untuk penyambungan baru cukup tinggi. Kondisi ini memaksa pemerintah untuk membentuk Komisi Pembagi Tenaga Listrik yang bertugas mengatur pendistribusian listrik kepada penduduk.

Akibat kondisi perusahaan beserta kondisi pembangkit yang banyak mengalami kerusakan, jumlah tenaga listrik yang terjual juga menurun.

Akibat kinerja perusahaan yang kurang baik, pada tutup buku 1950 dari seluruh anak perusahaan ANIEM yang bisa membayar dividen hanya dua anak perusahaan saja yaitu NV.Oost-Java Electriciteit Maatschappij sebesar enam persen untuk 1949 dan NV.Electriciteit Maatschappij Bali en Lombok berturut-turut sebesar empat persen untuk 1947 dan empat persen pada 1948 serta enam persen untuk 1949

Walaupun tahun buku 1949, NV.Oost-Java Electriciteit Maatschappij bisa membagikan dividen hingga enam persen, dalam perkembangan setelah tahun-tahun itu, perusahaan ini mengalami kesulitan cukup besar karena kurangnya pasokan listrik. Hal ini disebabkan karena banyak mesin pembangkit yang rusak dan harus segera diganti.

Penggantian mesin-mesin tersebut juga mengalami kendalam cukup serius karena mesin-mesin yang harus didatangkan dari Eropa ternyata banyak terlambat datang. Pada 1953, NV.OOst-Java Electriciteit Maatschappij memesan tiga buah mesin pembangkit dengan kapasitas masing-masing 230 kW, 275 Kw, dan 230 Kw,  yang akan dipasang di Lumajang, Situbondo dan Tuban tetapi hingga akhir 1954 ternyata mesin tersebut juga belum datang.

Untuk mengatasi kelangkaan tenaga listrik yang dimiliki terpaksa perusahaan harus membeli listrik dari pabrik gula terdekat. Pada 1952, NV.OOst-Java Electriciteit Maatchappij di Situbondo membeli listrik dari pabrik gula Pandjie sebesar 21.341 kWH dan pada 1953 meningkat menjadi 50.864 kWh.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya