PN Mojokerto: Hukuman Kebiri Kimia terhadap Pemerkosa Anak Berpatok UU

Pengadilan Negeri Mojokerto memutuskan untuk memberi hukuman kebiri kimia pada predator anak, Muhammad Aris. Putusan ini sesuai dengan yang tertulis dalam Undang Undang.

diperbarui 27 Agu 2019, 13:00 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2019, 13:00 WIB
Penangkapan Ditangkap Penahanan Ditahan
Ilustrasi Foto Penangkapan (iStockphoto)

Jakarta - Terpidana, Muhammad Aris (20) telah melakukan kekerasan seksual terhadap sembilan anak yang rata rata masih berusia berusia di bawah umur. Atas perbuatan Aris tersebut, ia mendapatkan hukuman penjara dan kebiri kimia.

Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto menjatuhkan vonis bersalah pada Aris karena melanggar Pasal 76 D juncto Pasal 81 ayat (2) UU RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Vonis tersebut tertuang dalam Putusan PN Mojokerto nomor 69/Pid.sus/2019/PN.Mjk tanggal 2 Mei 2019.

Hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan pun dijatuhkan pada Aris. Sebagai hukuman tambahan, hakim memerintahkan pada jaksa agar melakukan kebiri kimia. Pengadilan Negeri Mojokerto mengambil keputusan itu berpatokan sesuai dengan yang tertulis dalam UU Nomor 17 tahun 2016.

"Jadi, perkara Aris ini ada dua. Di Kota dan Kabupaten Mojokerto yakni 79 Pidsus tahun 2019, yang kedua Nomor 65 dan 69. yang memberikan tambahan kebiri kimia ada di Kabupaten Mojokerto," ungkap Erhammudin, Humas Pengadilan Negeri Kabupaten Mojokerto pada Maja FM seperti melansir suarasurabaya.net, Senin, 26 Agustus 2019.

Erhammudin melanjutkan, jaksa dalam hal ini mendakwakan untuk kabupaten secara subsidiritas primer Pasal 81 76d Pasal 81 ayat 1 sub 76e Pasal 81 ayat 1. Dia menuturkan, PN Mojokerto sependapat dengan penuntut umum,  terdakwa dalam perkara 69 yakni bahwa yang melanggar ketentuan Pasal 76d.

"Itu menurut majelis hakim sependapat. Mengenai pidana tambahan kebiri kimia tersebut, itu berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2016 dalam ketentuan Pasal 81 ayat 5 dan ayat 7 yang menyatakan bahwa salahnya lebih dari satu kali, itu ketentuan maksimal boleh ditambah dalam UU," ujar dia.

Melansir suarasurabaya.net, dalam Pasal 81 ayat 5 dan ayat 7 yang menyatakan salah satunya lebih dari satu. Ketentuan maksimal bisa ditambah dalam UU sehingga Pasal 81 ancaman 15 tahun maksimal bisa sampai 20 tahun, seumur hidup maupun hukuman mati.

"Dalam Pasal 81 ayat 7 di situ apabila ketentuan Pasal 5 diberlakukan, maka bisa dikenai pidana tambahan berupa kebiri kimia. Dan hal tersebut dalam perkara ini, menurut majelis hakim PN Mojokerto yang mengadili perkara nomor 69 atas nama M Aris tersebut, unsur-unsur yang disebutkan tersebut telah terbukti oleh terdakwa," ujar dia.

Erhammudin mengungkapkan, putusan PN Mojokerto dinilai sebagai putusan terbaik. Hal ini untuk memberi rasa keadilan pada masyarakat. Perkara tersebut pun sudah tetap, diterima oleh PN Mojokerto pada 04 Juli dan diserahkan penuntut umum sebagai eksekutor pada 25 Juli.

"Terdakwa maupun penutut umum tidak melakukan upaya hukum, kasasi maksudnya ya jadi inkra. Nah untuk perkara di Kota Nomor 65, itu sampai sekarang pengadilan belum menerima. Mungkin dalam proses banding sehingga perkara Nomor 65 saya tidak berani komentar," tutur dia.

Begitu pula dengan alasan putusan oleh majelis hakim menambahkan kebiri kimia walaupun dalam tuntutan tidak ada, PN Mojokerto berpatokan dengan UU Nomor 17 Tahun 2016. Dalam Pasal 5 dan Pasal 7 jelas disebutkan, lebih dari satu kali dapat diberi pidana tambahan.

Dalam kasus ini, Aris melakukan pemerkosaan pada sembilan anak bawah umur atau masih TK yang tersebar di Wilayah Mojokerto. Secara visum juga, tindakan Aris mengakibatkan robek dan berdarah pada setiap korban.

Melalui UU ini negara hendak melindungi anak-anak dan perlindungan apa yang diberikan pengadilan terhadap masyarakat yakni melalui putusan yang dianggap adil.

"Kami mencoba mencapai hal tersebut, artinya kami keputusan kami serahkan kepada masyarakat untuk menilai. Sehingga majelis memberikan pidana tambahan berupa kebiri kimia. Dalam ketentuan Pasal 81 ayat 7, pidana tambahan kebiri kimia saja. Pasal 5 bisa dikenakan minimal 10 tahun, maksimal 20 tahun, hukuman mati atau penjara seumur hidup," terangnya.

Di Pasal 7, tegas Erhammudin, jelas disebutkan jika di Pasal 5 dilakukan lebih dari satu kali sebagai salah satu syarat tersebut, maka bisa diberikan pidana tambahan kebiri kimia. Melalui keputusan ini, Ia berharap dapat membuat kejadian yang sama tidak terulang lagi. 

"Kejahatan terhadap anak, bagaimanapun sedini mungkin agar tidak terjadi lagi di Mojokerto khususnya. Harapan besar PN Mojokerto. Untuk masalah teknis, eksekutor adalah penuntut umum, dalam ini Kejari Kabupaten Mojokerto. Untuk masalah tersebut, pengadilan tidak akan komentar karena apa yang sudah diputuskan sudah sesuai UU," tegasnya.

(Kezia Priscilla, mahasiswi UMN)

 

 

Baca konten-konten menarik suarasurabaya.net di sini

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Kata Pengamat Hukum soal Penerapan Hukuman Kebiri Kimia

Ilustrasi Suntik
Ilustrasi Suntik

Sebelumnya, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Narotama, Surabaya, Yusron Marzuki angkat bicara mengenai pelaksanaan hukuman kebiri kimia untuk terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak di Mojokerto, Jawa Timur. 

Dia menuturkan, eksekusi hukuman kebiri kimia terpidana yang sudah ditetapkan dalam amar putusan hakim, wajib dilaksanakan oleh eksekutor.

"Eksekutornya adalah jaksa, namun karena jaksa tidak memiliki pengetahuan medis, maka bisa minta bantuan dokter. Bagi Kejaksaan, putusan ini sudah menjadi norma dan sudah mengikat. Maka sebagai eksekutor, jaksa punya kewajiban untuk melaksanakan," tegas dia, Senin, 26 Agustus 2019.

Yusron menilai, penerapan hukuman kebiri kimia memberikan kepastian hukum atas tindakan pelaku. Hal ini bukan berarti dapat memberikan efek jera atau efektif tetapi lebih kepada kepastian hukum.

Terkait dengan pelaksanaan teknis hukuman kebiri kimia, Yusron menyatakan, telah diatur dalam Perpu nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (diubah UU nomor 35 tahun 2014).

Ia menuturkan, Perpu itu, pada pasal 81A, mengatur tentang kapan waktu pelaksanaan kebiri kimia harus dilakukan. Pasal 81A menyebut "Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok."

"Jadi, pelaksanaan hukuman tambahan kebiri ini, baru dapat dilaksanakan, kalau si terpidana selesai menjalani pidana pokoknya. Setelah itu, baru dilaksanakan hukuman tambahan, yakni kebiri kimia, dengan ancaman maksimal 2 tahun," ungkapnya.

Saat disinggung jika dokter yang diminta jaksa menolak karena bertentangan dengan prinsip maupun keilmuan kedokteran, Yusron menjawab,  pada prinsipnya tidak ada seorang warga negara pun yang dapat menolak undang-undang atau aturan negara. 

Sebab, jika aturan dalam undang-undang telah 'memerintahkan', semua orang dianggap tahu dan wajib melaksanakan perintah undang-undang tersebut. Namun, tidak menutup kemungkinan, jika dokter tidak setuju dan berencana 'melawan' perintah undang-undang tersebut, dapat menyalurkannya sesuai dengan jalur konstitusi.

"Dokter harus tunduk dan patuh terhadap hukum negara. Kalau dokter tidak setuju atau menolak hukuman kebiri, jalannya bisa melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi prinsipnya, semua pihak wajib melaksanakan aturan undang-undang, tidak bisa menolak," tambahnya.

Jadi, jaksa dianggapnya masih memiliki waktu yang cukup panjang, sambil mempersiapkan perangkat teknis eksekusi. Hal ini mengingat belum ada Peraturan Pemerintah (PP) untuk eksekusi terkait hukuman kebiri kimia.

"Yang saya tahu dari media, terpidana divonis 12 tahun penjara ya. Jadi, setelah masa pidana pokok selesai, baru jaksa melaksanakan hukuman tambahannya. Aturannya demikian, masih ada waktu panjang untuk mempersiapkan," tegasnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya