Polda Jatim Resmi Tahan Tri Susanti dan SA Terkait Kasus Insiden AMP di Surabaya

Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur (Jatim) Brigjen Pol Toni Hermawan menyatakan, pihaknya resmi menahan kedua tersangka kasus penyebaran hoaks dan dugaan ujaran rasis masing-masing Tri Susanti (TS) dan SA.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 04 Sep 2019, 10:35 WIB
Diterbitkan 04 Sep 2019, 10:35 WIB
(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Wakil Kepala (Waka) Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur (Jatim) Brigjen Pol Toni Hermawan (Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Surabaya - Wakil Kepala (Waka)  Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur (Jatim) Brigjen Pol Toni Hermawan menyatakan, pihaknya resmi menahan kedua tersangka kasus penyebaran hoaks dan dugaan ujaran rasis masing-masing Tri Susanti (TS) dan SA. Hal ini terkait insiden Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya.

"Penahanan ini dilakukan karena kedua tersangka dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana, atau menghilangkan barang bukti dan menghambat proses penyidikan," tutur Toni, di lobby gedung Ditreskrimsus Polda  Jatim, sekitar pukul 13.45 WIB, Selasa, 3 September 2019.

Sebelumnya, Tri Susanti alias Susi, tersangka ujaran kebencian dan penyebaran berita bohong saat insiden Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, akhirnya ditahan di Mapolda Jatim, setelah 12 jam lamanya ia diperiksa. 

Hal itu diungkapkan oleh, Kuasa Hukum Susi, Sahid. Ia mengatakan kliennya itu ditahan oleh penyidik Subdit V Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Jatim per pukul 00.00 WIB hingga, satu kali 24 jam ke depan.

Selama pemeriksaan yang berlangsung sejak pukul 12.00 WIB, Senin, 2 September 2019 hingga pukul 00.00 WIB Selasa dini hari 3 September 2019, Sahid mengatakan Susi dicecar sebanyak 37 pertanyaan oleh penyidik. 

 "Ya sementara Bu Susi ada penangkapan atau penahanan 1 kali 24 jam," kata Sahid, ditemui usai pemeriksaan.

Sahid mengaku, dirinya dan kuasa hukum Susi lainnya merasa kecewa dengan penahanan kliennya ini. Sebab, kata dia, berdasarkan syarat penahanan diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Ya, sebenarnya saya sebagai tim kuasa hukum ini sangat kecewa karena sudah jelas dalam undang-undang nomor 8 tahun 1981 itu kan tidak harus ditahan," kata dia. 

Pasal yang dikenakan pada Susi pun tak memenuhi syarat penahanan, sebab ancamannya masih di bawah lima tahun penjara. Susi, kata dia juga tak berpotensi menghilangkan barang bukti, melarikan diri, apalagi berbuat tindak pidana lainnya. Maka seharusnya polisi tak memiliki alasan untuk menahan klien Tri Susanti

"Jadi unsur subjektif nya sudah tidak terpenuhi, kecuali dibuka dan ada kekhawatiran dari pihak kepolisian (Susi) akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti atau diduga ada indikasi melakukan tindak pidana, padahal tidak ada," kata dia. 

Kendati demikian, Sahid mengatakan, Susi tetap dalam kondisi yang sehat. Kliennya itu juga bersikap tegar meski secara tiba-tiba dilakukan penahanan. 

"Kondisi Bu Susi sehat alhamdulillah. Dia tegar dan udah siap dengan keadaan seperti ini," ujar dia.

Susi dijerat pasal 45A ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pasal 160 KUHP, pasal 14 ayat (1) ayat (2) dan pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Kata Kuasa Hukum SA

Sementara itu, satu tersangka lainnya, SA hingga kini masih berada di ruang penyidik Subdit V Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Jatim. Sama seperti Susi, SA juga menjalani pemeriksaan selama 12 jam lamanya. 

Namun kuasa hukum SA, Ari Hans Simaela membantah jika kliennya tersebut telah ditahan. Ia mengatakan bahwa SA saat ini masih diperiksa secara maraton oleh penyidik. 

"Belum, belum ada (penahanan). Masih dilanjutkan besok, sementara masih di polda," kata Ari, ditemui usai mendampingi kliennya, Selasa, dini hari.

Selama 12 jam lamanya itu pula, kata Ari, kliennya tersebut dicecar sebanyak 37 pertanyaan seputar, kata-kata bernada rasial yang diduga diucapkan oleh SA kepada penghuni Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya. "37 pertanyaan, seputar kejadian di asrama itu," katanya.

Ia menambahkan, SA juga dipersangkakan pasal yang sama seperti Susi. Yakni pasal 45A ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pasal 160 KUHP, pasal 14 ayat (1) ayat (2) dan pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana.

Namun, yang menjadi pembeda, kata Ari, SA juga diduga melanggar Undang-Undang 40 tahun 2008, tentang diskriminasi ras dan etnis.

Tanggapan Pemkot Surabaya

(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Kabag Humas Pemkot Surabaya M Fikser (Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Sebelumnya, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, M. Fikser mengaku sudah mengetahui kasus yang menimpa salah satu Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) di jajaran kecamatan.

PNS tersebut diduga menjadi tersangka kasus dugaan ujaran rasis saat insiden asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya. Ia juga mengakui, mengikuti semua informasi yang berkembang terkait PNS yang tertimpa hukum itu.

"Kami sudah memantau semuanya dan mengikuti perkembangannya. Kita pantau terus soal SA ini," tutur Fikser, Selasa, 3 September 2019.

Fikser juga membenarkan, PNS itu merupakan jajaran Linmas di lingkungan Kecamatan Tambaksari. Sebagai lembaga pemerintahan, Pemkot Surabaya tentu akan menyerahkan semua proses hukum kepada pihak kepolisian yang melakukan pemeriksaan. Ia pun menyesalkan hal tersebut.

"Kami serahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian. Kami patuhi hukum yang berlaku,” ujarnya

Fikser menuturkan, sebagai aparat pemerintahan, memang sudah selayaknya menjaga etika dalam bermasyarakat. Bahkan, sebagai PNS juga sudah sepatutnya bekerja secara profesional dan mengedepankan pelayanan untuk masyarakat.

"Hal itu sudah diatur dalam undang-undang juga, jadi harus selalu menjaga attitude dalam bermasyarakat," imbuhnya.

Ia juga menambahkan, dalam undang-undang, PNS itu berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik dan perekat serta pemersatu bangsa. “Nah, seharusnya kita menjaga itu. Kita ini petugas masyarakat sebagaimana dalam sumpah kita,” kata dia.

Bagi dia, siapapun dan dengan alasan apapun memang dilarang berbuat rasisme, sehingga dia menyerahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian. "Siapapun dan dengan alasan apapun, rasisme itu tidak dibenarkan,” tutur dia.

Sementara itu, Kuasa Hukum SA, Ari Hans Simaela membenarkan, SA adalah PNS Pemkot Surabaya. Namun, ia enggan menjabarkan lebih jauh soal jabatan dan identitas kliennya.

"Iya betul (ASN). Di instansi Pemkot Surabaya. Nanti silahkan di konfirmasi sendiri,” kata Ari.

Ari menegaskan, keberadaan AS di Asrama Mahasiswa Papua ketika kejadian, bukanlah sebagai ASN. Melainkan, sebagai warga sekitar yang penasaran dengan insiden di asrama tersebut.

"Bukan sebagai PNS tapi sebagai warga Surabaya yang terpanggil melihat atau mendengar ada bendera jatuh, dan datang," kata dia.

SA disangkakan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Rasis dan Etnis, dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya