Jajaran Kampung Lingkungan di Surabaya (I)

Ada beberapa kampung di Surabaya yang mengubah lingkungan tempat tinggalnya menjadi lebih indah dan bermanfaat. Mau tahu di mana saja?

oleh Liputan Enam diperbarui 24 Agu 2019, 06:00 WIB
Diterbitkan 24 Agu 2019, 06:00 WIB
Asal-usul Nama Jalan Gunungsari Surabaya yang Bakal Diganti Nama Siliwangi
Patung Suro lan Boyo ikon Kota Surabaya karya Sigit Margono. (Dipta Wahyu/Jawa Pos)

Liputan6.com, Jakarta - Di Surabaya, Jawa Timur terdapat beberapa kampung yang diubah menjadi kampung yang bisa disebut ikonik dan memiliki kekhasan. Hal ini bisa karena latar belakang kampung, sejarah dan lainnya.

Pemerintah Kota (PemKot) Surabaya bersama penduduk setempat mengubah konsep lingkungan kampung menjadi lebih indah dan mampu memberi banyak manfaat.

Wali Kota Tri Rismaharini (Risma) bahkan terus menggelorakan aksi kepedulian terhadap lingkungan. Kader lingkungan Surabaya juga turut serta dalam program-program tersebut. Seperti Liputan6.com kutip dari surabaya.go.id mengenai jajaran kampung lingkungan di Surabaya. Apa saja kampung yang ada di Surabaya?

1. Alun-Alun Contong

Wilayah yang termasuk kawasan alun-alun contong yaitu Kampung Bubutan, Praban, Kawatan, Kraton dan Tumenggungan. Di Alun-Alun Contong, kampung Bubutan dan Kawatan termasuk kampung yang masih mempertahankan kekhasan dari arsitekturnya.

Banyak di antara rumah-rumah tersebut yang berusia lebih dari seabad. Namun, bangunannya masih kental dengan gaya kolonialisme yang mengadaptasi sentuhan Jawa dengan ornamen bergaya Arab dan Cina.

2. Bubutan

Bubutan merupakan bagian dari kawasan pusat kota lama Surabaya yang berlokasi di sekitar sungai Kalimas. Kawasan ini juga ditengarai sebagai daerah keratonnya Surabaya.

Kampung yang termasuk dalam wilayah Bubutan adalah kampung Maspati, Kranggan, dan Koblen. Wilayah Bubutan saat ini didominasi oleh kegiatan perdagangan dan juga jasa. Bangunan rumah tinggal di kawasan Bubutan ini bergaya arsitektur kolonial Belanda, Arab, dan Tionghoa.

3. Peneleh

Nama Peneleh asalnya dari zaman Kerajaan Singosari, jauh sebelum Surabaya menjadi sebuah kota, seorang pangeran pilihan (pinilih) putra Wisnu Wadhana yang diberi pangkat setara dengan bupati mendapat daerah kekuasaan di daerah antara Sungai Pegirian dan Kalimas.

Kemudian daerah tersebut diberi nama Peneleh. Lokasi Peneleh dan Plampitan berada pada delta yang membelah dua sungai yang menjadi urat nadi Surabaya kuno, letaknya begitu strategis di lalu lintas sungai pada masa jalan darat belum dikenal peradaban Jawa.

4. Ampel

Kampung Ampel dikenal sebagai kampung yang mayoritas penduduknya adalah etnis Arab. Ampel menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa pada masa walisongo. Selanjutnya, sampai saat ini pun citranya masih belum hilang sebagai kawasan religi Islam.

Terbukti dengan adanya Masjid Agung dan Makam Sunan Ampel yang mampu menyedot ribuan pengunjung dari dalam dan luar kota Surabaya, terutama pada momen-momen khusus seperti pada bulan Ramadhan dan saat Haul sunan Ampel.

5. Nyamplungan

Lokasi kawasan Nyamplungan berdekatan dengan Ampel, hal itu menunjukkan sedikit banyak wilayah Nyamplungan dahulu juga merupakan daerah permukiman kaum pendatang muslim. Saat ini bersama dengan Ampel, Nyamplungan menjadi bagian dari daerah tujuan wisata religi Islam di Surabaya.

Dari sisi ekonomi, kegiatan lokal di Nyamplungan adalah usaha menjual kurma. Distribusi pemasaran kurma awalnya hanya untuk konsumsi lokal, tetapi kini mencakup Surabaya dan sekitarnya. Usaha ini mampu mendatangkan peluang untuk berkembang hingga menjadi pusat oleh-oleh haji dan umroh.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Kebalen

(Foto: Balai Kota Surabaya/Kemdikbud.go.id)
Balai Kota Surabaya (Kemdikbud.go.id)

6. Kebalen

Kampung Kebalen berada di Kelurahan Krembangan Utara. Selain Kebalen, di Krembangan Utara juga terdapat kampung lainnya yaitu kampung Pesapen dan Dapuan.

Mayoritas penduduk kampung Kebalen adalah suku Madura, sedangkan sisanya merupakan multi etnis (keturunan Jawa, Tionghoa, Bali dan Arab). Sebenarnya penduduk yang paling awal menghuni wilayah kampung Kebalen adalah para pendatang dari Bali, merekalah yang menjadikan asal usul nama ‘Kebalen’.

7. Pegirian

Bersama dengan kampung Nyamplungan, Ampel dan Panggung, kampung Pegirian merupakan kampung Arab di Surabaya. Sejarah kampung Pegirian selalu dikaitkan dengan keberadaan Makam Botoputih. Punden yang paling terkenal di Botoputih adalah makam Pangeran Lanang Dangiran Kyai Ageng Brondong.

8. Kapasan

Di wilayah Kapasan terdapat makam Mbah Semendi (Donokerto gang II) yang disebut-sebut putra Mbah Bungkul. Sebelumnya makam ini berada di daerah Sulung, kemudian di pindah ke Kapasari. Pada 1905 dipindah lagi di Donokerto.

Selain makam Mbah Semendi, bangunan Klenteng Boen Bio yang berkaitan erat dengan kisah kampung kungfu Kapasan juga masih bisa ditemui. Klenteng itu berdiri pada 1907, sampai sekarang digunakan untuk beribadah dan juga sering didatangi pengunjung yang tertarik mengetahui sejarah klenteng dan Kapasan.

9. Kupang Krajan

Kelurahan Kupang Krajan mendapatkan program perbaikan kampung KIP Komprehensif pada 2002. Selain melakukan perbaikan fisik lingkungan, program ini juga memberdayakan masyarakat melalui pelatihan dan stimulan modal usaha.

Sebagai organisasi pengelola program dibentuk yayasan kampung, koperasi dan kelompok swadaya masyarakat. Program KIP Komprehensif di Kelurahan ini merupakan salah satu yang berhasil dengan indikator perbaikan lingkungan yang cukup baik dan eksistensi koperasi yang berkelanjutan.

10.Kampung Lontong

Sebelum  menjadi kampung lontong, warga Banyu Urip Lor dikenal sebagai pembuat tempe. Bahkan dulu kampung tersebut dikenal dengan sebutan bog tempe (jembatan tempe). Tempe Banyu Urip ketika itu sangat terkenal di Surabaya dengan rasa lebih enak dari tempe daerah lain, karena terbuat dari kedelai asli tanpa bahan campuran.

Namun, lama-kelamaan tempe Banyu Urip kalah saing dengan tempe Pekalongan, karena persaingan harga. Diprakarsai oleh Ibu Ramiya yang belajar membuat lontong dari Mbah Muntiyah, secara turun-temurun warga kemudian banting stir menjadi pembuat lontong. Lontong Banyu Urip memiliki kekhasan yaitu dibungkus daun pisang, sehingga lontong yang dihasilkan berwarna kehijauan.

11.Kampung Hijau

Dalam pelaksanaan Green and Clean Kota Surabaya, wilayah Rukun Warga (RW) 3 berhasil menjadi juara pada 2007. Di kampung tersebut, pengembangan produk daur ulang mampu membuka lapangan kerja bagi masyarakat, meskipun masih dalam skala kecil.

Produk kerajinan daur ulang yang dihasilkan berupa tas, dompet, dan payung. Pemasaran produk dilakukan melalui pameran. Melalui kerjasama dengan swasta, produk daur ulang telah diekspor ke Jepang bersama dengan pengrajin se-Kota Surabaya.

Kampung di atas hanya sebagian dari kampung yang ada di Surabaya yang amat menjaga lingkungannya. Kegiatan positif tersebut dapat dicontoh untuk masyarakat dari daerah lainnya.

(Wiwin Fitriyani, mahasiswi Universitas Tarumanagara)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya